Topswara.com -- Dilansir dari Kompas.com - Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyebutkan, terdapat 58 proyek strategis nasional (PSN) yang belum dimulai pembangunannya hingga saat ini.
Padahal, era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan berakhir tahun depan. Ketua Tim Pelaksana Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) Wahyu Utomo mengatakan, pihaknya akan membahas nasib proyek strategis yang belum dibangun pada pekan depan. Meskipun demikian, pada prinsipnya pemerintah masih berupaya untuk memulai pembangunan seluruh proyek yang tergabung dalam PSN.
Wahyu merinci ada tiga tantangan PSN Jokowi belum rampung. Pertama, pengadaan tanah yang biasanya terjadi pada proyek jalan tol. Kedua, masalah pembiayaan. Ketiga, masalah perizinan yang menurutnya sudah bisa diatasi dengan UU Nomor 6 Tahun 2023 alias UU Cipta Kerja.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto mengungkapkan ada 156 proyek strategis nasional (PSN) yang sudah rampung sejauh ini. Bahkan, ia menegaskan PSN bakal lanjut terus, siapapun pemimpin di 2024 nanti.
PSN, Sudah Strategiskah?
Disadari atau tidak, proyek strategis nasional atau yang sering disebut PSN ini terpusat pada pembangunan infrastruktur fisik semacam jalan tol, pelabuhan, bandara internasional, bendungan, dan beberapa jenis infrastruktur lain yang terkesan memaksa pengadaannya.
Dikatakan memaksa karena dari segi pembiayaan, pembangunan infrastruktur tersebut memakan anggaran cukup fantastis menyedot pendapatan negara. Apabila pendapatan negara belum cukup, maka dibukalah keran investasi kepada investor baik lokal maupun asing sehingga mereka dapat turut serta “memiliki” proyek strategis tersebut.
Selain itu, PSN juga dinilai tidak tepat sasaran karena pembangunan yang dilakukan justru difokuskan pada lokasi-lokasi dan pembiayaan yang sulit diakses untuk masyarakat luas.
Contohnya jalan tol. Jalan tol hanya bisa diakses oleh sebagian masyarakat dengan kelas ekonomi menengah ke atas dikarenakan tingginya biaya tol pada masing-masing ruas. Ruas yang diambil pengelola tol pun jauh dari pemukiman penduduk yang bertempat tinggal di jalan-jalan biasa.
Walau pun ada fasilitas rest area, tempat tersebut juga memiliki insetif cukup tinggi sehingga tidak semua pedagang mampu mengakses lokasi yang notabene cukup jauh dari pemukiman penduduk. Belum lagi dengan adanya persaingan para investor di bidang food & beverages, clothing, hingga supermarket yang turut hadir dalam rest area di setiap ruas jalan tol.
Hal itu tentu menimbulkan pertanyaan, sebenarnya pembangunan jalan tol untuk kepentingan siapa? Jika untuk kepentingan masyarakat, mengapa justru masyarakat kesulitan mengakses bahkan mendulang keuntungan dari adanya pembangunan jalan tol?
Contoh lain yang bisa diambil adalah pembangunan bandara internasional. Ada beberapa bandara yang menghabiskan pembangunan hingga miliaran rupiah dan ditargetkan meraup keuntungan dari ribuan calon penumpang setiap harinya, namun hingga saat ini justru bandara tersebut sepi pengunjung.
Target awal penumpang yang berjumlah ribuan tersebut tidak tercapai dan nyaris mangkrak. Lantas, untuk siapa pembangunan bandara internasional tersebut dibangun?
Maka dari itu, wajar jika PSN disebut sebagai proyek strategis yang tidak strategis karena tidak tepat sasaran dalam mengentaskan permasalahan masyarakat.
Masalah masyarakat yang hingga saat ini belum terlihat berakhir adalah tingginya kemiskinan struktural, polemik pendidikan baik dasar hingga perguruan tinggi, tingginya angka pengangguran, tingginya angka kriminalitas, tingginya harga bahan kebutuhan pokok, makin amburadulnya moral generasi muda, invasi teknologi digital, cyber crime, lemahnya pengawasan negara terhadap data-data penting warga negara, korupsi oleh pejabat negara dan aparat pemerintah, konflik perebutan lahan untuk kepentingan sebelah pihak, dan masih banyak isu lain yang seharusnya menjadi fokus strategis penyelesaian oleh pihak pemerintah.
Belum lagi pembiayaan PSN ini diambil dari utang yang bersifat ribawi, artinya negara harus mengembalikan utang beberapa persen lebih banyak dari pokok pinjaman awal. Hal ini tentunya menambah masalah yang sudah ada.
Akan tetapi, mengapa seolah permasalahan tadi tidak begitu diutamakan oleh pemerintah dibandingkan pembangunan infrastruktur yang justru tidak langsung menyelesaikan problematika masyarakat?
Bisa disimpulkan, negara ini lemah dalam merencanakan hal-hal strategis yang tengah berlangsung di tengah masyarakat. Sebut saja perbedaan pendataan lapangan dengan yang disetorkan kepada pemerintah, hal tersebut sudah mengindikasikan bahwa negara beserta aparaturnya tidak serius dalam memetakan problematika riil di lapangan dengan mendata secara akurat dan terkesan asal jadi.
Kelemahan dan ketidakseriusan negara dalam menyelesaikan masalah masyarakat berangkat dari sistem yang diterapkan oleh negara ini, yakni sistem kapitalisme sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan, dan berorientasi pada materi serta kepentingan ekonomi semata.
Tentunya hal ini berbeda dengan sistem islam yang memandang bahwa hidup ini harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak pada Yaumil Akhir, dimana suasana keimanan merupakan hal lumrah ditemukan pada setiap manusia baik ia seorang kapala negara, pejabat negara, aparat pemerintah, hingga masyarakat biasa.
Sistem Islam mampu menciptakan suasana ketaatan, dimana setiap manusia yang diberi amanah menjalankan pemerintahan akan betul-betul mengurusi hajat hidup masyarakat secara sempurna hingga tercipta keadilan.
Ditambah Islam juga memiliki sistem politik dan ekonomi yang unggul dan mampu menjadikan pembangunan fokus hanya untuk kepentingan rakyat, sehingga perencanaan dilakukan dengan matang dan realistis, bukan asal-asalan.
Negara dengan sistem Islam juga bertanggung jawab dalam pembiayaan dan memiliki sumber dana yang cukup untuk menjamin keberlangsungan pembangunan tanpa utang. Sumber dana bisa diperoleh salah satunya dari pengelolaan berbagai sumber daya alam yang begitu melimpah di alam Indonesia.
Sayangnya, sumber daya alam tersebut dikuasai oleh perusahaan-perusahaan multinasional hingga perusahaan asing sehingga keuntungan yang seharusnya mampu menuntaskan berbagai masalah pendanaan tidak masuk ke kas negara.
Dengan demikian, sudah selayaknya kita kembali kepada sistem Islam agar proyek strategis nasional yang dirancang betul-betul untuk menyelesaikan problematika masyarakat.
Oleh: Prayudisti S. Pandanwangi
Aktivis Muslimah
0 Komentar