Topswara.com -- Uang Kuliah Tunggal (UKT) makin banyak menuai masalah. Pasalnya begitu banyak mahasiswa yang diterima di Universitas impian, namun tak mampu membayar tingginya biaya UKT.
Mahasiswa Jadi Korban Kapitalisasi Pendidikan
Salah satunya kasus camaba (calon mahasiswa baru) di UI (Universitas Indonesia). Disebutkan ada sepuluh camaba yang berencana mengundurkan diri, sebagai dampak dari mahalnya UKT (kompas.com, 27/6/2023).
Adapun para camaba tersebut masuk UI melalui jalur prestasi (SNBP/ Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi). Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua BEM UI, Melki Sedek Huang. Biaya UKT per semester sekitar Rp 15 juta. Dan ini jauh dari perkiraan para camaba.
Sementara sistem banding yang ada hanya berbentuk komentar dan tak jelas mekanismenya (republika.id, 4/7/2023). Kasus aduan tersebut meningkat sejak tahun 2022. Kasus aduan pada tahun 2022 sekitar 320 aduan, sementara tahun 2023, mencapai 800 aduan. Naik hampir 3 kali lipat (republika.id, 4/7/2023).
Bahkan dikatakan tidak ada kejelasan komunikasi dari pihak kampus UI dengan pihak mahasiswa. Sistem banding yang telah diajukan para camaba pun tidak membuahkan hasil. Tidak ada penurunan atau keringanan biaya. Menurut Ketua BEM UI, kecurigaan atas janggalnya pembiayaan kuliah di UI makin terbukti. UI gagal menyediakan pendidikan unggul yang terjangkau bagi anak negeri.
Ada beberapa penyebab tingginya biaya UKT, diantaranya belum ada transparansi metode perhitungan UKT pada masing-masing universitas. Padahal semua aturan ini tertuang jelas dalam Peraturan Kemendikbud No. 25 Tahun 2020.
Tidak hanya itu, mahalnya UKT juga karena kecilnya anggaran pendidikan, yaitu hanya 20 persen dari total APBN. Para pengamat pendidikan pun ikut berkomentar tentang mahalnya UKT.
Hal ini tidak lain karena adanya perubahan badan hukum perguruan tinggi menjadi PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri- Berbadan Hukum), lembaga pendidikan diberi ruang otonomi mengatur keuangannya secara mandiri.
Segala penyebab tingginya UKT ini sebagai dampak dari ketetapan WTO (World Trade Organization). WTO menyatakan bahwa sektor pendidikan merupakan salah satu sektor yang dikomersialisasi.
Betapa kusutnya sistem pendidikan ala kapitalisme. Prinsip bisnis untuk meraih keuntungan telah memenggal masa depan pendidikan generasi. Biaya pendidikan begitu mahal. Hanya bisa dijangkau oleh sebagian orang saja.
Selain mahal, pendidikan pun susah diakses. Tidak semua kalangan mampu menjangkau pendidikan di perguruan tinggi. Padahal merajut ilmu hingga perguruan tinggi adalah hak setiap generasi. Dan negara harus mampu memfasilitasi agar seluruh anak bangsa mampu dan mau melanjutkan pendidikan hingga jenjang tertinggi.
Selayaknya sistem kapitalisme harus sesegera mungkin ditinggalkan. Karena pengaturannya hanya menyisakan kesulitan dan penderitaan bagi rakyat.
Islam Mengatur Pendidikan
Islam menetapkan bahwa pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap individu yang wajib dipenuhi oleh negara. Sistem Islam dalam wadah institusi yang khas, yaitu khilafah, menjadikan pendidikan sebagai sarana utama untuk mengikat tsaqafah Islamiah dalam jiwa setiap individu Muslim.
Sehingga negara akan memaksimalkan upaya guna menyediakan dukungan pengadaan pendidikan terbaik bagi seluruh generasi. Tanpa ada diskriminasi. Ataupun komersialisasi.
Ilmu menjadi jalan keselamatan bagi setiap individu agar tak terjatuh dalam kebodohan dan kekufuran. Negara wajib memberikan ilmu yang dibutuhkan dan bermanfaat bagi setiap warga negaranya. Karena khilafah paham betul bahwa generasi adalah agent of change yang menyelamatkan bangsa. Dengan kata lain, pendidikan adalah kebutuhan dasar publik yang wajib difasilitasi negara secara mutlak.
Syekh Atha' Khalil dalam kitab "Usul Ta'lim al Manhaji" menjelaskan bahwa Islam menjadikan pembiayaan pendidikan seluruh tingkatan merupakan tanggung jawab penuh dari negara. Biaya pendidikan dalam hal ini termasuk biaya gaji guru ataupun dosen, infrastruktur, sarana dan prasarana pendidikan. Semua biaya pendidikan disediakan gratis oleh negara.
Syekh Abdurrahman Al Maliki dalam Kitab As Siyasah Al Iqtishodiyah Al Mutsla menjelaskan bahwa negara wajib menjamin tiga kebutuhan pokok rakyatnya, yaitu pendidikan, kesehatan dan keamanan. Sedangkan kebutuhan pokok berupa sandang, pangan dan papan dijamin negara secara tak langsung melalui penyediaan lapangan pekerjaan dan subsidi harga bahan pangan.
Sejarah Islam mencatat betapa masifnya pembangunan sarana dan prasarana pendidikan sejak abad IV Hijriyah pada masa Kekhilafahan. Perguruan tinggi yang dibangun lengkap dengan berbagai fasilitas penunjang seperti perpustakaan dengan auditorium, asrama bagi seluruh mahasiswa, perumahan dosen dan para ulama. Semua fasilitas dilengkapi juga dengan ruang makan, kamar mandi dan fasilitas penunjang lainnya.
Pendidikan gratis pernah disediakan Sultan Muhammad Al Fatih, khalifah masa Utsmaniyyah. Fasilitas pendidikan tersedia lengkap. Termasuk biaya beasiswa bulanan yang dibagikan kepada para mahasiswa. Perpustakaan lengkap dengan literatur luar biasa disediakan oleh khalifah. Agar para mahasiswa dan pelajar mudah menimba ilmu.
Seluruh pembiayaan ini tentu membutuhkan dana yang besar. Dan sumber dana dikelola dalam pengaturan keuangan negara. Dalam institusi khilafah, terdapat dua sumber biaya pendidikan bagi warga negara, yaitu pos pemilikan negara (fa'i, ghanimah, kharaj, usyur, khumus, jizyah dan dharibah), dan pos kepemilikan umum, yaitu tambang migas, hutan dan laut (Syekh Taqiyuddin An Nabhani, Kitab Nidzomul Iqtishodiyyu). Semua pengaturan keuangan dikelola dengan amanah demi kecerdasan seluruh rakyat.
Demikianlah, Islam mengatur setiap kebutuhan pendidikan dengan detil, menyeluruh dan sempurna. Semua usaha dikerahkan demi kecerdasan setiap individu warganegara. Agar tercapai kecerdasan yang utuh, dunia dan akhirat, demi cemerlangnya peradaban.
Wallahu a'lam bisshawwab.
Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor
0 Komentar