Topswara.com -- Indonesia merupakan negara yang diberikan anugerah dengan keindahan alam yang dimilikinya. Gunung dan lautan yang mengelilingi negeri ini menjadi salah satu keindahan.
Tetapi, tidak bisa dipungkiri dibalik keindahan alam dengan menjulangnya gunung-gunung dan terbentangnya lautan menyimpan potensi yang membawa pada musibah berupa bencana alam. Seperti meletusnya gunung, gempa, longsor, tsunami, banjir dan lainnya.
Terjadinya bencana alam ,sesungguhnya adalah hal yang ada fitrah (lumrah), karena pada dasarnya apa yang ada di dunia ini bersifat fana dan apa yang terjadi menjadi ketetapan Allah SWT.
Apalagi, bencana alam ini pastinya membawa pada hilangnya nyawa, harta dan benda yang merupakan musibah bagi yang mengalaminya. Seperti yang menimpa saudara-saudara kita di beberapa tempat di wilayah Lumajang.
Desa-desa di Lumajang terkena banjir lahar dingin Gunung Semeru, setidaknya empat jembatan terputus akibat terjangan material lahar dingin.
Selain di Lumajang, ribuan rumah di Kecamatan Lunyuk, Kabupaten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terendam banjir akibat meluapnya air sungai Kokat, dengan ketinggian air 50 centimeter. (cnnindonesia.com).
Tidak hanya banjir, longsor pun terjadi di beberapa titik wilayah selatan Kabupaten Malang Jawa Timur. Bahkan, mengakibatkan jalur selatan Malang-Lumajang terputus akibat longsor, yang disusul putusnya jembatan di perbatasan kedua daerah itu.
Berbagai bencana alam yang terjadi di beberapa wilayah ini, perlu kita sadari bahwa mitigasi bencana di negeri ini begitu suram alias lemah. Hal ini terbukti banyaknya korban, baik benda ataupun manusia. Karena, jika mitigasi bencana memadai, maka ini dapat meminimalisir korban dan kerusakan yang ada.
Seperti melalui pembangunan sarana dan prasarana yang di desain untuk tahan akan bencana atau peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana ini. Selain itu, penyuluhan dan meningkatkan kesadaran masyarakat yang tinggal di wilayah rawan bencana secara berkala.
Suramnya mitigasi bencana yang ada di negeri ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang runyam, sehingga berefek kepada tata kelola yang tidak memperhatikan aspek keselamatan atau kepentingan masyarakat.
Kebijakan-kebijakan yang ada cenderung abai dan hanya mementingkan para pemilik modal. Hal ini hal yang wajar, karena penerapan sistem kapitalisme di negeri ini yang menjadikan negara hanya sebatas regulator saja.
Hal ini berbeda dengan Islam yang mewajibkan negara untuk memenuhi semua yang menjadi kebutuhan masyarakat, seperti kebutuhan rasa aman dan terlindungnya harta dan nyawa mereka, terutama saat bencana alam datang.
Bencana alam yang menimpa kita merupakan ketetapan (qadha) dari Allah SWT. Tetapi, di balik ketetapan ini ada fenomena alam yang dapat kita cerna. Termasuk upaya untuk menghindari sebelum terjadinya bencana alam. Karena, dalam suatu kejadian bencana alam, ada di dalam kuasa manusia dan yang ada di luar kuasa manusia.
Segala upaya untuk meminimalisir atau menghindarkan dari bahaya dan risiko bencana alam ini adalah suatu hal yang ada dalam kuasa manusia. Bencana alam yang terjadi, sesungguhnya adalah sesuatu yang tidak dapat kita cegah atau hilangkan.
Tetapi, upaya untuk menghindarkan dari akibat bencana alam ini adalah upaya pengaturan atau manajemen bencana yang ada dalam kuasa kita. Hal ini telah dicontohkan oleh para pemimpin Kaum Muslimin pada masa kekuasaan Islam.
Seperti yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khathab Ra, ketika berupaya untuk menghindari suatu daerah yang sedang dilanda suatu wabah penyakit.
Secara teknis, upaya pengaturan bencana alam dalam Islam tidak banyak berbeda dengan metode yang ada saat ini. Perbedaannya ada pada pandangan terhadap sumber pencipta bencana alam, yakni sebagai ketetapan Allah.
Sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para pemimpin setelah beliau pada masa kekuasaan Islam. Suatu ketika terjadi gempa bumi di Madinah, Rasulullah SAW lalu meletakkan kedua tangannya di atas tanah dan berkata, "Tenanglah... belum datang saatnya bagimu." Lalu, Nabi SAW menoleh ke arah para sahabat dan berkata, "Sesungguhnya Rabb kalian menegur kalian.. maka jawablah (buatlah Allah ridha kepada kalian)."
Hal yang sama dilakukan oleh Umar bin Khathab ketika terjadi gempa bumi pada masa kepemimpinannya. Beliau berkata, "Wahai Manusia, apa ini? Alangkah cepatnya apa yang kalian kerjakan (dari maksiat kepada Allah)? Andai kata gempa ini kembali terjadi, aku tak akan bersama kalian lagi."
Hal serupa dilakukan oleh cicit Umar bin Khathab, yakni Khalifah Umar bin Abdul Aziz, saat gempa bumi terjadi pada masa kepemimpinannya. Beliau segera mengirim surat kepada seluruh wali negeri, "Amma ba'du, sesungguhnya gempa ini adalah teguran Allah kepada hamba-hambaNya dan saya telah memerintahkan kepada seluruh negeri untuk keluar pada hari tertentu maka barangsiapa yang memiliki harta hendaklah bersedekah dengannya."
Dari apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para pemimpin Kaum Muslimin, langkah awal yang dilakukan ketika bencana alam ini terjadi adalah bertaubat serta mengingat kemaksiatan apa yang dilakukan, sehingga Allah menurunkan bencana alam.
Selain memandang sumber pencipta bencana alam ini, Islam memiliki siklus manajemen bencana alam. Manajemen penanganan bencana alam ini disusun dan dijalankan dengan prinsip "wajibnya seorang khalifah melakukan ri'ayah (pelayanan) terhadap urusan-urusan rakyatnya."
Sebab, khalifah adalah seorang pelayan bagi rakyat yang akan dimintai pertanggungjawaban atas pelayanan yang mereka lakukan. Inilah yang akan mendorong para pemimpin untuk memenuhi segala kebutuhan rakyatnya, termasuk saat bencana alam melanda.
Wallahu’alam bi ash-shawab.
Oleh: Sri Nurhayati, S.Pd.I
Pengisi Bimbingan Belajar Generasi Cemerlang
0 Komentar