Topswara.com -- Merdeka Belajar besutan Mas Menteri Nadiem Makarim memasuki Episode 25. Titik fokus episode kali ini adalah pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan pendidikan.
Untuk itu, dikeluarkanlah Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP). Permen PPKSP ini menggantikan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Lembaga Pendidikan.
Berdasarkan Permendikbudristek PPKSP, setiap satuan pendidikan diwajibkan membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). Pemerintah daerah (Pemda) pun harus membentuk Satuan Tugas (Satgas). Kedua tim ini bertugas untuk menangani kasus kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan dan memastikan pemulihan korban.
Budaya Kekerasan
Banyak pihak yang berharap implementasi Permendikbud ini mampu mencegah kasus kekerasan di satuan pendidikan dan melindungi korban. Mengingat ragam dan jumlah kasus yang sudah sangat mengkhawatirkan.
Berdasarkan Ikhtisar Eksekutif Startegi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak 2016-2020 oleh Kemen-PPPA, sebanyak 84 persen siswa pernah mengalami kekerasan di sekolah, 75 persen siswa mengakui pernah melakukan kekerasan di sekolah dan 50 persen siswa pernah menjadi korban perundungan di sekolah.
Indonesia bahkan pernah menempati peringkat kelima dari 78 negara yang muridnya banyak mengalami perundungan. Bukan prestasi yang membanggakan. Peringkat itu didapat dari data hasil riset Programme for International Students Assessment (PISA) 2018.
Data di atas sangat mengkhawatirkan. Kekerasan seakan membudaya. Yang kuat menindas yang lemah. Rasa senioritas yang melahirkan sikap superior dan arogan pada junior. Jika hal ini terus berjalan tanpa solusi, tidakkah bonus demografi di tahun 2045 akan menjadi bencana?
Tidak Cukup Regulasi
Regulasi pencegahan dan penanganan kekerasan bukan solusi yang paten. Sebab sebelum Permendikbud PPKSP ini telah ada Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015. Namun kekerasan di satuan pendidikan terus terjadi, bahkan membentuk fenomena gunung es.
Diduga kuat, tim satgas baik di tingkat satuan pendidikan maupun Pemda yang terbentuk, takkan mampu mencegah terjadinya kekerasan di satuan pendidikan. Sebab tindak kekerasan adalah buah dari sistem sekularisme yang saat ini mengatur kehidupan manusia.
Sekularisme menuntut pemisahan agama dengan kehidupan. Pendidikan berasas sekularisme melahirkan individu yang sibuk mengejar kebahagiaan dunia tanpa peduli akhirat. Menghalalkan segala cara demi meraih tujuan, termasuk menyakiti orang lain demi memuaskan rasa. Tidak pernah terbenak tentang pertanggung jawaban atas setiap perbuatan selama hidup di dunia.
Di ranah keluarga, banyak orang tua yang belum memahami makna pendidikan selain untuk mendapatkan pekerjaan setelah lulus. Hingga lebih peduli pada nilai-nilai yang tertera di raport dibandingkan akhlak anak. Ada pula yang tersibukkan dengan mengejar materi hingga lupa mendidik anak.
Di sekolah, pelajaran agama hanya mendapat porsi yang sedikit dibandingkan pelajaran yang lain. Lebih prihatin lagi ketika mindset pelajaran agama disamakan dengan pelajaran umum, yaitu hanya untuk mengisi nilai raport, bukan untuk diamalkan. Walhasil, belajar agama tak memberi efek sedikit pun pada kepribadian peserta didik.
Masyarakat yang individualis, yang memaklumi kenakalan remaja. Perundungan dan tawuran dianggap hal biasa sebagai warna-warni masa-masa sekolah.
Kondisi ini diperparah dengan abainya negara. Arus teknologi informasi yang tanpa filter. Tayangan-tayangan kekerasan berupa film dan game online. Ditambah sistem sanksi yang tak memberi efek jera. Maka wajar jika kasus kekerasan akan selalu mewarnai kehidupan manusia di sistem sekularisme.
Jadi, regulasi beserta tim satgas saja tak cukup mencegah kekerasan, selama sistem sekularisme masih mengatur kehidupan kita.
Sistem Islam Cegah Tindak Kekerasan
Islam telah melarang perbuatan menyakiti orang lain, baik secara verbal maupun fisik. Allah SWT berfirman: "Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok)..." (QS. Al-Hujurat ayat 11).
Rasulullah SAW juga bersabda: "Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya." (HR. Bukhari).
Islam memiliki support sistem yang komprehensif agar tak ada yang melanggar larangan Allah dan Rasul-Nya. Support sistem itu adalah negara khilafah. Negara yang berlandaskan akidah Islam dan menerapkan syariat Allah secara menyeluruh. Penerapan syariat Islam secara kaffah akan mewujudkan maqasid syariat. Yaitu terjaganya agama, jiwa, akal, nasab, harta, kehormatan diri, keamanan, dan keutuhan negara.
Sistem pendidikan berasakan akidah Islam. Tujuannya untuk mencetak manusia yang berkepribadian Islam. Yang akan selalu mengikatkan perbuatannya pada syariat Allah. Orientasi hidupnya adalah ridha Allah. Maka ia akan hati-hati dalam bertingkah laku sebab akan ada pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Masyarakat di sistem Islam kaffah akan senantiasa beramar makruf nahi mungkar. Keluarga Muslim akan merasa aman saat melepas anak-anaknya di luar rumah. Setiap individu masyarakat akan berlomba-lomba memberikan manfaat bagi manusia yang lain.
Institusi Islam juga akan mengatur arus teknologi dan informasi. Kemajuan teknologi informasi dimaksimalkan sebagai sarana mendakwahkan Islam dan memudahkan pekerjaan manusia.
Islam juga memiliki sanksi keras dan tegas kepada pelaku tindak kekerasan. Sistem sanksi dalam Islam memiliki dua sifat yaitu zawajir (pencegah/preventif) dan jawabir (kuratif). Disebut zawajir karena mmpu mencegah orang lain melakukan kesalahan yang sama. Sedangkan jawabir, pelaku akan dipaksa menyesali perbuatannya dan menerima sanksi sehingga bertobat dengan taubatan nasuha dan terbebas dari sanksi di akhirat.
Demikian komprehensif sistem Islam mencegah terjadinya kekerasan hingga terjaminnya keamanan di setiap sudut negeri. Wallahu a'lam []
Oleh: Mahrita Julia Hapsari, M.Pd.
(Praktisi Pendidikan)
0 Komentar