Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kebebasan Berekspresi Pembakaran Al-Qur'an dan Gempita Pesta Kemerdekaan: Absurd Unlimited


Topswara.com -- Buntut pembakaran Al-Qur'an di Swedia dan Denmark ternyata membuat 'retakan' tidak kentara. Aksi beruntun di kedua negara tersebut yang mengatasnamakan kebebasan berekspresi digugat oleh Muslim dan berbagai aktivis. 

Warga Muslim Denmark mulai bersuara ketika kitab suci mereka dibakar dan menjadi perhatian dunia internasional. Mereka juga menuntut Pemerintah Denmark agar tidak memosisikan pembakaran Al-Qur'an sebagai bagian dari kebebasan berekspresi (sindonews.com, 6/8/2023)

Peristiwa tersebut juga menyebabkan ketegangan yang signifikan antara dua negara Eropa Utara itu dengan negara-negara Muslim (detiknews, 5/8/2023). Hal ini memunculkan 'Boicot Sweden' sebagai aksi protes terhadap salah kebebasan yang bablas tersebut. 

Apalagi pembakaran tersebut dilakukan berturutan di kedua negara adalah kejadian berulang. Seolah memendam bara dalam sekam, hal itu bisa memicu api konflik kapan pun.

Menghadapi ini pemerintah Denmark dan Swedia telah mengutuk pembakaran Al-Qur'an tersebut dan sedang mempertimbangkan undang-undang baru yang dapat menghentikan hal tersebut. 

Namun, kritikus dalam negeri mengatakan keputusan semacam itu akan merusak kebebasan berbicara yang dilindungi dalam konstitusi mereka. Inilah keabsurdan kebebasan berekspresi sebagai penjamin individu ternyata bertabrakan dengan kekebasan individu lain yang juga berhak dilindungi.

Sementara di Indonesia yang sedang belajar menerapkan kebebasan berekspresi, tengah euforia jelang peringatan kemerdekaan. Meski tidak langsung tapi perayaan kemerdekaan yang mengekspresikan kekreatifan masyarakat terkadang ada unsur penghinaan dan protes pada suatu aturan. 

Misal pria menggunakan pakaian wanita dan menari bahenol seolah untuk memancing kelucuan semata. Pada barisan yang sama adanya barisan Muslimah berbaris rapi dari instansi tertentu. Tentu saja dalam kacamata rakyat umum ini dianggap kewajaran semata.

Kebebasan berekspresi yang konon dilindungi undang-undang ini bagaikan pepesan kosong. Pun ketika negara tidak mampu melakukan tindakan apa pun karena adanya pertentangan untuk mengatur dan membatasi kebebasan tersebut. 

Lalu buat apa dibuat negara untuk melindungi dan menindak pengancam kebebasan jika ternyata dalam penerapannya juga tidak bisa tegas dan adil?

Inilah bukti keabsurdan kebebasan dalam sistem kapitalisme liberal. Kebahagiaan, keamanan, dan pelayanan negara sebenarnya disetir demi, untuk, dan oleh pemilik cuan. Maka rakyat sebagai pemilik kekuasaan sesungguhnya tidak akan pernah dilindungi dan aman dalam kapitalisme liberal.  

Berbeda dengan sistem Islam. Meski tidak mengagung-agungkan kebebasan tetapi standar perbuatan yang dihukum jelas adanya. Kita kembali menelisik sejarah Islam pada masa Turki Utsmani. Saat itu terjadi insiden penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. 

Para seniman Prancis membuat pertunjukan berupa teater atau drama. Di sana terselip penghinaan terhadap Rasulullah SAW. Berita tersebut cepat terdengar oleh Sultan Abdul Hamid (khalifah). 

Dengan sigap dan tegas, khalifah memerintahkan utusannya untuk menyampaikan kepada pemimpin perancis dan pengusung teater tersebut untuk segera menghentikan pertunjukan mereka.

Jika pertunjukan masih dilaksanakan, khalifah beserta pasukannya tidak segan-segan memporak-porandakan Prancis. Karena kegemilangan peradaban Islam dan kekuatan militernya yang kuat, 

Prancis pun tidak berani dengan kaum Muslimin dan membatalkan pertunjukkan seni tersebut. wilayah-wilayah lain di luar dari kekuasaan Islam juga turut takut dan segan kepada kedaulatan Islam di masa itu.

Retakan demi retakan muncul menandakan sistem kapitalisme adalah sistem cacat nan rusak sejak lahir. Maka campakkan saja sistem buruk ini dan ganti dengan sistem Islam yang jelas kebenaran ajarannya dan keadilan serta ketegasan hukum (syariat-Nya).


Oleh: Retno Asri Titisari
(Pemerhati Generasi dan Keumatan)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar