Topswara.com -- Citra Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini telah tercoreng oleh internalnya sendiri. Lembaga yang digadang-gadang mampu menyapu bersih praktik korupsi di negeri ini ternyata tak luput dari tindak pidana korupsi. Ibarat sapu, saat ini KPK laksana sapu kotor, integritas KPK patut dipertanyakan.
Saat ini KPK menjadi sorotan publik. Sedikitnya ada tiga skandal yang terungkap di tubuh KPK. Pertama adalah dugaan pungutan liar (pungli) di rumah tahanan (rutan) KPK. Diduga, pungli itu terjadi pada bulan Desember 2021 hingga Maret 2022.
Dewan Pengawas (Dewas) KPK menduga jumlah pungli yang dikumpulkan mencapai Rp 4 miliar. Lanjutan dari pungli itu, muncullah skandal pelecehan seksual yang menimpa istri tahanan. Skandal ketiga adalah penggelembungan uang perjalanan dinas seorang pegawai KPK di bagian administrasi (tempo.co, 03/07/2023).
Krisis Integritas dan Kepemimpinan
Praktisi hukum Todung Mulya Lubis menilai adanya pelemahan KPK pasca revisi Undang-undang KPK. Sehingga mengakibatkan terjadinya demoralisasi dan degradasi pada tubuh KPK. Gambaran KPK saat ini sungguh jauh berbeda dari gambaran ideal yang dibayangkan oleh masyarakat.
Lebih lanjut Todung menilai bahwa tindakan pegawai KPK yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dan pelanggaran etik, dapat ditelisik dari perekrutan. Pengamat antikorupsi ini mengatakan, terjadi fenomena pegawai KPK hanya diisi oleh orang-orang yang disukai, tidak lagi berdasarkan integritas yang dimiliki (kompas.com, 30/06/2023).
Di sisi lain, lembaga antiruswah yang lemah dan dilemahkan oleh revisi UU KPK itu mengalami krisis kepemimpinan. Skandal pungli di rutan KPK itu menyeruak diantara kasus dugaan pelanggaran kode etik oleh Ketua KPK.
Firli dilaporkan MAKI (Masyarakat Anti Korupsi Indonesia) atas dugaan bergaya hidup mewah dengan memakai helikopter yang diduga milik perusahaan swasta (bbc.com, 25/08/2020).
Demokrasi Menyuburkan Korupsi
Krisis kepemimpinan tidak hanya melanda lembaga KPK, namun hampir semua pejabat di instansi pemerintahan. Sistem demokrasi yang berbiaya mahal meniscayakan kongkalikong antara pengusaha dan calon pejabat.
Modal dari para kapital menuntut kompensasi dalam bentuk apa pun. Kekuasaan oligarki pun bermain di setiap keputusan, kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan oleh penguasa.
Sistem pendidikan sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan mencetak manusia yang miskin iman. Manusia yang orientasi hidupnya hanya untuk materi.
Tidak ada koneksi akhirat sehingga menghalalkan segala cara demi meraih kebahagiaan semu berupa harta dan tahta. Walhasil, krisis integritas pun menjadi citra para aparatur negara.
Parahnya lagi, tak ada sanksi tegas bagi pelaku tindak pidana korupsi. Lagi-lagi karena sistem demokrasi sekuler yang mendaulat manusia sebagai pembuat aturan. Akhirnya, aturan yang dibuat sangat kental dengan kepentingan manusia, revisi UU KPK contohnya.
Rutan yang nyaman, seakan hanya memindah peraduan, bagaimana bisa memberi efek jera? Belum lagi dengan aturan yang mengizinkan mantan napi korupsi boleh nyaleg dan ikut Pilkada, Siapa yang tak takut melakukan korupsi? Adalah suatu kemustahilan untuk memberantas korupsi di sistem demokrasi sekuler.
Islam Membabat Korupsi dari Akarnya
Pemberantasan korupsi secara tuntas hanya ada di sistem Islam. Sistem yang berasas pada akidah Islam menjadikan syariat Allah SWT sebagai aturan kehidupan. Aturan hidup yang bersumber dari Allah SWT Al-Khalik sekaligus Al-Mudabbir pasti membawa kebaikan bagi seluruh makhluk-Nya termasuk manusia.
Khilafah adalah institusi yang akan menerapkan syariat Islam secara kaffah. Dan secara komprehensif, mampu menuntaskan masalah korupsi. Sistem pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh khilafah akan melahirkan individu yang bertakwa dan berkepribadian Islam.
Individu yang meletakkan standar kebahagiaan hanya pada ridha Allah. Pola pikir dan pola sikapnya akan disesuaikan dengan syariat Allah. Individu yang berkepribadian Islam akan menjalankan amanah kepemimpinan dengan penuh keimanan. Sebab ia paham bahwa jabatannya akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.
Masyarakat khilafah juga diliputi oleh suasana keimanan. Budaya amar makruf nahi mungkar mencegah kemaksiatan termasuk praktik korupsi. Dalam Islam, harta pejabat yang didapatkan diluar gaji mereka dinamakan harta ghulul dan haram hukumnya. Masyarakat bisa ikut mengawasi kinerja dan harta para pejabat dan aparatur negara.
Khilafah juga akan memberikan sanksi tegas bagi para koruptor. Sistem sanksi dalam Islam memiliki dua sifat yaitu sebagai penebus dosa bagi pelaku dan pencegah agar kejahatan tidak merajalela.
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, para pejabat tak ada yang melakukan korupsi. Khalifah Umar sangat ketat mengawasi penambahan harta aparatur negara. Jika beliau melihat ketidakwajaran, si pejabat segera diperiksa. Dan jika terbukti memakan harta ghulul maka hartanya akan disita dan dimasukkan ke kas baitul mal. Walhasil, pemberangkatan korupsi hanya bisa dilakukan oleh negara khilafah. Wallahu a'lam []
Oleh: Mahrita Julia Hapsari
(Muslimah Aktivis Dakwah)
0 Komentar