Topswara.com -- Dunia internasional tengah dihebohkan atas insiden kerusuhan beruntun di dataran Prancis. Pemerintah telah mengerahkan lebih dari 40.000 aparat keamanan di seluruh negara untuk menghentikan aksi kekerasan.
Buntut dari kejadian tersebut, telah dilaporkan sebanyak 2000 orang ditahan dan lebih dari 500 orang mengalami luka-luka, bahkan dalam kerusuhan yang terjadi di wilayah Cayenne, ibu kota Guyana Prancis, seorang pria dilaporkan meninggal akibat peluru nyasar liputan6.com (1/7/2023).
Dilansir dari sindonews.com, meluasnya kerusuhan tersebut dipicu oleh peristiwa di mana seorang polisi menembak mati seorang remaja muslim berusia 17 tahun bernama Nahel Merzouk di kota Nanterre (2/7/2023).
Keluarga Nahel adalah keluarga keturunan dari Aljazair. Ibu Nahel, Mounia, mengungkapkan adanya dugaan kuat motif rasialisme atas penembakan putranya karna berwajah sebagai seorang Arab dalam wawancara yang disiarkan di saluran TV France 5 (republika.co.id 30/6/2023).
Kemarahan yang berujung pada kerusuhan massal disebut sebagai ekspresi ketidakpuasan atas rasisme, diskriminasi, kemiskinan, dan terhalanginya kesempatan yang terus terjadi di Prancis (beritasatu.com 2/7/2023).
Jika dilihat sejak beberapa tahun silam, Prancis memang telah lama terjangkit islamophobia akut. Bahkan di sanalah tempat tatanan yang memisahkan antara agama dan kehidupan (sekularisme) muncul melalui renaissance dan Revolusi Perancis.
Saat menyoal Islam dan umat Muslim mereka sangat diskriminatif, ketakutan, dan menampakkan kebencian.
Penghinaan pada Nabi dan pelarangan melaksanakan syariat hijab terjadi sekian kali di Prancis. Abdallah Zekri, Kepala National Observatory of Islamofobia, mencatat setidaknya ada sekitar 235 serangan ditujukan kepada warga Muslim Prancis pada 2020 silam (cnbcindonesia.com 16/4/2023).
Peristiwa ini jelas menunjukkan hipokrisi negara-negara Barat dalam pelaksanaan Hak Asasi Manusia. Peradaban Barat didasarkan pada sekulerisme, yang hanya bergantung pada akal manusia.
Hal ini sebagian besar berkontribusi pada munculnya rasisme, yaitu keyakinan bahwa seseorang memiliki status yang lebih tinggi daripada orang lain.
Dalam tatanan sekularisme, atas nama Hak Asasi Manusia kebebasan berperilaku dan menyampaikan pendapat adalah hal yang dilindungi. Di saat ide liberal bahkan perilaku LGBT yang diberi ruang bahkan difasilitasi untuk tetap eksis, nyatanya hal itu tidak berlaku bagi Muslim dan ajaran Islam.
Ajaran Islam telah tertubi mendapatkan hinaan, persekusi bahkan pemeluknya didiskriminasi hingga tak jarang diperlakukan sampai meregang nyawa. Layaknya apa yang terjadi pada kaum muslimin di Palestina, India, Rohingya, Xinjiang dan lainnya.
Barat selalu menyuarakan HAM, tetapi gagal memperjuangkan hak kemanusiaan yang semestinya didapat. Ini menunjukkan standar ganda dari konsep hak asasi manusia yang dianut Barat, bersama dengan lembaga dunia yang hanya berbicara tentang hak asasi manusia tetapi tidak melakukan apa-apa, terutama jika terkait urusan kaum muslimin.
Barat terus berteriak HAM atas hal yang menyangkut kepentingan mereka namun mencederai bahkan menyoal hak asasi manusia mendasar yakni hak untuk hidup kepada selain daripada kalangan mereka.
Di samping itu, negara Barat secara terang-terangan terus menunjukkan ketidaksenangannya kepada ajaran Islam dengan framing jahat, meskipun sebenarnya merekalah yang paling tidak toleran.
Ironisnya, kaum muslimin terpedaya turut menjunjung moderasi beragama cetusan Barat dengan klaim pencegahan radikalisme Islam. Padahal narasi tersebut adalah strategi Barat untuk menjauhkan kamun muslimin dari pemahaman Islam kaffah.
Ini adalah situasi umat Islam sekarang. Tanpa perlindungan, tidak ada penjaga. Tidak peduli di mana berada, ia akan tetap terjebak dalam belenggu islamofobia sebagai akibat dari penerapan sistem sekularisme.
Paham kebebasan yang kebablasan yang terlahir dari ideologi sekularisme menjadikan penghinaan terhadap ajaran Islam dan kaum musimin dianggap biasa.
Ini adalah buah pahit dari penerapan sistem yang didasarkan sebatas pada akal manusia yang lemah dan terbatas. Tatanan saat ini tidak akan pernah mampu memberikan perlindungan dan menjaga fitrah manusia.
Berbeda dengan tatanan Islam. Selama lebih dari satu abad terbukti berbagai ras, suku bangsa, dan warna kulit berbeda hidup dalam keharmonisan dan kerukunan.
Salah satu contoh nyata dari kesatuan ini adalah seorang ulama besar bernama Habibah, yang pada masa kekhalifahan Bani Umayyah adalah seorang budak berkulit hitam. Setelah dibebaskan, ia memiliki kesempatan untuk meningkatkan pengetahuannya dan keilmuannya dihormati oleh kekhilafahan Bani Umayyah.
Selain itu, sistem khilafah menciptakan kerukunan dan toleransi antara agama, di mana semua warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim, memiliki hak yang sama, diberikan jaminan, dan pelayanan tanpa membeda-bedakan. Khalifah Umar Bin Khattab telah menunjukkan hal ini dengan membiayai seorang wanita tua Nasrani untuk menjalankan agamanya.
Rasulullah SAW bersabda: ”Sesungguhnya al-Imam itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud).
Selain menghapus rasisme, tatanan dengan sistem Islam juga menciptakan persatuan dan kesatuan di antara masyarakat yang bernaung dibawahnya tanpa memandang agama, ras, atau suku mereka. Oleh karena itu, umat membutuhkan junnah, atau perisai, yang dapat menjaga kemuliaan Allah SWT, Rasul-Nya, Islam, dan pemeluknya bahkan manusia pada umumnya.
Wallahu’alam bissawab.
Oleh: Agustin Pratiwi
Aktivis Muslimah
0 Komentar