Topswara.com -- Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo) kembali menagih utang pembayaran selisih harga atau rafaksi minyak goreng yang sampai dengan saat ini masih belum dibayarkan oleh Kementerian Perdagangan senilai Rp 344 miliar. Utang pemerintah kepada pelaku usaha minyak goreng berawal dari program minyak satu harga diluncurkan pemerintah pada awal Januari 2022.
Program itu diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 3 tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Dalam aturan itu, pengusaha harus menjual minyak goreng kemasan premium seharga Rp14 ribu per liter. Padahal, saat itu harga minyak tembus Rp17 ribu - Rp19 ribu per liter.
Pelaku usaha menutup selisih HET dan harga keekonomian dari Dana Pembiayaan Minyak Goreng Kemasan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Namun, dana itu tak kunjung diberikan. (CNNIndonesia. 15/07/2023)
Upaya pemerintah menetapkan HET tidak mampu menstabilkan harga minyak goreng dipasaran, dan sekarang justru menimbulkan permasalahan baru.
Ketua Umum Aprindo, Roy Nicholas Mandey mengatakan, apabila Kemendag tak kunjung membayarkan utangnya itu, maka Aprindo akan lepas tangan jika 31 perusahaan ritel yang terdiri dari 45.000 gerai toko di seluruh Indonesia menghentikan pembelian minyak goreng dari para produsen.
Adapun 31 perusahaan ritel yang tergabung diantaranya, ungkap Roy, Alfamart, Indomaret, Hypermart, Transmart, hingga Superindo. Jika hal tersebut dilakukan maka yang ditakutkan adalah adanya kelangkaan minyak goreng dipasaran. (CNBCIndonesia. 18/08/2023)
Kasus ini menunjukkan adanya salah kelola dalam hal penyediaan minyak goreng untuk masyarakat padahal minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok.
Pada saat ini, peran pengusaha begitu dominan untuk menyediakan kebutuhan pokok masyarakat, sehingga pada saat pengusaha dan pemerintah terjadi konflik maka berakibat kebutuhan minyak goreng tidak terlayani dengan baik. Bahkan harga minyak goreng pun bergantung pada para pengusaha.
Pada Desember 2022, Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) memperkirakan produksi minyak sawit dunia periode 2022/2023 sebesar 77,22 juta ton, yang berarti meningkat 3,39 juta ton atau 4,59 persen dibanding pada tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, Indonesia menyumbang 45,5 juta ton atau sekitar 59 persen. Jadi, dapat disimpulkan bahwa Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia. (Tempo.co. 20/05/2023)
Melihat data diatas, maka sebenarnya Indonesia itu sangat melimpah dalam produksi crude palm oil (cpo) atau minyak kelapa sawit. Hanya saja sangat disayangkan kegiatan ekspor lebih diutamakan dibanding untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Sehingga pemerintah seolah-olah mengalah terhadap kekuasaannya para pengusaha yang hanya melihat keuntungan lebih besar dari ekspor dari pada untuk masyarakatnya sendiri.
Dengan berlimpahnya produksi minyak kelapa sawit, tiga perusahaan besar yaitu Wilmar Group, Permata Hijau Group dan Musim Mas Group ditetapkan sebagai terdakwa dalam kasus korupsi, hanya saja tidak dibekukan. Jika dibekukan maka akan ada sejumlah dampak yang muncul dan dapat merugikan negara, maka hanya dijadikan tersangka dan tetap beroperasional, akan tetapi keuntungan yang didapat diserahkan kepada negara. (Kompas.com. 18/07/2023) .
Beginilah konsekuensinya hidup dalam sistem kapitalisme, yang menjadi tujuan utamanya adalah uang dan keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa menyandarkan perbuatannya itu benar atau salah menurut agama, karena dalam sistem ini agama tidak boleh berperan dalam ranah umum, khususnya dalam kegiatan berekonomi.
Pada sistem ini juga tidak ada pengaturan dalam sistem kepemilikan. Kepemilikan yang diagungkan adalah kepemilikan individu. Setiap orang bisa melakukan berbagai cara untuk memperoleh keuntungan. Begitu pun contohnya dalam kasus penyediaan minyak goreng, pengusaha yang mempunyai modal besar maka dialah yang berkuasa. Maka dalam hal ini, negara hanya bertindak sebagai pelayan para pengusaha bukan menjadi pelayan rakyat.
Oleh karena itu, dalam Islam peran negara yang paling utama adalah sebagai penanggung jawab bagi seluruh urusan dan kebutuhan rakyatnya. Negara tidak boleh bergantung kepada pihak manapun baik pada pengusaha maupun negara - negara asing.
Begitupun dalam ekonomi, Islam mengatur secara tegas kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Pembagian ini akan menghilangkan peluang penguasaan segelintir individu pada kebutuhan pokok milik umum, contohnya saat ini adalah minyak goreng.
Kemudian stabilitasi harga adalah fakta yang bisa dilihat secara berkala, menjaga ketersediaan suplly and demand lalu adanya pelarangan menimbun barang maka realita kondisi ekonomi yang nyaris tanpa inflasi ini sangat memungkinkan.
Pada dasarnya jika sistem Islam ditegakkan secara menyeluruh dalam semua aspek maka akan memberikan jaminan kebutuhan dasar bagi seluruh rakyat dan serta memberikan peluang yang sama kepada seluruh warga negara untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan tersiernya, serta kebijakan afirmatif kepada mereka yang membutuhkan.
Wallahu a'lam bi ash shawwab.
Oleh: Irma Legendasari
Aktivis Muslimah
0 Komentar