Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

TPPO, Perlu Evaluasi Arah Pendidikan


Topswara.com -- Akhir bulan Juni lalu mencuat berita di mana terdapat mahasiswa yang menjadi korban aksi tindak pidana penjualan orang (TPPO) berkedok magang ke Jepang. 

Berawal dari adanya laporan korban berinisial ZA dan FY yang merupakan mahasiswa politeknik Sumatera Barat kepada pihak KBRI Tokyo, Jepang. Disebutkan bahwa mereka dikirim ke Jepang untuk melakukan kegiatan magang, namun ternyata malah dijadikan buruh.

Dikutip dari liputan6.com, Selama 1 tahun magang, korban melaksanakan pekerjaan bukan layaknya magang akan tetapi bekerja seperti buruh. Beberapa hal yang dialami korban yakni bekerja selama 14 jam dari jam 8 pagi sampai dengan jam 10 malam selama 7 hari tanpa libur. 

Untuk istirahat, korban hanya diberikan waktu 10-15 menit untuk makan dan tidak diizinkan untuk melaksanakan ibadah. Disamping itu, Korban mendapatkan upah sebesar 50.000 Yen (Rp 5.000.000/bulan) dan korban harus memberikan dana kontribusi ke kampus sebesar 17.500 Yen atau setara sekira Rp 2 juta per bulan.

Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro menyebutkan, bahwa pada awalnya korban tertarik untuk kuliah di Politeknik tersebut, karena tersangka yang berinisial G sebagai Direktur Politeknik periode 2013-2018 menerangkan keunggulan dari Politeknik tersebut berupa program magang ke Jepang untuk beberapa jurusan yaitu Teknologi Pangan, Tata Air Pertanian, Mesin Pertanian, Holtikultura, dan Perkebunan. 

Pada tahun 2019 korban mendaftar untuk mengikuti program magang di Jepang selama satu tahun. Kemudian, korban mengikuti seleksi di program studi dan seleksi di tingkat kampus atau akademik. Hasil seleksi tersebut korban lulus untuk mengikuti program magang di Jepang yang diputuskan oleh EH sebagai direktur pada salah satu Politeknik periode 2018-2022. (Liputan 6.com, 28-6-2023)

Berdasarkan kutipan dari laman resmi Kemendikbudristek, program magang atau yang secara resmi disebut magang bersertifikat merupakan bagian dari program kampus merdeka yang bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk belajar dan mengembangkan diri melalui aktivitas di luar perkuliahan. 

Dalam program magang bersertifikat, mahasiswa akan mendapatkan pengalaman kerja di dunia industri/profesi nyata selama 1—2 semester. Dalam aturan Permendikbud 03 Tahun 2020, Pasal 19 yang berbunyi untuk pembelajaran 1 SKS pada proses pembelajaran dengan jumlah jam 170 menit perminggu, per semester. 

 Melalui pembelajaran langsung di tempat kerja mitra dagang, diklaim mahasiswa akan mendapatkan hard skills maupun soft skills yang akan menyiapkan mereka agar nantinya lebih mantap untuk memasuki dunia kerja dan kariernya.

Peserta didik memiliki keterampilan untuk memasuki dunia kerja nampak menjadi output dari proses pendidikan yang diharapkan oleh pemerintah saat ini. Di mana peserta didik disiapkan untuk menjadi buruh yang tidak lain merupakan ”budak-budak” korporasi. 

Hal ini sejalan dengan visi pemerintah yang dikenal dengan Indonesia Hebat di mana salah satu langkah prioritas pembangunan 2019—2024, yakni, memperkuat SDM, yang tidak lain adalah melahirkan talenta-talenta yang terampil dengan penguasaan hard skill dan soft skill yang dibutuhkan pada era persaingan global yang kian ketat dan perubahan-perubahan yang kian cepat. 

Untuk mendukung hal tersebut maka dirancang kurikulum berbasis kompetensi, memberikan fasilitas pembelajaran, merancang program-program beasiswa, juga berbagai kegiatan riset termasuk program magang.

Demikianlah pendidikan dengan ruh kapitalisme, para peserta didik didengungkan untuk memikirkan pekerjaan demi status mapan dan memiliki kehidupan yang ia anggap layak. 

Pendidikan dengan asas kapitalisme memiliki standar keberhasilan pendidikan yang diukur dengan keterserapan lulusan di dunia kerja dan kesuksesan yang bersifat materi belaka. Sistem pendidikan alih-alih berfungsi sebagai pilar peradaban cemerlang, melainkan justru menjadi pintu penjajahan. 

Konsep knowledge based economy begitu diagung-agungkan. Sehingga jadilah sistem pendidikan sebagai alat menumpuk materi, yakni sebagai salah satu faktor produksi dan basis pertumbuhan ekonomi.

Sejatinya, “budak korporat” sengaja diciptakan sebagai upaya mengukuhkan hegemoni. Potensi peserta didik yang luar biasa dikerdilkan dengan menyuburkan wahn pada diri mereka. 

Padahal, para peserta didik ini merupakan pemuda dengan sosok yang mampu membangkitkan sebuah peradaban. Dengan kekuatan akalnya, pemuda mampu melahirkan berbagai terobosan untuk menyelamatkan umat manusia. Kekuatan mata dan hatinya akan melahirkan kepekaan terhadap persoalan yang tengah menimpa umat manusia.

Sehingga dalam hal ini, pemerintah perlu mengevaluasi dan merubah arah visi pendidikan yang diterapkan. Kita tentu dapat melirik bagaimana sistem pendidikan dalam prespektif Islam. Sistem pendidikan dalam Islam tidak hanya berorientasi menghasilkan SDM yang sekadar punya skill. 

Namun juga SDM yang memiliki kepribadian Islam. Yakni SDM yang paham bahwa mereka hidup diciptakan oleh Sang Pemilik Kehidupan, sebagai hamba yang wajib tunduk kepada-Nya, sekaligus menjadi pengurus alam semesta yang taat pada aturan-Nya dan karenanya wajib memiliki skill untuk menjalankan misi hidupnya.

Visi pendidikan inilah yang akan menjiwai arah dan tujuan sistem pendidikan Islam. Juga menjadi nyawa bagi kurikulum dan metode pembelajaran yang diterapkan. Sehingga akan terlahir dari sistem ini profil generasi yang selain memiliki hard skill dan soft skill, juga berkarakter pemimpin dengan kualitas yang tinggi. 

Bukan sekedar menjadi buruh namun mereka siap tampil sebagai problem solver bagi masalah-masalah kemanusiaan dan siap berkontribusi membangun peradaban cemerlang.


Oleh: Dwi Sri Utari, S.Pd
Pendidik Generasi
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar