Topswara.com -- Belum lama ini, Mendikbudristek meluncurkan Merdeka Belajar ke 25: Permendikbud Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP).
Permendikbud tersebut disinyalir bisa mencegah dan menangani segala bentuk kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.
Dilansir oleh situs kemendikbud, hasil survei Asesmen Nasional tahun 2022 menunjukkan, sekitar 34,51 persen siswa (1 dari 3) berpotensi mengalami kekerasan seksual, diikuti oleh 26,9 persen (1 dari 4) yang berpotensi mengalami hukuman fisik, dan 36,31 persen (1 dari 3) menghadapi potensi perundungan.
Karenanya, pemerintah merasa perlu untuk membuat regulasi terkait pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan Pendidikan. Namun, pertanyaannya adalah, apakah aturan itu cukup ampuh mengurangi angka kekerasan di satuan Pendidikan?
Jika dilihat dari isi aturan tersebut, sama sekali tidak mengarah pada akar permasalahan. Bukankah sebelumnya pernah juga dibuat permendikbud nomor 30 tahun 2021, namun kasus kekerasan di dunia pendidikan selalu muncul di setiap daerah.
Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), diperoleh jumlah total kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan yang sampai proses hukum pada 2022, total sejumlah 17 kasus. Terjadi penurunan sedikit dibandingkan 2021 yang berjumlah 18 kasus.
Korbannya, berjumlah 117 anak dengan rincian 16 anak laki-laki dan 101 anak perempuan. Sedangkan pelaku total berjumlah 19 orang yang terdiri dari: 14 guru, 1 pemilik pesantren, 1 anak pemilik pesantren, 1 staf perpustakaan, 1 calon pendeta, dan 1 kakak kelas korban, demikian seperti dilansir oleh tirto.id pada 2/01/2023.
Jika berkaca pada aturan permendikbud nomor 30 tahun 2021, maka PPKSP tidak menyasar pada akar permasalahan yang selama ini terjadi. Lalu apa akar permasalahannya?
Akar permasalahan yang terjadi sekarang adalah kurangnya pemahaman akidah Islam setiap individu termasuk para siswa.
Kita harus mengakui, saat ini masyarakat dijauhkan dari pemahaman akidah islam. Masyarakat yang tidak paham akidah Islam, akan menghasilkan keturunan yang juga tidak memahami akidah Islam. Padahal, buah dari pemahaman tersebut adalah akhlak. Jadi wajar jika banyak para generasi hari ini tidak memiliki akhlak yang baik.
Akidah yang merupakan fondasi dari ajaran agama Islam kini disekat oleh paham sekular. Agama dianggap sebagai aturan yang hanya mengatur urusan akhirat, sedangkan urusan dunia, kita disuguhkan dengan isme yang lain. Padahal, Islam bukan sekadar ajaran yang mengatur peribadatan para pemeluknya, namun juga sebagai mabda atau ideologi.
Islam yang juga hadir sebagai ideologi mengatur semua lini kehidupan. Dari urusan sederhana hingga urusan yang serius. Masalah kekerasan yang terjadi di satuan pendidikan juga bisa selesai dengan aturan Islam.
Masyarakat yang saat ini dikelilingi oleh isme-isme Barat, harus mulai memakai Islam sebagai ideologi. Setiap orang harus dibina dan dibimbing dengan aturan islam yang kaffah. Aturan Islam yang menyeluruh.
Akidah Islam harus mulai dipahami oleh setiap individu, sehingga berbuah akhlak yang baik. Bayangkan jika di setiap rumah, terdapat anak-anak yang sudah mengenal konsep dirinya. Maka setelah mengenal dirinya, maka ia akan mengenal penciptanya yaitu Allah SWT.
Kemudian, setiap anak yang sudah kenal Allah, maka akan senantiasa merasa diawasi. Mereka akan melakukan hal-hal yang disukai Allah saja. Dengan begitu akan minim sekali anak-anak yang berperilaku tidak baik.
Agar tidak rusak, proses pendidikan akidah yang diberikan di setiap keluarga, harus dilindungi oleh sistem pemerintahan yang kokoh. Karena, mustahil tercapai keberhasilan yang signifikan jika tidak didukung oleh aturan dari pemerintah.
Sistem aturan yang sudah terbukti kokoh dan melindungi setiap warganya adalah sistem pemerintahan Islam atau khilafah.
Wallahualam bishawab.
Oleh: Eva Fatmah Hasan
Aktivis Dakwah
0 Komentar