Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pernikahan Beda Agama, Dampak Liberalisme Beragama


Topswara.com -- Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan permohonan perkawinan pasangan beda agama. Permohonan itu disampaikan JEA (mempelai laki-laki) beragama Kristen dan SW (mempelai perempuan) beragama Islam.Selain berdasarkan UU Adminduk, hakim juga mendasarkan putusannya pada alasan sosiologis yaitu keberagaman masyarakat. Sabtu (24/6) seperti dikutip dari Antara.

Pernikahan beda agama kini tidak malu lagi ditampakkan di media sosial. Menurut laporan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) sejak 2005, sudah ada 1.425 pasangan beda agama menikah di Indonesia. 

Meski banyak kalangan mengingatkan keharaman pernikahan beda agama tersebut, tidak sedikit yang membela. Ada yang menyatakan mestinya perbedaan agama jangan jadi penghalang cinta dan pernikahan. Bahkan, ada yang mengatakan hukum pernikahan seorang muslimah dengan lelaki nonmuslim adalah khilafiah di kalangan ulama.

Pernikahan muslimah dengan lelaki kafir sesungguhnya telah tuntas dibahas oleh para ulama.

Ormas-ormas Islam di dalam negeri pun telah menyepakati keharaman nikah beda agama, khususnya muslimah dengan lelaki kafir, tanpa ada perbedaan di antara mereka. 

MUI telah mengeluarkan fatwa nomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 yang menetapkan perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa keharaman nikah beda agama dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada akhir November 1989. 

Demikian pula Muhammadiyah, melalui Sekretaris Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti, menegaskan pernikahan berbeda agama tidak sah menurut hukum Islam dan undang-undang (UU).

Dengan demikian pernikahan seorang muslimah dengan lelaki kafir jelas batil. Tidak sah menurut syariat. Status hubungan mereka bukanlah pasangan suami istri dalam pernikahan, tetapi perzinaan. 

Hal ini berdampak pada status anak yang lahir dari pasangan muslimah dengan lelaki kafir; nasab anak mereka tidak disandarkan pada sang ayah, melainkan pada ibunya. Islam hanya mengakui nasab anak kepada ayah yang lahir dalam ikatan pernikahan yang sah.

Lelaki kafir juga tidak halal menjadi wali untuk anak-anak perempuan mereka. Ia pun tidak saling mewarisi harta kepada istri maupun anak-anaknya.

Marak dan beraninya orang menampilkan pernikahan beda agama adalah bagian propaganda ajaran liberalisasi beragama yang tumbuh subur di alam sekularisme demokrasi. 

Dalam sistem sekularisme demokrasi agama harus dipisahkan dari kehidupan, termasuk dalam urusan pernikahan, juga dari negara. Agama hanyalah pilihan dan urusan pribadi.

Dalam sistem demokrasi, warga diberikan kebebasan berpendapat dan berperilaku. Tidak peduli apakah sampai menghalalkan yang haram, seperti pernikahan muslimah dengan lelaki beda agama.

Di sisi lain, kaum muslim yang ingin taat beragama ditakut-takuti dengan sebutan radikalisme. Sebagaimana yang pernah dirilis oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), ciri-ciri kaum radikal adalah intoleran pada umat beragama lain, takfiri yakni suka mengafirkan orang lain, termasuk mengafirkan kalangan nonmuslim.

Karena itu pernah ada upaya sekelompok orang untuk mengubah sebutan kafir pada kalangan nonmuslim lalu mengganti sebutan tersebut dengan muwathinun (warga negara). Alasannya, sebutan kafir mengandung kekerasan teologis terhadap kalangan nonmuslim.

Paham inilah yang rupanya akan menjadi celah untuk menghapuskan pengertian iman dan kafir yang telah jelas dalam Al-Qur’an, as-Sunah dan para ulama salaf. Termasuk menjadi pintu untuk menghalalkan hal-hal yang semula haram karena persoalan akidah.

Padahal menghalalkan perkara yang sudah jelas keharamannya bisa menjadi pembatal keimanan.

Sebab itulah, selama paham sekularisme dan ajaran demokrasi dianut oleh kaum muslim, praktik pernikahan beda agama akan terus berjalan. Tidak ada yang mencegah mereka meskipun nikah beda agama dinyatakan melanggar undang-undang.

Dalam Islam, negara berkewajiban mendidik dan melindungi umat dari pemahaman yang keliru, seperti pernikahan beda agama. Negara wajib mencegah pernikahan batil tersebut terjadi. Negara juga akan menghukum para pelakunya, juga pihak-pihak yang mengadvokasinya.

Pencegahan terhadap nikah beda agama juga bertujuan untuk melindungi akidah kaum muslim. Allah Swt. mengingatkan bahwa orang-orang kafir akan berusaha memengaruhi pasangannya yang muslim untuk murtad dari agamanya.

Faktanya, pemurtadan terhadap muslimah lewat cara pernikahan memang kerap terjadi. Banyak lelaki nonmuslim yang berpura-pura masuk Islam lalu menikahi perempuan muslimah. Tujuannya untuk kembali murtad sambil mengajak dan memaksa istri serta anak-anaknya.

Apalagi jika sejak awal pihak lelakinya kafir, semakin besar peluang untuk memurtadkan keluarganya kelak. Padahal murtad merupakan dosa besar dan pelakunya diancam hukuman berat.

Di dalam Islam, pernikahan bukanlah sekadar karena cinta dan kasih sayang, melainkan dengan asas ketaatan pada Allah SWT., lalu bersama menunaikan hak dan kewajiban sesuai ajaran Islam. Itulah pernikahan yang akan mendapatkan keberkahan serta mewujudkan kehidupan sakinah mawadah wa rahmah. 

Andaikan cinta yang jadi tolak ukur baik dan buruk, apalagi jadi ukuran halal dan haram, bisa jadi hubungan yang rusak dan menjijikkan seperti kumpul kebo, homoseksual atau inses dilegalkan.

Wallahu alam bishawab.


Oleh: Eva Lingga Jalal
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar