Topswara.com -- Mukadimah
Salah satu hikmah yang disyariatkan dari pernikahan adalah terbentuknya keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, sebagaimana firman Allah :
وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”
(QS Ar-Ruum : 21).
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa dengan pernikahan, yakni kondisi berpasang-pasangan suami istri yang disyariatkan Allah, hikmahnya adalah :
Pertama, terbentuknya kondisi sakinah, yaitu perasaan cenderung dan tentram antara suami-istri, bukan perasaan yang saling ingin menjauh atau menghindar, sesuai firman Allah SWT :
لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا
“Agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya.”
Kedua, terbentuknya rasa mawaddah (cinta) dan rahmah (sayang) di antara suami istri, sesuai firman Allah SWT :
وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً
“dan Dia (Allah) menjadikan di antara kamu (suami istri) rasa kasih (mawaddah) dan sayang (rahmah).”
Persoalannya adalah, bagaimanakah caranya agar suami dan istri yang sudah menikah itu dapat membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah?
Di sinilah diperlukan ilmu mengenai kunci untuk mewujudkan keluarga yang sakinah itu. Kunci keluarga sakinah adalah tegakkanlah hak-hak dan kewajiban-kewajiban suami-istri, sesuai syariah Islam, insyaAllah akan terwujud keluarga yang sakinah, wawaddah, dan rahmah.
Maka dari itu, suami wajib tahu apa saja hak-hak istri atas suaminya, dan sebaliknya istri wajib tahu apa saja hak-hak suami atas istrinya, agar dapat menegakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban suami-istri itu.
Menegakkan Hak Dan Kewajiban Suami Istri: Kunci Keluarga Sakinah
Dalam kitab-kitab fiqih, khususnya kitab fiqih munākahāt (pernikahan), banyak dibahas mengenai berbagai hak dan kewajiban suami dan istri. Pemahaman dan praktik mengenai hak dan kewajiban suami isteri itulah yang merupakan kunci untuk membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, sebagaimana yang dikehendaki oleh syariah Islam.
Firman Allah SWT :
وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”
(QS Ar-Ruum : 21).
Imam Taqiyuddin An-Nabhani menafsirkan ayat tersebut dengan berkata :
السَّكَنُ هُوَ الْإِطْمِئِنَانُ ، أَيْ لِيَطْمَئِنَّ الزَّوْجُ إِلَى زَوْجَتِهِ والزَّوْجَةُ إِلَى زَوْجِهَا ، وَيَمِيْلُ كُلٌّ مِنْهُمَا لِلْآخَرِ وَلَا يَنْفِرُ مِنْهُ . فَالْأَصْلُ فِي الزَّوَاجِ الْإِطْمِئِنَانُ ، وَالأَصْلُ فِي الحَياةِ الزَّوْجِيَّةِ الطُّمَأْنِيْنَةُ ، وَحَتَّى تَكُوْنَ هَذِهِ الصُّحْبَةُ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ صُحْبَةَ هَناءٍ وَطُمَأْنينَةٍ بَيَّنَ الشَّرْعُ مَا لِلزَّوْجَةِ مِنْ حُقُوْقٍ عَلَى الزَّوْجِ ، وَمَا لِلزَّوْجِ مِنْ حُقُوْقٍ عَلَى الزَّوْجَةِ. النظام الإجتماعي في الإسلام ص 139
“Yang dimaksud sakinah, adalah ketenteraman (al-ithmi’nān), yakni suami merasa tenteram kepada isterinya dan isteri pun merasa tenteram kepada suaminya, yakni masing-masing mempunyai kecenderungan kepada pasangannya, tidak lari (menjauh/menghindar) dari pasangannya dan agar persahabatan suami isteri ini merupakan persahabatan yang menyenangkan dan menenteramkan, syariah menjelaskan apa saja hak-hak isteri atas suami, dan apa saja hak-hak suami atas isterinya.” (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizhām Al-Ijtimā’i fi Al-Islām, hlm. 139).
Hak Dan Kewajiban Suami Istri
Berikut ini akan dijelaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban suami-istri, yang terdiri dari dua; Pertama, hak-hak istri atas suaminya. Kedua, hak-hak suami atas istrinya.
Hak-Hak Istri Atas Suaminya
Hak-hak istri suami atas istrinya ini dibagi lagi menjadi dua; pertama, hak-hak berupa harta (hak kebendaan) (al-huqūq al-māliyah) ; kedua, hak-hak tak berupa benda (hak non kebendaan) (al-huqūq ghairu al-māliyah).
Secara garis besar, hak-hak berupa harta (hak kebendaan) (الحقوق المالية, al-huqūq al-māliyah), ada 2 (dua), yaitu : Pertama, mahar. Kedua, nafkah.
Adapun hak-hak tak berupa harta (hak non kebendaan) atau (الحقوق غير المالية, al-huqūq ghairu al-māliyah), ada 3 (tiga), yaitu;
Pertama, hak mendapat perlakuan adil, jika suami mempunyai istri lebih dari satu.
Kedua, hak mendapat perlakuan atau pergaulan yang baik (mu’āsyarah bil ma’rūf) dari suami.
Ketiga, hak tidak mendapat bahaya (dharar) dari suami.
Uraiannya dijelaskan berikut ini.
Hak-hak berupa harta (hak kebendaan) atau (الحقوق المالية, al-huqūq al-māliyyah), yaitu hak mendapat mahar dan nafkah.
Mahar, merupakan hak berupa benda (‘ain) atau manfaat (jasa), yang diperoleh istri karena akad nikah, atau karena terjadinya dukhūl (hubungan badan), yang sifatnya wajib atas suami. Firman Allah SWT :
وَآتُوا النِّساءَ صَدَقاتِهِنَّ نِحْلَةً
“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan.”(QS An-Nisā` : 4).
Menurut jumhur fuqoha`, mahar bukan syarat dan bukan pula rukun dari akad nikah, melainkan salah satu akibat hukum dari adanya akad nikah. Maka jika dalam akad nikah tidak disebutkan maharnya, tetap sah akad nikahnya. Dalilnya firman Allah SWT :
لا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ مَا لَمْ تَمَسُّوْهُنَّ اَوْ تَفْرِضُوْا لَهُنَّ فَرِيْضَةً
“Tidak ada dosa bagimu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu yang belum kamu sentuh (campuri) atau belum kamu tentukan maharnya.” (QS Al Baqarah : 236).
Jika dalam akad nikah suami tidak menyebutkan maharnya, maka wajib atas suami mahar mitsil, yaitu mahar yang semisal dengan wanita yang kedudukannya sama dengan istri tersebut di tengah masyarakat.
Nafkah, yaitu sandang (kiswah), pangan (tha’ām), dan papan (suknā). Para ulama sepakat bahwa nafkah itu wajib hukumnya atas suami bagi istrinya, dengan syarat istrinya “bersedia” (tamkīn) untuk digauli suaminya dan tidak nusyūz (membangkang) kepada suaminya dalam urusan yang terkait suami istri.
Dalil wajibnya nafkah berupa sandang (kiswah) dan pangan (tha’ām), firman Allah SWT :
وَعَلَى المَوْلودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka (istri) dengan kadar yang patut (ma’ruf).” (QS Al-Baqarah : 233).
Kadar yang ma’rūf adalah kadar nafkah yang mencukupi menurut standar masyarakat untuk wanita yang semisal dengan istri dari seseorang.
Dalil wajibnya nafkah berupa papan (suknā), atau tempat tinggal. firman Allah SWT :
اَسْكِنُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِّنْ وُّجْدِكُمْ
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.” (QS Al Thalaq : 6).
Hak-hak tak berupa harta (hak non kebendaan) (الحقوق غير المالية, al-huqūq ghairu al-māliyah), yaitu hak sebagai berikut :
Pertama, hak mendapat perlakuan adil, jika suami berpoligami atau mempunyai istri lebih dari satu (QS An-Nisā` : 3), yaitu perlakuan adil dari suami dalam dua hal :
Pertama, nafkah (sandang, pangan, dan papan). Kedua, mabīt (bermalam).
Keadilan bagi para istri, menjadi kewajiban suami yang berpoligami, sesuai QS An-Nisā` : Ketiga, di sini perlu dipahami dengan benar, keadilan ini keadilan yang seperti apa, karena ada pendapat keliru dari kaum liberal bahwa keadilan dalam poligami itu mustahil, sehingga poligami itu kata mereka akhirnya tidak dibolehkan dalam Islam.
Firman Allah SWT :
وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْٓا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاۤءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ
“Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri-(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.” (QS An-Nisā` : 129).
Di sini wajib dipahami, bahwa keadilan yang diwajibkan dalam poligami atas suami adalah keadilan yang dimampui suami, yaitu adil dalam nafkah dan mabīt (bermalam), di antara istri-istri, tidak wajib adil dalam hal yang tak dimampui suami, yaitu mahabbah wal jimā’ (rasa cinta dan hasrat seksual) di antara istri-istri, sebagaimana pendapat Ibnu ‘Abbas RA. (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizhām Al-Ijtimā’i fi Al-Islām, hlm. 135).
Kedua, hak mendapat perlakuan atau pergaulan yang baik (mu’āsyarah bil ma’rūf).
Suami wajib bersikap baik dalam kata-kata atau perbuatan kepada istrinya, yakni berkata-kata yang lemah lembut dan bersikap ramah kepada istrinya. Firman Allah SWT :
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan pergaulilah mereka (istri) menurut cara yang patut (baik).” (QS An-Nisā` : 19).
Ketiga, hak tidak mendapat bahaya (dharar) dari suami.
Suami tidak boleh melakukan segala sesuatu yang menimbulkan bahaya (dharar) bagi istrinya, misalnya menempeleng wajah istri.
Rasulullah SAW bersabda :
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ . رواه ابن ماجه
”Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri dan bahaya bagi orang lain.”
(HR Ibnu Majah, Sunan Ibnu Mājah, no. 2340).
Hak-Hak Suami Atas Istrinya
Hak-hak suami atas istrinya adalah sebagai berikut :
Pertama, hak untuk ditaati oleh istrinya.
Kedua, hak untuk mendapat “penyerahan diri” (taslīm) dari istrinya untuk digauli, jika sudah terjadi akad nikah yang sah.
Ketiga, hak melarang istri keluar dari rumah kecuali seizin suami.
Keempat, hak untuk mendidik (ta’dīb) istri jika istri nusyūz (tidak taat kepada suami dalam urusan suami istri).
Kelima, hak untuk untuk mendapat “layanan” (khidmat) dari istrinya, misalnya layanan istri menyiapkan makanan, pakaian, dan berbagai kebutuhan suami.
Keenam, hak untuk mendapat perlakuan yang baik dari istri (mu’āsyarah bil ma’rūf).
Uraiannya dijelaskan sebagai berikut.
(1) Hak untuk ditaati oleh istrinya.
Istri wajib hukumnya taat kepada suaminya, dalam batas yang dibolehkan syara’ dan sesuai dengan kemampuan istri. Firman Allah SWT :
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍۢ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ
“Laki-laki (suami) itu pemimpin bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya.” (QS An-Nisā` : 34).
Istri tidak boleh mentaati suaminya jika diajak kepada maksiat (melanggar syariah, yaitu melakukan keharaman atau meninggalkan kewajiban), misalnya suami minta persetujuan istri untuk meminjam uang di bank, atau suami meminta istrinya untuk melepas hijab (kerudung), atau suami minta istri untuk membantu suami melakukan korupsi, dan sebagainya. Sabda Rasulullah SAW :
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluq (manusia) dalam bermaksiat (tidak taat) kepada Sang Pencipta (Al-Khaliq).” (HR Bukhari).
Ketaatan istri juga dalam batas kesanggupan istri, karena tidak boleh istri diberi beban kecuali sesuai kesanggupannya. Firman Allah SWT :
لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفۡسًا اِلَّا وُسۡعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
(QS Al-Baqarah : 286).
(2) Hak untuk mendapat “penyerahan diri” (taslīm) dari istrinya untuk digauli, jika sudah terjadi akad nikah yang sah. Rasulullah SAW bersabda :
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إلى فِرَاشِهِ فأبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا المَلَائِكَةُ حتَّى تُصْبِحَ. رواه البخاري ومسلم
“Jika suami mengajak istri ke tempat tidur tetapi istrinya tidak mau sehingga suami tidur dalam keadaan marah kepada istrinya, maka para malaikat melaknat istrinya itu hingga Shubuh.” (HR Bukhari dan Muslim).
(3) Hak melarang istri keluar dari rumah kecuali seizin suami. Dari Anas bin Malik RA :
أن رجلًا سافرَ و منعَ زوجتَه مِن الخروجِ، فمِرِضَ أبوها، فاستأذَنَتْ رسولَ اللهِ في حضورِ جنازتِه، فقال لها: اتقى اللهَ، و لا تُخالفي زوجَك. فأَوْصى اللهُ إليه: إني قد غَفَرْتُ لها بطاعتِها زوجَها.
“Ada seorang laki-laki yang melakukan perjalanan dan telah melarang istrinya untuk keluar rumah. Ayahnya sakit [lalu meninggal dunia], lalu dia minta izin kepada Rasulullah SAW untuk melayat jenazah ayahnya. Rasulullah SAW berkata kepadanya,”Janganlah kamu melanggar perintah suamimu.” Setelah itu Allah SWT memberitahukan kepada Nabi SAW,”Sesungguhnya Aku telah mengampuni wanita itu karena ketaatan dia kepada suaminya.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Juz VIII, hlm. 129).
(4) Hak untuk mendidik (ta’dīb) istri jika istri nusyūz (tidak taat kepada suami dalam urusan suami istri). Firman Allah SWT :
وَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا
وَاِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوْا حَكَمًا مِّنْ اَهْلِهٖ وَحَكَمًا مِّنْ اَهْلِهَا ۚ اِنْ يُّرِيْدَآ اِصْلَاحًا يُّوَفِّقِ اللّٰهُ بَيْنَهُمَا ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا خَبِيْرًا (النساء : 34-35)
“Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyūz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar. Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai (hakam) dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sungguh, Allah Mahateliti, Maha Mengenal.”
(QS An-Nisā’ : 34-35).
(5) Hak untuk untuk mendapat “layanan” (khidmat) dari istrinya, yaitu layanan untuk mengurus berbagai urusan rumah tangga, misalnya layanan istri menyiapkan makanan, pakaian, dan berbagai kebutuhan suami. Dalilnya hadis dari Rasulullah SAW :
قَضَى رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ عَلَى ابْنَتِهِ فاطِمَةَ بِخِدْمَةِ البَيْتِ ، وَعَلَى عَلِيٍّ مَا كَانَ خارِجَ البَيْتِ
“Rasulullah SAW telah memutuskan untuk anak perempuannya (Fathimah), bahwa dia berkewajiban memberikan layanan (khidmat) untuk urusan di dalam rumah, sedang Ali berkewajiban untuk urusan di luar rumah.” (HR. Ibnu Abi Syaibah). (Taqiyuddin An-Nabhani, Muqadddimat al-Dustūr, Juz I, hlm. 337).
(6) Hak untuk mendapat perlakuan yang baik dari istri (mu’āsyarah bil ma’rūf).
Istri wajib hukum juga hukumnya berlaku yang baik kepada suaminya, sama dengan kewajiban suami untuk berlaku baik kepada istrinya. Firman Allah SWT :
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِۖ
“Dan mereka (istri) mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya (kepada suaminya) secara patut (ma’rūf).” (QS Al-Baqarah : 228). Wallāhu a’lam bi al-shawāb.
Oleh: K.H. M. Shiddiq Al-Jawi
Pakar Fiqih Muamalah dan Kontemporer
0 Komentar