Topswara.com -- Hari Keluarga Nasional (Harganas) diperingati setiap tahunnya di Indonesia pada tanggal 29 Juni. Pada Harganas 2023 ini, tema yang diusung BKKBN adalah 'Menuju Keluarga Bebas Stunting Untuk Indonesia Maju'.
Tema tersebut diangkat menyikapi fakta bahwa Indonesia masih menempati urutan keempat angka stunting tertinggi di dunia dan kedua se-Asia Tenggara. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menuturkan, dalam upaya menurunkan prevalensi stunting tahun ini Kementerian Kesehatan masih akan melanjutkan 11 strategi intervensi yaitu diantaranya konsumsi tablet tambah darah untuk ibu hamil, pemantauan pertumbuhan balita, ASI eksklusif, pemberian makanan pendamping ASI kaya protein hewani bagi bawah usia dua tahun (baduta) dan beberapa program intervensi lain dengan total anggaran sekitar Rp14 triliun.
Namun kenyataannya hingga kini angka pernurunan stunting masih belum sesuai yang diharapkan. Data Kemenkes tahun 2022 menyatakan prevalensi stunting di Indonesia masih mencapai 21,6%. Angka ini berada diatas ambang batas maksimal angka kekurangan gizi pada anak menurut WHO yaitu sebesar 20%.
Stunting Butuh Solusi Sistemis
Stunting adalah problem sistemis. Seperti yang disampaikan Puan Maharani dalam keterangan tertulisnya disampaikan bahwa kasus stunting banyak ditemukan di daerah dengan kemiskinan tinggi dan tingkat pendidikan yang rendah. Jika dilihat berdasarkan provinsi di Indonesia, wilayah Indonesia Timur sepertinya masih menjadi Pekerjaan Rumah (PR) besar bagi pemerintah.
Dengan kemiskinan, maka banyak masyarakat yang tidak bisa mengakses gizi yang baik. Sementara kebijakan pemerintah yang ada justru memunculkan orang miskin baru. sistem ekonomi kapitalisme tidak memposisikan negara sebagai penjamin kesejahteraan rakyatnya. Walhasil, orang miskin akan makin banyak. Jangankan bicara soal makanan bergizi, bagi keluarga miskin, bisa makan tiga kali sehari saja sudah bagus.
Kemudian pada persoalan kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum masa kehamilan dan setelah melahirkan, sesungguhnya tidak bisa selesai hanya dengan sosialisasi pencegahan stunting. Secara teknis, mustahil menjangkau seluruh rakyat. Belum lagi soal kesiapan mereka dalam memahami sosialisasi tersebut. Bukan tidak mungkin keluarga miskin -yang kebanyakan berpendidikan rendah, bahkan banyak yang buta huruf- tidak memahami apa yang sedang disosialisasikan.
Selanjutnya, terkait terbatasnya layanan kesehatan, termasuk layanan kesehatan ibu selama masa kehamilan, setelah melahirkan, dan layanan kesehatan anak. Terbatasnya layanan kesehatan sesungguhnya lahir akibat sistem ekonomi kapitalisme yang menyerahkan layanan kesehatan pada swasta sehingga layanan kesehatan tidak merata, hanya yang memiliki uang yang mampu mengaksesnya.
Penerapan sistem demokrasi kapitalisme telah melahirkan para penguasa bermental pengusaha. Segala hajat rakyat diserahkan pada swasta sehingga menjadi mahal. Negara hanya berperan sebagai regulator.
Sementara Langkah-langkah yang dilakukan pemerintah fokus pada case orientik seperti pemeriksaan ibu hamil, pemberian tablet penambah darah, mengukur tinggi bayi dan menimbang berat badan bayi, serta pemberian makanan tambahan. Langkah tersebut hanya memandang kasus perkasus pada bayi atau keluarga yang sudah mengidap stunting. Langkah tersebut belum menyentuh problem sistemis yaitu penerapan sistem kapitalisme neoliberal.
Ketika penerapan sistem kapitalisme neoliberal telah nyata menjadi penyebab utama berbagai persoalan termasuk kasus stunting, maka sudah sepantasnya sistem ini ditinggalkan dan harus mencari alternatif sistem lain yang mampu menyolusi berbagai persolan ini. Sebagai muslim, tentu kita meyakini bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan meyakini bahwa jika Islam diterapkan secara kaffah, pasti akan menyelesaikan berbagai masalah, termasuk persoalan stunting.
Ketika Islam diterapkan, maka masyarakat akan sejahtera. Dengan penerapan Islam secara kaffah, sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan otomatis akan terpenuhi karena Islam telah menjadikan kepala negara yang bertanggungjawab terhadap urusan rakyat. Kesejahteraan pun akan dinikmati oleh masyarakat, bahkan perindividu.
Mekanismenya adalah dengan mewajibkan laki-laki bekerja, sedangkan negara yang wajib memberikan lapangan pekerjaan dengan cara mengelola kekayaan alam kita sendiri, tidak diserahkan kepada asing.
Ketika kekayaan alam dikelola oleh negara, secara otomatis akan membutuhkan tenaga ahli dan pekerja. Dengan sendirinya, pengangguran tidak akan ada lagi. Ketika ada laki-laki yang tidak mampu, maka tanggungjawab penafkahan akan dibebankan kepada ahli warisnya. Namun, jika ahli warisnya tidak mampu, maka akan dibebankan lagi pada negara yang pembiayaannya diambil dari Baitulmal. Demikianlah mekanismenya. Insyallah jika Islam diterapkan, maka persoalan stunting ini akan bisa diselesaikan.[]
Oleh: Yuniar Firdaus
Aktivis Muslimah
0 Komentar