Topswara.com -- Dilansir dari Katadata.co.id_Jumlah penyaluran pinjaman online (pinjol) meningkat pada Mei 2023 dibandingkan tahun sebelumnya. Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pembiayaan melalui fintech peer to peer (P2P) lending pada Mei 2023 tercatat sebesar Rp 51,46 triliun.
Tumbuh sebesar 28,11 persen year-on-year (YoY). Dari jumlah tersebut, sebesar 38,39 persen disalurkan kepada pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dengan rincian sebesar Rp 15,63 triliun disalurkan kepada pelaku usaha perseorangan dan badan usaha sebesar Rp 4,13 triliun.
Jumlah rekening penerima pinjaman aktif juga tumbuh sebesar 15,3 persen menjadi Rp 17,7 juta pada Mei 2023, jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Menurut OJK, pertumbuhan tersebut menunjukkan kebutuhan masyarakat dan pelaku UMKM yang tinggi atas akses keuangan yang lebih mudah dan cepat dibandingkan perbankan atau lembaga pembiayaan lainnya. Namun, menurut OJK, tingkat kelalaian pembayaran ikut meningkat. Tingkat wanprestasi 90 hari (TWP90) pada Mei 2023 tercatat meningkat 1,08 poin menjadi 3,36 persen dari tahun sebelumnya.
Anggota Dewan Komisioner OJK yang membidangi Edukasi dan Perlindungan Konsumen Friderica Widyasari Dewi, mengatakan individu yang cenderung menggunakan pinjol untuk memenuhi kebutuhan konsumtif gaya hidup, lebih mudah terjebak dalam kredit macet. Ia menyebutkan kebutuhan gaya hidup itu antara lain pembelian gawai baru karena mengikuti tren, belanja pakaian terkini, rekreasi ke tempat-tempat terpopuler hingga membeli konser musik.
Selain untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup, masyarakat yang cenderung menggunakan pinjaman untuk kebutuhan mendesak atau darurat juga cenderung terjebak dalam kredit macet. Salah satunya adalah untuk memenuhi kebutuhan berobat.
Bagi UMKM, menurut dia, kesulitan pelunasan terjadi karena salah perhitungan bisnis yang berakibat pendapatan dari penjualan barang atau jasa tak optimal. Jumlah pendapatan yang lebih kecil dari jumlah pinjaman atau jumlah cicilan per bulan menyebabkan pelaku UMKM terjebak dalam kredit macet.
Maraknya kasus pinjaman online masyarakat harusnya menjadi tamparan keras bagi bangsa ini. Masalah ini harus menjadi pijakan evaluasi sistemik negara ini terkait tanggung jawabnya dalam kesejahteraan rakyat.
Praktik pinjol tidak boleh hanya dipandang sebagai persoalan individu ataupun dibatasi sebagai penipuan kriminal. “Sesungguhnya pinjaman berbasis ribawi merupakan keresahan sosial yang menimpa bangsa ini. Beban utang negara, penderitaan rakyat dikejar debt collector pinjol.
Selain itu, yang perlu juga dikritisi adalah bagaimana tanggung jawab negara menghapus tuntas penyebab masyarakat terjerat transaksi tersebut diantaranya kemiskinan, kebutuhan hidup yang semakin mahal, gaya hidup konsumtif, hingga adanya lembaga-lembaga keuangan ribawi yang masih eksis keberadaan.
Kondisi ini makin diperparah dengan kebijakan negara jauh dari perlindungan terhadap rakyat. Alih-alih melepaskan idelologi sekuler kapitalisme yang telah menyengsarakan rakyat, regulasi negara justru mengembangkan model rentenir baru atas nama transformasi digital. Meski tegas memberantas pinjol illegal namun mendukung yang legal.
Arus global transfomasi digital, dimungkinkan menjadi pintu fintech asing yang masuk ke pasar Indonesia yang makin menyuburkan transaksi ribawi yang ada.
Solusi tuntas memberantas praktik pinjaman online adalah penyadaran sistemis baik bagi rakyat maupun penguasa negara ini dengan penguatan akidah dan pemahaman syariat Islam atas haramnya riba, keyakinan bahwa Allah tidak akan memberikan rezeki dengan cara yang haram.
Selain itu, karena persoalan pinjaman online ini dikarenakan masalah sistem maka harus membuang sistem sekularisme kapitalisme penyebabnya dan menggantinya dengan sistem Islam sebagai landasan kebijakan negara.
Wallahu alam bishawab.
Oleh: Eva Lingga Jalal
Aktivis Muslimah
0 Komentar