Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Insentif Mobil Listrik demi Kepentingan Korporasi Asing


Topswara.com -- Dilansir dari CNBC Indonesia (18/8/2023). Pemerintah akhirnya mengeluarkan keputusan yaitu skema kuota untuk impor mobil listrik Completely Build Up (CBU) berbasis baterai dengan fasilitas insentif. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyebut nantinya hal tersebut akan diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres).

Namun, benarkah insentif mobil listrik ini agar rakyat bisa berhemat pengeluarannya? Atau, adakah faktor lain yang menjadi penyebab diberikan nya insentif ini?

Sekjen Kementerian ESDM Rida Mulyana memprediksi bahwa hingga akhir 2022 ada kelebihan pasokan daya listrik PLN sebesar 6—7 gigawatt (GW). Berdasarkan sistem take or pay yang diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pokok-Pokok dalam Jual Beli Tenaga Listrik, atas kelebihan pasokan itu, PLN harus membayar penalti kepada IPP (independent power producer atau perusahaan produsen listrik swasta). Dengan demikian, kelebihan pasokan PLN butuh untuk diserap, yakni melalui program konversi mobil listrik.

Padahal, selama ini pemerintah sering mengeluhkan APBN jebol karena subsidi, lantas menaikkan harga BBM beberapa waktu lalu. Ternyata, sekarang pemerintah justru meluncurkan program insentif mobil listrik dengan dana yang besar. Sungguh paradoks.

Presiden Jokowi telah memerintahkan kepada seluruh kementerian, lembaga, dan pemda untuk menggunakan mobil listrik sebagai kendaraan dinas. Hal ini tertuang dalam Inpres 7/2022 tentang percepatan penggunaan kendaraan listrik berbasis baterai di instansi pemerintah pusat maupun daerah.

Akan dilakukan konversi bertahap terhadap 189.803 unit kendaraan dinas. Menurut Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, hal itu sangat penting dilaksanakan untuk mencapai cita-cita besar Indonesia tentang emisi karbon yakni visi net zero emissions pada 2060 (liputan6.com, 18/09/2022). Dengan penggunaan mobil listrik, harapannya bisa memangkas impor BBM. Benarkah demikian?

Konversi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) ke listrik selalu dikaitkan dengan program energi bersih. Tujuannya baik, yaitu mengurangi emisi karbon dengan mengurangi bahan bakar fosil, yaitu minyak. Namun, ternyata di hulu pembangkit listrik masih didominasi batubara dan BBM. Ini menunjukkan kebijakan setengah hati dalam mewujudkan energi bersih.

Jika memang serius mau mewujudkan energi bersih, pembangkit listrik selain batubara dan BBM harus ditingkatkan secara serius. Seperti tenaga bayu, panas bumi, nuklir, dan lain-lain. 

Namun, untuk meningkatkannya butuh kebijakan yang komprehensif, agar tidak menimbulkan masalah yang lain. Tidak bisa dengan model pembuatan kebijakan yang terburu-buru dan minim visi seperti yang dilakukan pemerintah selama ini.

Begitu pula terkait efisiensi. Dengan meningkatnya penggunaan listrik, pemerintah tengah mengurangi beban di hilir. Namun, beban tersebut kemudian berpindah ke hulu dalam bentuk kenaikan pembelian batubara dan BBM impor di hulu pembangkit. Ending-nya sama saja.

Apalagi terkait mobil listrik, pengadaan mobil listrik disinyalir akan dipenuhi dari impor lagi. Karena Indonesia baru memiliki dua pabrikan mobil listrik dengan kapasitas produksi yang kecil. Itu pun merek asing, yaitu Wuling dan Hyundai.

Mobil listrik yang dibuat pabrikan Indonesia tersebut pun masih menggunakan baterai impor. Apalagi dengan adanya insentif bea masuk nol persen untuk mobil listrik, impor akan makin mudah. 

Walhasil, penggunaan mobil listrik secara masif hanya akan menguntungkan korporasi asing, sedangkan Indonesia tetap menjadi pasar bagi produk mereka.

Butuh Visi Kemandirian Energi

Cita-cita mewujudkan energi yang bersih dan efisien merupakan hal yang baik. Namun, untuk mewujudkannya tidak bisa dengan kebijakan tambal sulam dengan memindahkan beban dari hilir ke hulu; atau mengurangi impor BBM, tetapi menaikkan impor mobil listrik.

Oleh karena itu, kita butuh visi besar berlandaskan ideologi sahih untuk mewujudkan kemandirian energi sehingga tidak tergantung kepada impor. Untuk itu butuh penerapan sistem ekonomi Islam yang salah satu wujud aturannya adalah menjadikan tambang strategis menjadi milik umum yang dikelola negara demi kemakmuran rakyat.

Selain itu, butuh peta jalan untuk mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi. Peta jalan ini dibuat berdasarkan syariat, bukan peta jalan yang didominasi kepentingan korporasi.

Sungguh tepat ketika islam menjadi negara yang memiliki visi rahmatan lil alamin. Dengan visi ini, negara akan menggelorakan jihad. Agar jihad bisa terlaksana, negara mutlak harus menguasai energi sehingga tidak ada satu pihak pun yang bisa mendominasi negara.

Wallahu alam bishawab.


Oleh: Eva Lingga Jalal
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar