Topswara.com -- Alam kapitalisme, sebagaimana saat ini, benar-benar telah melahirkan banyak manusia termasuk kaum Muslim sebagai para pemburu dunia. Pemburu harta, wanita, jabatan, kedudukan, kekuasaan, dan lain-lain.
Untuk meraih dunia, tidak jarang mereka melakukan berbagai macam cara. Tidak peduli benar atau salah. Halal atau haram. Berbuah pahala atau dosa. Juga tidak peduli cara-caranya itu merugikan orang lain. Yang penting apa yang diinginkan bisa didapat. Urusan dosa belakangan. Bahkan mungkin sama sekali tidak dia pikirkan.
Tidak aneh jika banyak orang saat ini tidak segan berlomba untuk berkuasa, misalnya. Berupaya agar menjadi presiden, gubernur, bupati atau walikota. Tidak peduli untuk itu harus keluar uang berapa juta, miliar, bahkan triliun rupiah. Tidak peduli uangnya diperoleh dari mana. Apakah dari hasil korupsi atau dari hasil menjual negara.
Banyak pula yang berlomba agar bisa kaya-raya. Jika bisa, dengan segera. Tidak pakai lama. Tidak peduli untuk itu harus sikut sini sikut sana. Suap sini suap sana. Nipu sini nipu sana. Korupsi sana korupsi sini. Semua demi meraih dunia yang didamba.
Padahal jelas, sebesar apapun, atau seluas apapun dunia diraih, di mata Allah SWT ia sangatlah remeh-temeh.
Demikian sebagaimana diyatakan oleh Abu ‘Ubaid bin ‘Umair rahimahulLaah, “Sungguh dunia itu remeh di mata Allah SWT. Buktinya, Allah memberikan dunia kepada siapa saja, baik yang Dia cintai ataupun yang tidak Dia cintai. Adapun iman hanya Allah berikan kepada orang yang Dia cintai.” (Abu Nu’aim al-Asbahani, Hilyah al-Awliyaa’, 3/ 270).
Saking remehnya dunia, Allah SWT memberikan dunia (harta tahta, wanita, kekuasaan dan lain-lain) kepada siapa saja; Muslim atau kafir; Mukmin atau fasik; yang taat atau tukang maksiat.
Inilah pula sesungguhnya yang ditegaskan oleh Rasulullah SAW. Sabda beliau, “Demi Allah. Tidaklah (nikmat) dunia dibandingkan dengan (nikmat) akhirat kecuali seperti seseorang dari kalian mencelupkan jarinya ke lautan, maka lihatlah air yang menempel di jarinya itu.” (HR Muslim).
Artinya, nikmat dunia itu seperti air yang menempel di ujung jari. Amat sedikit. Apalagi jika dibandingkan dengan besarnya dan berlimpahnya nikmat surga di akhirat nanti.
Selain amat sedikit, kalaupun kita menggenggam dunia seluruhnya harta, wanita, jabatan, kekuasaan, dan lain-lain dengan segala kenikmatannya, kita harus sadar bahwa semua itu hanyalah “pinjaman” dari Allah SWT kepada kita.
Sebabnya, kata Imam Ibnu al-Qayyim rahimahulLaah, “Sungguh seorang hamba itu baik dirinya, anak-istrinya maupun hartanya hakikatnya milik Allah ‘Azza wa Jalla. Sungguh Allah telah menjadikan semua itu sebagai pinjaman kepada hamba-Nya. Karena itu jika Allah SWT mengambil kembali semua itu dari hamba-Nya, maka Dia seperti pemberi pinjaman yang mengambil kembali barang miliknya dari peminjamnya.” (Ibnu al-Qayyim, Zaad al-Ma’aad, 2/210).
Semua nikmat duniawi (harta, wanita, jabatan, kekuasaan, dan lain-lain) juga bersifat sementara dan fana. Kematian akan menghentikan semuanya. Cepat atau lambat.
Karena itu benar yang dinyatakan oleh Muthraf bin asy-Syahir rahimahulLaah, “Sungguh kematian itu akan merusak (mengakhiri) nikmat dari orang-orang yang Allah beri nikmat. Karena itu carilah oleh kalian nikmat yang tidak akan pernah berakhir (yakni surga).” (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubalaa’, 4/190).
Benar pula kata-kata Ibnu Samak rahimahulLaah, “Anggaplah dunia ini ada dalam genggaman tanganmu. Lalu dunia lain yang serupa juga ditambahkan untukmu. Seluruh bagian dunia di barat dan timur juga didatangkan kepadamu. Lalu, jika kematian menjumpai dirimu, apa yang nanti tetap ada di tanganmu?” (Adz-Dzahabi, Siyar A’laam an-Nubalaa, 8/330).
Tentu, saat kita mati, tidak ada sedikit pun bagian dari dunia ini yang ada di tangan kita. Semua hilang. Semua lenyap. Harta, wanita, jabatan, kedudukan, kekuasaan dan lain-lain yang selama hidup kita perjuangkan mati-matian, semuanya kita tinggalkan. Yang ada dan membersamai kita tinggal amal-amal shalih kita.
Dengan demikian tentu tidak elok jika kita begitu bersemangat mengejar nikmat duniawi yang amat sedikit dan fana. Sebaliknya, kita malah mengerahkan usaha alakadarnya dalam meraih nikmat surga yang berlimpah dan abadi.
Seharusnya kita selalu bersemangat mengusahakan nikmat surga yang amat berlimpah dan abadi (tidak akan pernah berakhir) melebihi semangat kita dalam meraih nikmat duniawi yang amat sedikit dan fana.
Karena itu pula semangat kita dalam melakukan ragam ketaatan (seperti shalat berjamaah di masjid, tadarus Al-Qur'an dan zikir misalnya; atau hadir di majelis-majelis ilmu, menunaikan amanah dakwah, berjuang menegakkan syariah dan lain-lain) seharusnya jauh melebihi semangat kita dalam mengusahakan harta-kekayaan, jabatan, kedudukan, kekuasaan dan lain-lain.
Sebabnya, kita sepantasnya khawatir bahkan takut jika di akhirat nanti Allah SWT tidak memasukkan kita dalam surga-Nya karena kurangnya amal-amal kita dan banyaknya dosa-dosa kita.
Terkait itu, tentu menarik sikap generasi salafush-shalih, seperti para Sahabat Nabi saw. yang mulia. Umar bin al-Khaththab ra., misalnya, adalah salah seorang di antara sepuluh orang Sahabat yang dijamin masuk surga bersama-sama Abu Bakar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi Waqqas, Said bin Zaid dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah radhiyalLaahu ‘anhum (HR Ahmad, Tirmidzi dan an-Nasai).
Namun begitu, Umar ra. tetap sangat khawatir jika kelak tidak dimasukkan ke dalam surga-Nya hingga beliau berkata, “Andai kelak Malaikat dari langit (surga) memanggil, ‘Hai manusia, sungguh kalian akan masuk surga semuanya, kecuali satu orang,’ maka sungguh aku benar-benar takut bahwa akulah orangnya (yang dikecualikan masuk surga).” (Al -Hafizh Abi Nu’aim Al-Asbahani, Hilyah al-Awliyaa’ wa Tabaqaat al-Asfiyaa’, 1/53).
Lalu bagaimana dengan kita yang tidak dijamin masuk surga? Adakah kekhawatiran kita melebihi kekhawatiran Umar bin al-Khaththab ra.?
Alhasil, janganlah kita menjadikan dunia (harta, wanita, jabatan, kedudukan kekuasaan, dan lain-lain) sebagai tujuan hidup kita yang sebenarnya. Namun, jadikan semua itu hanya sebagai sarana untuk meraih surga-Nya yang abadi di akhirat nanti.
Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah ‘alayhi tawakkaltu wa ilayhi uniib. []
Oleh: Ustaz Arief B. Iskandar
(Khadim Ma'had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor)
0 Komentar