Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Islamofobia di India, Umat Butuh Pelindung


Topswara.com -- Kondisi sengit kembali terjadi di India, bentrok kekerasan antara komunitas Hindu dan Muslim pecah. Akibat dari peristiwa ini, seorang imam masjid meninggal dunia setelah gerombolan umat Hindu membakar dan melepaskan tembakan ke sebuah masjid di Gurgaon, New Delhi di India utara, pada Selasa (1/8/2023). 

Tidak hanya masjid, massa juga membakar toko-toko bekas dan merusak restoran-restoran kecil yang mayoritas milik warga Muslim. Bentrokan ini disebabkan dari kelompok sayap kanan Hindu yang berkampanye menentang salat Jumat di Gurugram, (cnbcindonesia.com/02/08/2023).

Salah satu masjid yang diakui secara resmi untuk shalat adalah Masjid Anjuman, namun setelah terjadi bentrokan antar umat beragama itu membuat Masjid Anjuman menjadi gundukan puing dan abu. Umat Islam pun merasa dicekam ketakutan.

Tentu ini bukan pertama kalinya, pembakaran Masjid dan diskriminasi umat Islam di India berulang kali terjadi. Kerusuhan ini dipicu oleh Islamofobia yang berbuntut pada penyerangan tanpa henti oleh masyarakat India kepada umat Islam. 

Ini menjadi contoh tindakan ekstrimis intoleran terhadap minoritas muslim. Sekat nasionalisme membuat negeri Muslim lain terkesan acuh.

Hak Asasi Manusia (HAM) yang sering diusung pun memiliki standar ganda, artinya untuk menilai orang lain atau negara lain yang melanggar HAM disesuaikan dengan kepentingan negara yang mengusung. 

Seperti dalam konteks diskriminasi Muslim India ini, kediktatoran dan kekejaman yang menindas Muslim India dalam standar HAM harusnya dikecam, tapi PBB sebagai organisasi perdamaian dunia bungkam. Disisi lain ide pluralisme yang masuk ke Indonesia seakan harus diterima dan ditoleransi atas nama HAM.

Sejak peristiwa 9 September 2001 (911) yang dimotori oleh Amerika, Islam terus menerus menjadi sasaran tuduhan dan diskriminasi. Akibat Islamofobia, mereka melakukan hal-hal buruk terhadap umat Islam seperti penyerangan, diskriminasi, pelecehan, dan larangan shalat jumat. Kondisi seperti ini tidak dapat diakhiri jika eksistensi ideologi sekularisme kapitalisme masih diadopsi. 

Cara pandang sekularisme membuat mereka terus berupaya menjauhkan Islam dari kehidupan umat Islam, tidak heran Islamofobia terus ada. Sekalipun terjadi diskriminasi terhadap simbol agama maupun umat Islam, PBB hanya sebatas memberi kecaman, sebagaimana firman Allah SWT 

“Sungguh telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang tersembunyi di hati mereka lebih jahat lagi” (TQS Ali-Imran [3]: 118).

Kericuhan antar umat beragama sejatinya hanya bisa diselesaikan dengan kembali kepada penerapan Islam kaffah dalam khilafah. Khilafah akan menciptakan ketentraman dan antar umat beragama dapat hidup berdampingan dengan aman. 

Islam mengatur hak dan kewajiban kafir dzimmi yaitu orang-orang kafir yang menjadi warga negara khilafah, di mana harta dan jiwa mereka juga dilindungi sebagaimana umat Islam. Dalam khilafah, tidak ada paksaan bagi kafir dzimmi untuk memeluk Islam, mereka diberi kebebasan berkeyakinan. Umat Islam pun juga bisa berinteraksi dengan kafir dzimmi selama dalam perkara mubah seperti kerjasama bisnis, jual beli, dan sebagainya. 

Tetapi jika berkaitan dengan syariat seperti menikahkan perempuan muslim dengan laki-laki kafir, maka tidak ada kesepakatan atas nama toleransi. Karena itu sudah baku ketetapan dari Allah SWT. Itulah gambaran indahnya hidup dalam naungan khilafah.

Wallahu'Alam bi shawab.


Oleh: Nabila Sinatrya
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar