Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Polemik Masa Jabatan Kepala Desa 9 Tahun, Melanggengkan Korupsi


Topswara.com -- Wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi sembilan tahun masih menjadi polemik, pasalnya sebagian orang menganggap perpanjangan masa jabatan kepala desa tidak punya urgensi dan bahkan dinilai transaksional semata.

Ada juga yang beranggapan secara umum, alasan untuk memperpanjang masa jabatan kades bertujuan untuk mendorong stabilitas pembangunan, karena kalau masa jabatan hanya enam tahun dinilai tidak cukup untuk melakukan pembangunan. Terlebih di tengah instabilitas residu politik konservatif setiap gelaran Pilkades.

Semua alasan yang di kemukakan sebenarnya tidak mengarah kepada urgensi, terlebih ketika tujuan untuk stabilitas pembangunan. 

Faktanya masa jabatan enam tahun saja masih banyak ditemukan kepala desa tertangkap tangan melakukan tindakan korupsi dana desa, sehingga pembangunan untuk memajukan desa tidak terkontribusi dengan sempurna.

Mentri Desa Abdul Halim Iskandar mengatakan pembangunan daerah tertinggal dan distribusi dana desa sudah tepat sasaran, bahkan dia menjamin tidak akan ada pembangunan mangkrak di seluruh desa, bahkan ia juga menjamin keamanan dana desa sudah dilakukan secara berlapis, baik inspektorat kementriannya maupun aparat penegak hukumnya .Tirto.com 30/6/03

Namun, semuanya itu bak pribahasa jauh panggang dari pada api. Mengingat banyaknya kasus tertangkap tangan para kepala desa menyalahgunakan dana desa. Dari catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) sepanjang 2022, kasus korupsi di sektor desa yang terbanyak terjerat hukum.

Bahkan tidak tanggung-tanggung dana desa yang dikorupsi untuk kepentingan pribadi yaitu berfoya-foya dan bahkan sampai menyewa wanita open BO seperti yang terjadi kepala desa Herman Sawiran Sumatera Selatan.

Miris, maraknya korupsi bak seperti tren dan dianggap hal yang wajar. Perbincangan korupsi seperti tak ada habisnya, dari para pejabat tinggi negara sampai setingkat kepala desa.

Oleh karena itu, tuntutan para kades memperpanjang masa jabatan hanya makin melanggengkan tindakan korupsi. Namun yang masih menjadi pertanyaan unjuk rasa para Kades di depan gedung DPR langsung diakomodasi oleh Presiden Joko Widodo dengan menyepakati merevisi UU desa. 

Berbeda sekali perlakuan para unjuk rasa yang bergabung kaum buruh yang menuntut untuk pembatalan Omnibuslaw ketenagakerjaan.

Karut marut yang sekarang ini tidak lepas dari diterapkan sistem demokrasi kapitalis, yang segala sesuatunya patut diperhitungkan untung dan ruginya. Bahkan jabatan setingkat kades pun terkoordinir dengan para oligarki. Di tambah lagi sistem yang eksis sekarang ini membuka banyak celah korupsi.

Alih-alih untuk kemaslahatan rakyat, penambahan masa jabatan hanya bertujuan untuk kepentingan pribadi penguasa, sistem demokrasi kapitalisme hanya menjadi lahan basah korupsi. Karena untuk menjadi kades tentu membutuhkan dana kampanye yang tidak sedikit. 

Sehingga kalau masa jabatan hanya enam tahun, belum cukup banyak untuk mengembalikan dana untuk kampanye sehingga jalan pintasnya dengan korupsi.

Berbeda halnya dengan sudut pandang Islam dalam memaknai pemilihan struktur negara, proses pemilihan nya tidak berbayar bahkan tidak seribet sistem demokrasi. Begitu juga dalam penanganan korupsi secara tuntas yaitu diawali dengan membangun integritas pemimpin dengan ketakwaan individu baik dari loyalitasnya untuk kemaslahatan rakyat seluruhnya.

Sebagaimana Nabi SAW bersabda " setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggung jawaban tentang apa yang ia pimpin." (HR Al- Bukhari Muslim).

Begitu juga dengan menerapkan hukum Islam yang tegas, tidak tebang pilih. Sehingga keadilan benar-benar merata tanpa banyak drama. Semua itu bisa terlaksana apabila sistem Islam di terapkan, kalau berharap pemimpin yang adil dan tidak korup itu mustahil didapat dalam sistem demokrasi.

Wallahu a'lam bishawwab.


Oleh: Wakini
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar