Topswara.com -- Maraknya pinjaman online di tengah masyarakat memberikan berbagai dampak buruk serta mewabahnya utang ribawi yang makin tidak terkendali. Tren pinjaman online (pinjol) semakin marak. Sejalan dengan memberikan kemudahan dan solusi untuk masyarakat dalam bertransaksi bisnis melalui digital. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat kinerja outstanding pembiayaan fintech peer-to-peer (P2P) lending meningkat.
Pembiayaan melalui fintech P2P lending pada Mei 2023 sebesar Rp 51,46 triliun. Tumbuh sebesar 28,11 persen year-on-year (YoY). Dari jumlah tersebut, sebanyak 38,39 persen disalurkan kepada pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Dengan penyaluran pelaku usaha perseorangan sebesar Rp 15,63 triliun dan badan usaha senilai Rp4,13 triliun. JawaPos.com Selasa (11/7).
Perkembangan teknologi keuangan telah mendorong tumbuhnya pinjaman online alias pinjol makin subur di kalangan masyarakat berpendapatan rendah. Ambisi pemerintah untuk meningkatkan inklusi keuangan masyarakat, sehingga masyarakat lebih mudah mengakses kredit, juga ikut mempercepat perkembangan transaksi keuangan tersebut.
Biaya hidup yang tinggi, pekerjaan yang sulit didapat, gaya hidup hedonis yang semakin menggila, serta jumlah penduduk miskin yang besar menjadi pendorong maraknya orang terlibat dalam pinjol.
Padahal, pinjol laksana fatamorgana di padang pasir. Ia hanya memberikan harapan semu bagi masyarakat yang menghadapi masalah keuangan.
Pertumbuhan pinjol di Indonesia diperkirakan sangat tinggi dan terus tumbuh subur walaupun suku bunga yang ditawarkan sangat tinggi. Salah satu alasan banyaknya penduduk yang terlibat pinjol karena akses yang sangat mudah dibandingkan dengan lembaga keuangan lain, seperti bank dan lain-lain.
Alasan lain sebagian dari mereka yang terjerat praktek tersebut adalah tidak lagi melihat harapan untuk menyelesaikan masalah utangnya kecuali gali lubang tutup lubang. Semua itu tidak terlepas dari peran negara yang menganut sistem kapitalisme. Negara sama sekali tidak memperhatikan aspek halal dan haram dalam mengatur kegiatan ekonomi.
Berbeda dengan Islam, negara akan melarang praktik-ptaktik ekonomi yang bertentangan dengan hukum-hukum syariah. Salah satunya adalah transaksi pinjaman yang mengandung riba. Seperti sabda Rasulullah SAW., "Riba memiliki tiga puluh tujuh bentuk. Diantaranya yang paling ringan adalah seperti seorang pria menikahi ibunya. Sungguh bentuk riba yang paling berat adalah seperti mencela seorang Muslim." (HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim).
Di dalam negara yang berhukum pada syariat Islam, individu ataupun lembaga yang melakukan transaksi riba akan dikenai sanksi yang sangat keras. Negara yang akan menjamin pemenuhan kebutuhan asasi rakyatnya. Islam mengatur kebutuhan manusia dan skala prioritasnya.
Oleh sebab itu, satu-satunya cara untuk membebaskan masyarakat Indonesia dan dunia dari praktik rusak pinjaman ribawi yang didukung oleh pemerintah adalah dengan menerapkan Islam secara menyeluruh dalam seluruh aspek kehidupan bernegara, termasuk dalam bidang ekonomi.
Wallaahualam bissawab
Oleh: Siti Maryam
Aktivis Muslimah
0 Komentar