Topswara.com -- Kebakaran hutan dan lahan, atau karhutla, telah kembali melanda beberapa wilayah di negeri ini. Bak memiliki ‘jadwal tayang’, hal ini terjadi setiap tahunya. Penyebabnya bisa bervariasi, mulai dari faktor alam hingga ulah manusia yang dengan sengaja membakar hutan untuk membuka lahan.
Di lansir dari kumparan.com BPBD Kalimantan Selatan melaporkan bahwa luas total sementara kebakaran hutan dan lahan di Kalsel mencapai 163,5 hektar hingga Sabtu 24 Juni lalu, dengan kebakaran tersebar di 13 kabupaten dan kota di Kalimantan Selatan, mencakup 2.168 titik api (25/6/2023).
Di samping itu, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, juga mengalami kebakaran hutan yang merambah kawasan permukiman warga. Kebakaran ini terjadi di lahan kosong di sekitar perumahan, yang luasnya sekitar 1 hektar, dan lahan yang dipenuhi semak belukar dan kering sehingga mudah terbakar (tribunews.com 29/6/2023).
Tidak hanya itu, kebakaran hutan di Riau juga menimpa kawasan Suaka Margasatwa Gamesia Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis.
Genman Suhefti Hasibuan, Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau, menyatakan bahwa kebakaran ini dipicu oleh pembukaan lahan dengan cara membakar untuk perkebunan kelapa sawit. Diperkirakan 10 hektar habitat gajah Sumatera telah musnah terbakar (kompas.com 22/6/2023).
Di wilayah lain, Kabupaten Nagan Raya, Aceh, juga dilanda kabut yang menyebabkan kebakaran lahan gambut seluas 21,5 hektar yang tersebar di tiga kecamatan, yakni, Kecamatan Darul Makmur, Kecamatan Kuala, dan Kecamatan Kuala Pesisir (metrotvnews.com 24/6/2023).
Kebakaran hutan telah membawa ancaman serius bagi kehidupan manusia karena asap yang dihasilkan dapat menyebabkan polusi udara dan bahaya lainnya, serta berpotensi mengancam pemukiman warga.
Tidak hanya itu, asap yang berasal dari kebakaran hutan juga membahayakan jalur penerbangan dan berisiko terhadap keselamatan penumpang.
Permasalahan kebakaran hutan sebenarnya dapat ditelusuri hingga ke penanganan lahan hutan yang kurang baik oleh pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Selama ini, pembukaan lahan hutan melalui pembakaran masih diizinkan jika memenuhi syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Namun, di sisi lain, negara belum memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku pembakaran hutan secara liar. Hal ini memperparah situasi kebakaran hutan.
Masalah ini juga diperparah oleh rendahnya kesadaran masyarakat terhadap masalah kebakaran hutan, yang disebabkan oleh kegagalan dalam pendidikan dan edukasi di tengah-tengah masyarakat.
Semua ini tidak lepas dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme di negeri ini, di mana hutan dan lahan dipandang sebagai milik negara, bukan milik rakyat.
Oleh karena itu, negara dianggap memiliki kewenangan untuk menyerahkan kepemilikan hutan dan lahan kepada pihak swasta atau korporasi untuk dikelola dan dimanfaatkan.
Namun, pendekatan kapitalis dalam pengelolaan ini cenderung mengedepankan keuntungan maksimal tanpa mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan. Dalam konteks ini, pembakaran hutan dalam pembukaan lahan dianggap sebagai cara paling mudah dan sesuai dengan target bisnis para pengusaha.
Oleh karena itu, inti permasalahan ini adalah penerapan sistem kapitalisme yang memungkinkan para kapitalis mendapatkan keuntungan dari kebakaran hutan, sedangkan peran negara hanya sebatas sebagai regulator yang memfasilitasi penguasaan lahan oleh korporasi melalui kebijakan-kebijakan negara.
Pembukaan lahan melalui pembakaran seharusnya tidak dibiarkan begitu saja dan harus ada sanksi yang tegas bagi pelaku pembakaran hutan secara liar. Selain itu, diperlukan edukasi yang lebih baik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian hutan.
Penerapan sistem Islam yang memberikan perhatian serius terhadap kelestarian hutan dan melarang kepemilikan pribadi ataupun korporat atas sumber daya alam bisa menjadi solusi solutif dalam mengatasi bencana kebakaran hutan dan lahan.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menjelaskan bahwa kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, yaitu padang rumput atau hutan, air, dan api. Para ulama terdahulu juga mengatakan bahwa air sungai, danau, laut, saluran irigasi, padang rumput, atau hutan adalah kepemilikan bersama yang tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh individu atau kelompok tertentu.
Hal ini menunjukkan bahwa manusia bersatu dalam tiga aspek tersebut karena hal tersebut merupakan kebutuhan bagi masyarakat secara luas, dan jika tidak ada, akan timbul konflik dan masalah dalam memperolehnya. Islam menegaskan bahwa negara memiliki tanggung jawab terbesar dalam menjaga kelestarian fungsi hutan.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam juga menggambarkan bahwa pemimpin negara adalah seperti penggembala yang bertanggung jawab penuh terhadap rakyatnya. Dalam Islam, dilarang bagi negara untuk bertindak sebagai regulator yang hanya mengutamakan kepentingan korporasi dalam pengelolaan hutan.
Sebaliknya, negara memiliki kewajiban langsung dan sepenuhnya dalam pengelolaan hutan, termasuk memulihkan fungsi hutan yang rusak dan mencegah terjadinya kebakaran.
Penyerahan pengelolaan hutan kepada korporasi akan berdampak pada aktivitas pembakaran dan kerusakan fungsi hutan yang dapat menjadi bencana bagi jutaan orang, hal ini diharamkan dalam Islam.
Islam juga tidak mengenal konsep hak konsesi, kecuali jika hal tersebut dilakukan oleh negara dengan tujuan untuk kebaikan umat Islam. Jika kebakaran hutan dan lahan masih terjadi, maka pemerintah wajib segera menanganinya, karena pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memperhatikan kepentingan rakyat dan menjaga kesejahteraan mereka.
Namun, pendidikan juga penting untuk membangun kesadaran masyarakat dalam upaya menjaga kelestarian hutan. Semua ini hanya dapat tercapai melalui penerapan syariah Islam secara komprehensif dalam naungan khilafah islamiah.
Wallahua’lam bissawab.
Oleh: Agustin Pratiwi
Aktivis Muslimah
0 Komentar