Topswara.com -- Muslim siapa yang tidak mendidih darahnya bila agamanya dinistakan. Negara paling liberal dan sekular Swedia dan Denmark akhir-akhir ini menjadi sorotan dunia Islam. Pasalnya, dua negara itu baru-baru ini menjadi lokasi rentetan aksi pembakaran kitab suci Al-Qur’an.
Sebagaimana dikutip CNBC Indonesia. (03/8/2023). Aksi pembakaran kitab suci Al-Qur’an yang dilakukan oleh imigran asal Irak, Salwan Momika, di depan Parlemen Swedia, Ini merupakan kali ketiga ia membakar dan menistakan kitab suci Al-Qur’an. Sedangkan di Denmark, aksi pembakaran kitab suci dilakukan selama tiga hari berturut-turut oleh kelompok anti-Islam, Danske Patrioter. Mereka melakukan aksinya di depan Kedutaan Turki di Kopenhagen.
Standar Ganda Barat Terhadap Islam
Peristiwa di Swedia dan Denmark ini menunjukan kepada kita standar ganda yang dimainkan para tokoh-tokoh Barat. Di satu sisi mereka memerangi apa yang mereka sebut ekstrimis dan radikalis, dan mengkampanyekan toleransi beragama.
Tetapi disatu sisi mereka sendiri yang terus memproduksi akar masalahnya, yaitu pelecehan dan penghinaan terhadap simbol dan ajaran agama Islam. Maka nampak jelas fobia mereka terhadap Islam.
Gencarnya islamofobia ini menjadi sesuatu yang wajar dilakukan. Dimana sekularisme menduduki posisi sentral dalam identitas nasional dua negara tersebut. Sekularisme sendiri adalah bentuk dari usaha menghilangkan campur tangan agama dari kehidupan.
Hal itu merupakan pandangan yang sebenarnya mayoritas masyarakat Swedia dan Denmark terhadap agama mereka. Dimana agama mereka yang sebenarnya adalah kebebasan.
Sehingga mereka berkeyakinan bahwa kebebasan itu lebih tinggi dari norma agama, sehingga tidak heran bila mereka mengabaikan nilai-nilai agama yang menurut mereka bertentangan dengan hak kebebasan. Namun demikian tidak ayal, tumbuh suburnya Islam di bagian Eropa, dirasa cukup mengkhawatirkan bagi ideologi sekularisme yang di anut negara, sehingga Islamofobia makin keras di gaungkan.
Persamaan hak dan kebebasan berekspresi yang didengungkan dan dijamin oleh demokrasi yang dianut oleh negara tersebut nyatanya hanya dalih untuk membenarkan penghinaan terhadap Islam. Karena sungguh di sayangkan dalam beberapa hal kebebasan berekspresi sudah tidak lagi berlaku.
Sekarang sudah berubah. kebebasan dan persamaan itu hanya berlaku bagi bangsa mereka dan bukan bagi kaum Muslim. Kaum Muslim harus berada dalam tekanan untuk mengekspresikan ajaran agamanya, bahkan sebagai urusan pribadipun pelarangan bahkan tindakan kekerasan tidak bisa dielakkan bagi kaum muslim yang menggunaan atribut yang menunjukan bahwa dia seorang Muslim.
Bukankah ini disksriminasi. Lantas dimana letak persamaan hak dan kebebasan itu?
Acapkali terjadi bagaimana kita diperlihatkan bahwa "kebebasan" hanya berlaku atas sebagian peristiwa. Sedangkan untuk peristiwa yang lainnya sudah tidak diakui. Konsep dimana ada demokrasi disitu ada kebebasan nyatanya hanya ilusi.
Pada satu sisi negara-negara liberal membiarkan penghinaan pada Islam atas nama kebebasan demokrasi. Hal itu berdampak pada tumbuh suburnya Islamofobia.
Maka untuk mengakhiri segala bentuk islamofobia termasuk penghinaan pada Islam dan simbol-simbolnya tidak cukup hanya sekedar mengutuk, mengecam ataupun memboikot produk-produk negara tersebut seperti yang dilakukan beberapa tahun lalu terhadap Prancis dan Inggris.
Tetapi butuh boikot atas semua produk pemikiran yang paling berbahaya, yang mengakibatkan kemunduran pada Muslim diantaranya demokrasi, sekularisme liberalisme dan paham ashabiyah/nasionalisme.
Isme inilah yang menjadikan penguasa Muslim di negeri manapun hanya dapat melakukan press conference untuk menyerang tindakan penghinaan terhadap Islam maka tidak heran Islamofobia tumbuh subur dalam sistem demokrasi hari ini.
Keadilan Bagi Para Penista Agama
Berbeda halnya dengan negara yang menerapkan Islam atau khilafah, sistem sanksi bagi penista agama dalam sistem Islam dimasukan dalam kasus uqubat tazir, dimana qadhi (hakim) akan memberikan hukum kepada seseorang sesuai dengan derajat kejahatan yang dilakukan, untuk hukuman paling berat adalah hukuman mati.
Oleh karena itu khilafahlah salah satu institusi negara yang dapat memberikan edukasi sekaligus sebagai penegak uqubat (hukum) tersebut, sehingga dapat meimbulkan ketentraman dan kerukunan antar umat beragama, sebab sanksi dalam Islam memiliki dua fungsi utama yaitu sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus).
Hal ini akan menyadarkan kaum Muslim bahwa ada persoalan yang lebih urgen daripada sekedar mengutuk, mengecam atau memboikot yang bersifat sementara itu, yaitu kesadaran untuk menyatukan kaum Muslim sedunia dalam satu kekuatan politik global khilafah islamiah. Sebuah institusi yang terbukti mampu menjadi benteng untuk melindungi kaum Muslim dari berbagai bentuk pelecehan dan penistaan.
Wallahu'alam Bishawab []
Oleh: Nur Octafian NL, S.Tr.Gz.
Aktivis Muslimah
0 Komentar