Topswara.com -- Pajak dalam sistem kapitalisme merupakan urat nadi yang menjadi penopang kehidupannya agar paham ini tetap bertahan untuk mengatur roda pemerintahan atau aktivitas manusia diseluruh dunia.
Meskipun keterpurukan ekonomi paska pandemi masih dirasakan, pajak senantiasa menjadi primadona untuk pemasukan negara meski sangat membebani rakyat. Negara bahkan akan memberlakukan sanksi denda bagi siapa saja yang tidak taat pajak.
Namun, karena makin banyak masyarakat yang tidak membayar pajak terutama pasca pandemi Covid-19, baru-baru ini pemerintah Kabupaten Bandung mengeluarkan kebijakan untuk menghapus denda pajak.
Kebijakan tesebut dikeluarkan berdasarkan Peraturan Bupati (Perbup) No. 57 tahun 2023 tentang insentif pajak daerah untuk pemulihan ekonomi. Di antaranya pajak hotel, restoran, hiburan, reklame, air tanah, MBLB (mineral bukan logam dan batuan) dan pajak parkir.
Menurut Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Bandung Erwan Kusumah Hermawan, penghapusan dendanya untuk masa pajak Januari 2004 sampai dengan Maret 2023. Bebas denda PBB-P2 masa pajak tahun ketetapan 1994 sampai dengan 2022 bebas denda dengan catatan wajib pajak membayar tunggakan. (Cybber88, 16 Juni 2023)
Meniadakan denda pajak dalam kesulitan ekonomi pasca Covid dianggap sebagai bentuk perhatian kepada rakyat. Tentunya ini pandangan yang absurd. Karena kesulitan ekonomi sudah dirasakan jauh sebelum masa Covid.
Penghapusan denda adalah solusi parsial yang tidak akan membuat rakyat sejahtera. Seharusnya yang dilakukan negara adalah menghapus pajak ini dan memberikan pelayanan publik secara optimal seperti terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat, kessehatan, pendidikan gratis, serta menghapus kebijakan lain yang memberatkan.
Sayangnya alih-alih berperan sebagai pelayan umat, negara dalam sistem kapitalisme justru menjadi pemalak rakyat. Pajak adalah salah satunya.
Seandainya saja pemerintah mau mengelola sumber daya alam sendiri tentu pajak tidak akan dijadikan sumber penghasilan dan rakyat tidak terbebani dengan itu semua.
Tidakkah penguasa takut dengan ancaman Rasulullah SAW. dalam sabdanya sebagai berikut: “tidaklah akan masuk surga orang yang mengambil pajak secara zalim” (HR.Imam Abu Dawud)
Berbeda dengan Islam, dalam sistem Islam negara berkewajiban menerapkan aturan Islam secara menyeluruh dalam setiap sendi kehidupan termasuk sistem ekonomi. Islam mempunyai aturan yang jelas dalam pembiayaan penyelenggaraan negara.
Negara akan mengoptimalkan keberadaan Baitulmal, yaitu pos yang dikhususkan untuk pemasukan dan pengeluaran harta yang menjadi hak kaum muslimin.
Sumber pemasukan Baitulmal telah ditetapkan oleh syariat. Yaitu dari penghasilan tetap, kepemilikan umum dan dari kepemilikan negara. Pemasukan tetap yaitu dari fa’i, ghanimah, anfal, kharaj dan jizyah.
Sedangkan kepemilikan umum berasal dari pengelolaan sumber daya alam seperti minyak bumi, gas, barang tambang, laut, hutan dan lainnya. Dan dari kepemilikan negara ada usyur, humus, rikaz serta harta zakat.
Jika harta tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan maka semua itu dioptimalkan pemanfaatannya. Namun jika harta Baitulmal itu tidak mencukupi atau kosong, sedangkan ada pembiayaan yang wajib dipenuhi dengan segera dan jika tidak akan membahayakan kaum muslimin maka negara akan memungut pajak atau dharibah. Jika sudah terpenuhi pajak tersebut akan dihentikan dan pungutan ini hanya diambil dari orang-orang Muslim kaya saja.
Dalam Islam, pemimpin adalah pengurus rakyatnya. kekayaan alam akan dikelola untuk memenuhi kebutuhan mereka dan untuk keberlangsungan pengurusan pemerintahan.
Oleh karena itu negara tidak akan membebani rakyat dengan kebijakan zalim. Sebaliknya, rakyat akan diperhatikan kebutuhannya dan dibantu hingga sejahtera. Itulah fakta yang pernah berlangsung selama 13 abad saat Islam diterapkan di tengah umat.
Wallahu a’lam bishshawwab.
Oleh: Yeni Rosmanah
Pegiat Literasi
0 Komentar