Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Lemahnya Mitigasi Bencana Dampak Kebijakan Kapitalistik


Topswara.com -- Dilansir dari CNN Indonesia Bupati Lumajang Thoriqul Haq menetapkan masa tanggap darurat selama 14 hari, menyusul terjadinya banjir lahar dingin Gunung Semeru, yang menerjang beberapa desa di wilayahya.Jumat (7/7/) 

Selain itu juga, Ribuan rumah di Kecamatan Lunyuk, Kabupaten Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terendam banjir imbas luapan air Sungai Kokat. Antara (6/7).

Kejadian bencana tersebut tentu berdampak besar bagi kehidupan masyarakat. Jutaan orang harus hidup mengungsi. Ratusan nyawa hilang. Ratusan ribu bangunan rusak. Artinya, kerugian ekonomi dan sosial tidak terhitung besarnya. 

Sementara itu, bencana-bencana tersebut diprediksi akan terjadi lebih besar pada tahun-tahun yang akan datang.Tentu saja fakta-fakta ini menuntut sikap mental tanggap bencana pada diri semua pihak. Khususnya pada para penguasa yang menjadi pengurus rakyat.

Namun, sayangnya, setiap terjadi bencana pemerintah nyaris selalu gagap. Bahkan pada banyak kasus, pemerintah kalah cepat dengan LSM, ormas, atau masyarakat biasa. Tidak jarang juga, pemimpin negara lebih memilih lawatan daripada melihat daerah bencana, atau menjadikan turun lapangan sebagai bagian membangun citra. Apalagi jelang pemilu tiba.

Wajar jika pada setiap bencana selalu muncul perdebatan, negara ada di mana? Bantuan sering kali datang belakangan. Banyaknya korban menunjukkan mitigasi tidak benar-benar berjalan hingga masyarakat memilih tidak terlalu berharap banyak pada pemimpinnya.

Kentalnya paradigma pembangunan sekularisme kapitalistik membuat para penguasa tidak memiliki sensitivitas dan keinginan serius untuk menyolusi kebencanaan sejak dari akarnya. Bahkan kita dapati banyak kebijakan penguasa yang justru menjadi penyebab munculnya bencana hingga berpotensi mendatangkan bencana baru berikutnya.

Lihat saja, rata-rata analisis penyebab dan dampak beberapa bencana selalu menunjuk pada kebijakan penguasa. Contohnya, penggundulan hutan dan alih fungsi lahan terutama di zona penyangga (hutan) hingga Walhi menyebut 35 persen hutan kita rusak, bahkan hilang. 

Juga proyek-proyek industrialisasi di berbagai daerah, pembangunan fisik yang jor-joran, serta penanganan daerah aliran sungai yang timbul tenggelam, dan sebagainya. Semuanya seakan sulit dilakukan karena berkelindan dengan kepentingan para pemilik modal.

Banyak pula aktivis lingkungan yang protes tentang kebijakan Amdal yang saat ini sangat longgar. Pelaku usaha kelas kakap berani menjalankan usaha meski izin belum keluar. Tidak sedikit di antara mereka yang lolos hukum meski jelas melanggar aturan. Kongkalikong kapitalis dan pejabat penguasa memang masih jadi budaya di Indonesia.

Begitu pun soal mitigasi bencana. Selama ini, masyarakat selalu jadi pihak yang disudutkan. Pengetahuan minimlah, tidak mau direlokasilah, tidak bisa diaturlah, dan sebagainya. Padahal semua menyangkut political will penguasa. 

Ketersediaan data dan informasi, minimnya pengetahuan masyarakat, ketersediaan teknologi, fasum, dan alat, semuanya adalah tanggung jawab para penguasa.

Berbeda dengan paradigma sekularisme kapitalisme, Islam menetapkan bahwa fungsi kepemimpinan adalah mengurusi urusan umat dan menjaga mereka. 

Oleh karenanya, penguasa wajib mengerahkan segala daya untuk menyejahterakan umat dan menjauhkan mereka dari semua hal yang membinasakan. Bahkan bukan hanya untuk urusan di dunia, tetapi juga urusan akhirat rakyatnya.

Dalam konteks kebencanaan, para pemimpin Islam dituntut untuk melakukan berbagai hal demi mencegah bencana, sekaligus menghindarkan masyarakat dari risiko bencana. Yang paling mendasar adalah dengan cara menerapkan aturan dan kebijakan yang tidak merusak lingkungan atau melakukan dan membiarkan hal-hal yang bisa mengundang azab Allah SWT.

Bahwa bencana adalah ketetapan Allah Swt., tentu benar adanya. Bencana bisa terjadi kapan pun dan di mana pun sebagai ujian dan peringatan bagi manusia. Namun, Islam memberi tuntunan untuk menghindarinya, sekaligus menuntun cara menghadapinya. Termasuk dalam hal ini mengatur soal mitigasi kebencanaan.

Dalam Islam, mitigasi tentu menjadi tanggung jawab penuh penguasa karena menyangkut fungsi kepemimpinannya sebagai pelindung dan perisai umat tadi, yang pertanggungjawabannya sangat berat di akhirat. 

Adapun aktivitas menolong yang bisa dan biasa dilakukan oleh masyarakat secara swadaya, maka itu merupakan kebaikan yang dianjurkan oleh agama dan tetap didorong oleh penguasa.

Dalam hal ini, pemimpin Islam akan membuat berbagai kebijakan khusus, mulai dari penataan lingkungan dikaitkan dengan strategi politik ekonomi Islam yang menjamin kesejahteraan orang per orang. Juga sistem keuangan, pertanahan, hingga sanksi untuk mencegah pelanggaran.

Adapun di tempat-tempat yang rawan bencana, harus ada kebijakan yang lebih khusus lagi. Tentu tidak hanya menyangkut kesiapan mitigasi risiko, tetapi juga soal manajemen kebencanaan (disaster management). 

Mulai dari pendidikan soal kebencanaan, pembangunan infrastruktur, serta sistem peringatan dini dan penanganan bencana yang lebih sistemik dan terpadu. Begitu pun soal sistem logistik kedaruratan, serta sistem kesehatan yang menjadi bagian integral dari sistem penanganan terpadu kebencanaan benar-benar akan diperhatikan.

Kondisi ideal seperti ini memang akan sulit diwujudkan dalam sistem sekarang. Paradigma kapitalisme sekuler neoliberal telah menjadikan kepemimpinan tegak di atas kepentingan pemilik modal, bukan tuntunan agama (Islam).

Hanya sistem kepemimpinan Islam yang bisa diharapkan mampu menyelesaikan problem kebencanaan dengan solusi yang mendasar dan tuntas. 

Dimulai dari pondasi negara dan kepemimpinan yang lurus, yakni berlandas akidah, lalu ditopang oleh penerapan syariat Islam secara menyeluruh. Inilah yang akan menjadi pintu pembuka bagi datangnya keridhoan Allah SWT. sekaligus kebaikan hidup yang dirasakan oleh semua.

Wallahu alam bishawab.


Oleh: Eva Lingga Jalal
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar