Topswara.com -- Kota layak anak masih menjadi predikat idaman bagi sebagian besar kota di Indonesia. Peringatan yang selalu diadakan setiap tanggal 23 Juli tersebut, digadang-gadang mampu mendongkrak nasib anak saat ini.
Peringatan Hari Anak Nasional Mampukah Memperbaiki Nasib Anak?
Hari Anak Nasional, Minggu, 23 Juli 2023 lalu, diadakan di Kota Semarang Jawa Tengah. Peringatan tersebut diikuti berbagai pihak terkait, baik secara daring maupun luring (pikiran-rakyat.com, 24/7/2023).
Berbagai pihak yang hadir terdiri dari berbagai elemen, diantaranya Wakil Presiden, Ma'aruf Amin; Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Bintang Puspayoga; Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo; Walikota Semarang, pemimpin daerah yang mendapatkan penghargaan Kota Layak Anak dan Forum Anak Nasional.
Acara yang bertemakan Anak Terlindung, Indonesia Maju, dimeriahkan dengan berbagai tampilan khas Nusantara dengan beragam adat dan budaya. Dalam acara tersebut tertuang harapan untuk kemajuan anak-anak serta harapan akan rasa aman, nyaman serta kemudahan akses yang dibutuhkan anak dalam setiap proses kehidupannya.
Pada tahun ada 360 kabupaten/ kota yang dianugerahi sebagai kota layak anak (www.kemenpppa.go.id, 23/7/2023) dan ada 14 propinsi yang dianugerahi sebagai propinsi layak anak.
Peringatan tersebut disebutkan pemerintah sebagai wujud kepedulian pada masa depan dan nasib anak saat ini. Serta upaya pemerintah dalam memenuhi segala hak yang dibutuhkan anak dalam menjalankan kehidupannya.
Sudah menjadi kewajiban negara untuk memenuhi segala yang dibutuhkan warga negara. Termasuk berbagai hak anak yang harus dilindungi. Namun sayang, peringatan dan perayaan hari anak yang menjadi moment tahunan justru hanya tradisi yang tak memperbaiki keadaan anak saat ini.
Faktanya ternyata jauh dari harapan. Masih banyak status gizi anak yang di bawah angka kecukupan gizi. Meskipun angka stunting diklaim turun, angka stunting masih tergolong tinggi di kisaran 21,6 persen (antaranews.com, 25/1/2023). Masih banyak anak yang belum terpenuhi kecukupan gizi hariannya.
Tidak hanya stunting. Masalah kekerasan pada anak pun masih menjadi masalah rumit yang makin sulit. Baik masalah kekerasan seksual, fisik maupun verbal. Berdasarkan hasil survey Badan Survey Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja 2021, menunjukkan bahwa 4 dari 100 anak laki-laki dan 8 dari 100 anak perempuan pernah mengalami kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual ini pun cenderung mengalami peningkatan yanh significant (medcom.id, 10/5/2023).
Berdasarkan data Kementrian PPPA dilaporkan ada 9.645 kasus kekerasan seksual dan tindakan yang dialami anak (www.kemenpppa.go.id, 4/6/2023). Anak-anak makin amoral, dan tak merasa bermasalah saat melakukan tindakan kriminal.
Kasus pergaulan bebas pun menjadi ancaman serius yang mengintai anak hingga sekarang. Bebasnya media sosial, kemudahan akses internet serta minimnya aturan pergaulan, memudahkan anak-anak masuk dalam jurang maksiat. Diperparah lagi, minimnya pengawasan keluarga dan lingkungan. Semua faktor ini merangsang perilaku anak semakin bebas dan tak terarah.
Ribuan Masalah Anak, Refleksi Sistem Rusak
Begitu kompleksnya masalah yang menggadai nasib anak-anak kita. Negara tidak mampu menghentikan segala masalah yang ada. Negara hanya bertindak sebagai regulator yang tidak mampu melakukan pengawasan secara langsung.
Semua fakta yang ada menunjukkan betapa buruknya nasib anak dalam genggaman kapitalisme. Sistem yang hanya mengutamakan keuntungan materi. Tanpa memperhitungkan akibatnya pada generasi.
Generasi justru menjadi korban yang masa depannya tergadai. Sistem kapitalisme menciptakan kemiskinan yang sistemis. Kualitas hidup pun semakin merosot.
Kecukupan gizi anak-anak terpinggirkan. Pendidikan terlalaikan karena mahalnya biaya. Kesehatan anak pun tergadaikan. Karena kapitalisasi sektor kesehatan yang mencekik nasib rakyat seluruhnya, termasuk anak-anak.
Setiap regulasi diciptakan hanya demi materi dan pencitraan saja. Hal ini pun diperburuk dengan penerapan sistem sekulerisme. Yaitu sistem yang meniadakan aturan agama dalam menjalankan kehidupan.
Aturan agama hanya dijadikan aturan ibadah individu saja. Sungguh, pemahaman tersebut justru menjauhkan generasi dari pemahaman yang benar tentang esensi kehidupan. Generasi pun kian tak tahu arah kehidupan.
Pengaruh gaya hidup konsumerisme, hedonis dan liberal, memberondong pemikiran generasi. Sistem ini memberikan didikan berupa cara pandang yang salah tentang kehidupan.
Setiap kesenangan dan kebahagiaan diukur berdasarkan banyaknya materi, popularitas dan standar duniawi semata. Inilah kerusakan yang sebenarnya terjadi. Terciptalah generasi yang lalai dan abai pada masa depan. Potensinya terbajak rusaknya sistem yang terus mengalir deras.
Keadaan buruk ini akan semakin memburuk saat sistem rusak masih terus diadopsi dalam menjalankan alur kehidupan. Sudah semestinya, sistem cacat ini dicampakkan, kemudian menggantinya dengan sistem yang amanah mengurusi rakyat.
Islam, Menjaga Hak Anak dan Memuliakan Generasi
Islam-lah satu-satunya sistem yang menjanjikan harapan yang memperbaiki nasib anak-anak dan rakyat seluruhnya. Karena Islam memberikan konsep yang amanah dalam mengatur kehidupan.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
"Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang besar."
(QS. Al-Isra': 31)
Generasi adalah harta berharga suatu negara. Dan selayaknya, negara menjaga nasib generasi seoptimal mungkin. Karena dari tangan generasi, tonggak peradaban ini dimulai. Hak generasi pun wajib dipenuhi sepenuhnya.
Konsep ini hanya mampu diwujudkan dalam sistem Islam dalam wadah khilafah. Hanya dengannya, kemiskinan dapat diberantas tuntas. Angka stunting pun otomatis akan mencapai nilai zero. Karena kesejahteraan merata bagi seluruh lapisan masyarakat.
Kesehatan setiap rakyat dijamin oleh khilafah. Pun demikian dengan pendidikan. Khilafah mampu mengintegrasikan pendidikan dengan syariat Islam hingga melahirkan pemahaman yang benar dalam benak generasi.
Keluarga Muslim menjadi pondasi utama dalam membangun generasi. Dan semuanya diatur oleh kebijakan negara. Setiap anak-anak wajib dipahamkan tentang tsaqafah Islam. Iman dan takwa menjadi tujuan utama. Hingga terbentuk akhlakul kariimah. Konsep ini akan menjadi benteng kuat yang menjaga generasi dari pergaulan yang serba permisif ala Barat.
Khilafah pun menjaga filter media sosial dengan efektif. Sehingga media sosial mampu menyediakan tayangan-tayangan edukatif bagi anak-anak. Ini pun menjadi perisai efektif yang menjaga pola pengasuhan dan pendidikan.
Betapa urgentnya sistem Islam dalam menjaga hak umat, terutama hak anak-anak, generasi yang memegang masa depan.
Wallahu a'lam bisshawwab.
Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor
0 Komentar