Topswara.com -- Akhir-akhir ini, kasus penyakit menular seksual (PMS) seperti sifilis di Indonesia mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia, sepanjang tahun 2022 tercatat sebanyak 16.283 kasus sifilis yang diterima oleh Kemenkes.
Wilayah dengan jumlah kasus positif sifilis terbanyak di Indonesia diduduki oleh provinsi Papua dengan jumlah 3.864 kasus, diikuti provinsi Jawa Barat 3.186 kasus, DKI Jakarta 1.897 kasus, Papua Barat 1.816 kasus, dan Bali 1.300 kasus. (klikpendidikan.id, 18/06/2023)
Hanya Permukaan Saja
Perlu diingat bahwa data kasus sifilis yang disebutkan di atas adalah jumlah kasus yang terlapor. Sedangkan jumlah kasus sifilis yang tidak dilaporkan kepada pihak berwenang tentu jauh lebih banyak lagi mengingat tren pergaulan bebas dan seks bebas di masyarakat belum menunjukkan tren penurunan.
Negara juga sebenarnya sudah melakukan berbagai upaya untuk menahan laju kenaikan kasus PMS termasuk sifilis, diantaranya melakukan sosialisasi bahaya sifilis serta langkah pencegahan dan penanganannya, melakukan skrining masif pada populasi kunci (lingkungan pekerja seks, para pelaku L687Q+).
Terutama kelompok ibu hamil hingga level kecamatan, hingga menyediakan dan mendistribusikan obat-obatan sebagai upaya penyembuhan penyakit sifilis ke beberapa wilayah. Pemerintah juga sudah mengeluarkan himbauan kepada masyarakat, seperti menghimbau pasangan yang sudah menikah agar setia pada pasangannya untuk menghindari seks berisiko.
Upaya pemerintah di atas tentu kita apresiasi, namun jika akar masalah dari penyebaran PMS juga tidak diberantas, maka upaya-upaya yang dilakukan pemerintah hanya menyelesaikan permasalahan di permukaannya saja, tidak sampai menyentuh akar masalah dari meningkatnya jumlah kasus PMS.
Sistem Sekularisme, Akar Permasalahan Sifilis
Sebenarnya akar masalah dari kenaikan jumlah kasus PMS adalah diterapkannya sistem kehidupan sekularisme. Sekularisme adalah sistem kehidupan yang meniscayakan kehidupan wajib terlepas dari peran agama maupun hal-hal supernatural (baca: Tuhan).
Karena agama tidak boleh ikut campur dalam urusan kehidupan, akhirnya melahirkan gaya hidup yang liberal (bebas sebebas-bebasnya). Dampak dari liberalisasi kehidupan membuat pergaulan menjadi bebas tanpa batas.
Penyakit sifilis sendiri muncul karena pola hidup liberal yang bebas. Sudah jamak kita ketahui, sifilis rentan terjadi pada kelompok yang suka berganti-ganti pasangan dan hubungan sesama jenis.
Disamping itu negara juga membiarkan, bahkan cenderung mendukung aktivitas-aktivitas yang mendorong munculnya penyakit menular seksual, seperti L68TQ+. Apalagi kampanye dan dukungan terhadap kaum L68TQ+ makin marak dan gencar dilakukan.
Oleh karena itu, penanganan dan pencegahan penyakit sifilis tidak cukup hanya dengan himbauan dan pengobatan semata, negara juga wajib menerapkan sistem sosial yang akan membentengi masyarakat dari perilaku-perilaku yang mengakibatkan terkena PMS.
Islam Solusi Kehidupan
Untuk mencegah meningkatnya penyakit sifilis, satu-satunya jalan penyelamat ialah menerapkan sistem sosial dan pergaulan Islam. Inilah mekanisme Islam dalam mencegah seks bebas yang berakibat tertular PMS.
Pertama dari aspek individu, Islam mewajibkan setiap individu baik laki-laki maupun perempuan untuk menundukkan pandangan dan menjaga kesucian diri mereka sebagaimana tercantum dalam QS An-Nur ayat 30-31.
Kedua dari aspek masyarakat, masyarakat berdiri di atas asas amar ma’ruf nahi munkar, mencegah terjadinya aktivitas khalwat (berdua-duaan dengan non-mahram) dan mencegah terjadinya ikhtilat (campur baur antara laki-laki dan perempuan tanpa alasan yang dibenarkan oleh syari’at Islam).
Ketiga dari aspek negara, langkah-langkah pencegahan yang dilakukan adalah menerapkan aturan Islam dan sistem pergaulan Islam secara utuh. Negara menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam.
Pengajaran dan pendidikan generasi harus mengacu pada kurikulum pendidikan Islam sehingga akan melahirkan generasi yang takut kepada Allah SWT dan senantiasa menjauhi perbuatan keji seperti seks bebas.
Negara juga tidak menyulitkan warga negaranya untuk menikah, bahkan jika perlu akan diberi bantuan materiil untuk mahar nikah sebagai pencegahan seks bebas diluar nikah. Negara juga akan memblokir semua konten-konten kemaksiatan, seperti pornografi dan kampanye L687Q+.
Apabila tindakan pencegahan sudah diterapkan, namun masih terjadi perilaku seks bebas (yang dimana hal itu sangat jarang terjadi di dalam negara Islam), maka baru kemudian sistem sanksi Islam mengambil peran.
Jika terbukti ber-khalwat atau ber-ikhtilat, negara akan memberi hukuman takzir. Jika seseorang terbukti melakukan zina dan pelakunya belum menikah (masih bujang/gadis) maka akan didera 100 kali dan diasingkan (QS An-Nur ayat 2).
Jika terbukti melakukan zina dan pelaku zina ternyata sudah menikah, maka akan dijatuhi hukuman dirajam sampai mati.
Jika seseorang terbukti melakukan hubungan zina sesama jenis, maka bagi pelaku zina sesama laki-laki akan dijatuhi hukuman mati sebagaimana sabda Rasulullah SAW: dari Ibnu Abbas ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luth, bunuhlah keduanya. (pelaku dan objeknya) (HR. Tirmidzi no. 1456, Abu Dawud no. 4462, dan selainnya).
Juga hadis lain dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata, Rasulullah SAW bersabda Allah taala tidak akan melihat seorang lelaki yang menyetubuhi lelaki lain (homoseksual) atau (menyetubuhi) wanita dari duburnya. (HR. Tirmidzi no. 1165). Sedangkan bagi pelaku lesbian, bi-seksual, transgender, dll akan dijatuhi hukuman takzir.
Dengan pemberlakuan sistem sanksi Islam ini, perbuatan zina atau perilaku menyimpang seksual dapat dicegah dan dibabat habis secara tuntas. Jika perbuatan zina dan perilaku mungkar lainnya dapat dicegah, penyakit menular seksual juga bisa dicegah kemunculannya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Oleh: Cita Rida
Aktivis Dakwah
0 Komentar