Topswara.com -- Banjir seolah sudah menjadi langganan tahunan di negeri ini. Terlebih jika datang musim hujan atau cuaca ekstrem, bencana pun tidak terelakkan lagi.
Sebagaimana diwartakan media massa, beberapa wilayah terkena banjir dan juga tanah longsor. Seperti yang terjadi di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur yang diterjang lahar dingin Gunung Semeru hingga mengakibatkan beberapa jembatan mengalami kerusakan dan akses jalan terputus total.
Menyikapi banjir lahar tersebut, Bupati Lumajang Thoriqul Haq, menetapkan masa tanggap darurat selama 14 hari demi keamanan warga di wilayahnya. Menurutnya, fokus saat ini adalah keselamatan jiwa, sehingga ia pun mengimbau kepada warga yang dekat dengan aliran sungai untuk mengungsi agar kondisi lebih aman. Berdasarkan data yang dihimpun Dinas Sosial PPPA Lumajang, Jumat (7/7/2023) hingga pukul 23.00 WIB, jumlah pengungsi mencapai 493 jiwa. Mereka tersebar di beberapa titik pengungsian.
Selain di Jawa Timur, banjir pun melanda Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), tepatnya di Kecamatan Lunyuk. Ribuan rumah warga terendam akibat hujan lebat dari sore hingga malam hari, sehingga air sungai meluap. Akibatnya, tidak sedikit warga yang harus kehilangan harta benda, hingga banyak nyawa yang tidak terselamatkan.
Secara geografis, Indonesia adalah negara dengan banyak potensi bencana. Hal itu karena Indonesia terletak di kawasan "Ring of Fire" atau 'Cincin Api' Pasifik. Yakni pertemuan tiga lempeng tektonik dunia, Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Oleh karena itu, Indonesia termasuk negara yang rawan gempa bumi, letusan gunung berapi hingga tsunami.
Dengan kondisi yang demikian, semestinya menggugah kesadaran pemerintah untuk lebih waspada dan meningkatkan penjagaan terhadap warga negaranya.
Namun, meski sudah seringkali terjadi bencana, nampaknya belum banyak perubahan yang berarti, karena hingga saat ini masih menelan banyak korban yang mengakibatkan rakyat harus mengungsi di berbagai tempat pengungsian.
Negara sebagai pelindung rakyat, sudah seharusnya berada di garda terdepan dalam mengurusi nyawa rakyatnya, bukan sekadar hadir ketika sudah terjadi bencana. Mereka seharusnya memiliki langkah-langkah mitigasi yang ampuh untuk menghindarkan rakyatnya dari bencana.
Memang tidak dapat dimungkiri bahwasanya bencana adalah qada dari Allah SWT.. Kita sebagai manusia harus rida terhadap ketetapan-Nya. Akan tetapi, manusia juga diperintahkan untuk berikhtiar maksimal, terlebih negara yang mempunyai kekuasaan, tentunya memiliki peran besar dalam mengatasi persoalan ini. Melalui kecanggihan teknologi, penguasa dapat mendeteksi sejak dini, daerah mana yang rawan terhadap bencana, atau wilayah mana yang layak dan tidak layak huni.
Apalagi masyarakat yang masih tinggal di kawasan gunung berapi, sudah sepantasnya mendapat perhatian khusus dari pemerintah agar tidak membahayakan nyawanya. Pasalnya gunung berapi yang aktif sewaktu-waktu bisa saja erupsi dan mengeluarkan lahar panas yang berbahaya.
Namun sejauh ini, negara hanya melakukan upaya mitigasi dengan memasang seismograf. Atau masih sebatas mengimbau agar waspada atau tidak beraktivitas di sekitar gunung jika diketahui aktivitasnya meningkat. Padahal upaya ini tidak mudah untuk dilakukan, mengingat sebagian mata pencaharian mereka bisa jadi di sekitar gunung.
Sayangnya, tindakan baru dilakukan setelah bencana itu terjadi, itupun terkesan seadanya dan kurang maksimal, sehingga masih didapati banyak korban kehilangan harta maupun nyawa.
Inilah gambaran negara yang menerapkan sistem kapitalisme demokrasi. Dimana negara terkesan kurang peduli atau abai terhadap urusan rakyat, termasuk keselamatan nyawa mereka.
Urusan ekonomi sering ditempatkan di atas segalanya, meskipun harus mengorbankan jiwa manusia. Oleh karena itu, wajar pula jika mitigasi cenderung diabaikan, karena dipandang kurang bermanfaat, terlebih jika kondisi dianggap aman, meski tetap ada potensi bencana.
Buruknya mitigasi bencana tidak bisa dilepaskan dari peran negara dalam mengurusi urusan umat. Dalam sistem kapitalis, alokasi dana untuk mitigasi minim, sementara untuk pembangunan infrastruktur begitu masif dilakukan.
Padahal mitigasi untuk penyelamatan jiwa manusia semestinya lebih diutamakan. Akibat tersendatnya pembiayaan, evakuasi korban pun lambat dilakukan. Transportasi otomatis mahal karena akses jalan minim, belum lagi pembangunan rumah-rumah warga yang rusak.
Sistem kapitalisme demokrasi tidak akan pernah bisa mewujudkan mitigasi yang ampuh dan maksimal, karena kas negara yang cenderung minim bahkan defisit.
Sumber pemasukan kas negara yang bertumpu pada utang dan pajak tidak bisa diandalkan untuk menyolusikan permasalahan. Peran swasta justru mendominasi dalam pembangunan infrastruktur. Itulah sebabnya permasalahan tidak kunjung terselesaikan.
Berbeda dengan Islam. Sebagai agama yang sempurna, sistem ini memiliki solusi di setiap permasalahan kehidupan, termasuk masalah bencana. Mitigasi itu sendiri merupakan sebuah mekanisme negara dalam menyelamatkan jiwa manusia dari bencana alam. Hal ini karena syariat Islam bertujuan untuk menjaga agama, akal, harta, termasuk jiwa rakyatnya.
Peran mitigasi bencana dalam Islam akan optimal karena dua faktor. Pertama, negara sebagai pihak sentral dalam seluruh urusan umat. Penguasa akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT. atas apa yang menimpa rakyatnya.
Mitigasi akan benar-benar diupayakan dengan maksimal oleh penguasa semata untuk memenuhi kewajibannya sebagai pengurus dan pelindung umat. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.: "Imam (khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas kepengurusan rakyatnya." (HR. al-Bukhari).
Kedua, kekuatan kas negara. Sumber keuangan Baitulmal yang melimpah akan mampu membiayai mitigasi bencana. Para peneliti akan menyarankan pemerintah untuk membangun rumah-rumah kokoh bagi warga. Membantu pembiayaannya, jika warga tidak sanggup membangun karena mahal, negaralah yang berkewajiban untuk memberi bantuan atas mereka sebab hal demikian menyangkut jiwa manusia.
Begitu pula dalam hal evakuasi korban, penguasa akan mengupayakan seoptimal mungkin menggunakan alat transportasi tercanggih. Karena proses evakuasi berkaitan erat dengan waktu, cepat ditemukan, akan semakin besar potensi terselamatkannya korban. Pembangunan infrastruktur yang rusak pun akan cepat dilakukan pasca bencana agar kehidupan rakyatnya kembali pulih.
Namun kondisi demikian tidak akan pernah bisa kita dapati dalam sistem demokrasi kapitalistik yang abai terhadap keselamatan warga dan kas negaranya defisit akibat privatisasi SDA. Mitigasi bencana yang optimal akan terwujud jika Islam diterapkan dalam sebuah institusi, sebab sistem Islam akan menghadirkan penguasa yang amanah mengurusi umat.
Wallahu a'lam bishawab.
Oleh: Sri Murwati
Komunitas Rindu Surga, Pegiat Literasi
0 Komentar