Topswara.com -- Ada sebagian orang karena setiap waktu bergaulnya dengan ahli ilmu, dia kemudian tertimpa satu penyakit halu, yakni merasa kalau dengan itu dia bisa mendaku sebagai bagian dari golongan ahli ilmu.
Dia mungkin berpikir bahwa ilmu agama itu cukup diraih dengan rajin mengkoleksi artikel dan ceramah para mubaligh lalu dia pun serta merta bisa menjadi ustaz. Dia mengira, dengan rajin menshare atau membuat status yang ditempeli hadis, obrolannya juga selalu seputar masalah agama, dia bisa naik ke level menjadi alim ulama.
Padahal logika sederhananya, meski seseorang itu setiap waktu membersamai dokter, obrolannya selalu bertema obat dan kesehatan, tidak bisa serta merta dia bisa berubah menjadi dokter.
Dia tetaplah perawat jika memang statusnya sebagai perawat, atau dia tetaplah cleaning service di rumah sakit tempat ia bekerja tanpa pernah menjadi dokter sekejap pun, meski dia adalah orang yang tiap hari membersihkan ruang kerja dokter.
Seorang kuli bangunan tetaplah kuli. Dia akan sangat tahu diri tidak menyamakan statusnya dengan para insinyur yang menjadi arsitek dari proyek tempat ia bekerja. Meski boleh jadi dia tiap hari ngumpul dan makan bersama dengan para insinyur.
Begitulah seterusnya. Karena tentu untuk menjadi dokter, insinyur dan yang semisal, itu ada sekolahnya, ada prosesnya, ada jenjang mengunyah ilmu yang harus dilahap tahap demi tahap.
Maka aneh bin ajaib kalau ada yang mengira untuk menjadi ahli ilmu di bidang agama itu, seseorang tidak harus berproses dan menempuh pendidikan yang seharusnya. Cukuplah dengan modal hobi bicara dan menulis tentang agama, teman bergaulnya para ulama, maka bisa mendadak berubah menjadi ahli fatwa.
Jika memang hal ini banyak terjadi sekarang, tidaklah hal tersebut menunjukkan kecuali betapa rendahnya penghargaan kita kepada ilmu agama. Dan sebabnya, tidak lain tidak bukan karena kita menempatkan dunia lebih penting dari akhirat.
Kita harus tahu, seorang kiyai atau ahli ilmu sejati, sebelum ia mencapai kedudukannya seperti yang kita lihat, ia telah melalui sebuah proses nyantri dan menjadi penunut ilmu selama bertahun-tahun. Tahu itu artinya apa ?
Maknanya dia pernah digodok dengan adab sebelum bisa melahap ilmu. Dan diantara muatan adab itu adalah : santri dididik untuk merasa kosong, rendah dan tidak punya apa-apa di hadapan ilmu dan ahlinya.
Ia pernah hidup nyaris seperti seorang budak, tunduk, dan menghina di hadapan firman Allah, sabda-sabda Nabi dan petuah para pewaris Nabi.
Semangat itulah yang kemudian dibawanya ketika ia telah mulai mengamalkan ilmunya. Jika kemudian kita temukan satu dua kasus yang berbeda, adanya ahli ilmu yang tak beradab dan merusak, itu adalah pengecualian yang akan selalu ada dalam setiap hal dan keadaan. Bahkan bisa jadi sebenarnya, dia adalah ahli ilmu gadungan yang tidak pernah melalui proses yang seharusnya.
Maka bisa dilihat kenyataannya saat ini, ketika mereka-mereka yang tidak pernah melalui proses berguru, yang tidak pernah tunduk dan merendah untuk ilmu, lalu tiba-tiba merasa berhak memegang “warisan kemuliaan” para Nabi ini, sudah pasti yang akan terjadi adalah nampaknya sikap arogan alias lepas kendali.
Sehingga sikap sombong inilah yang paling nampak pada orang-orang seperti ini, ia bahkan akan menempatkan orang berilmu selevel dengannya atau bahkan bisa jadi lebih rendah lagi. Minimalnya bersikap sok akrab yang justru itu sangat berpotensi merendahkan kedudukan para ahli ilmu yang seharusnya ia muliakan.
Tidak jarang kita temukan ada yang memanggil kiyai atau ustaz dengan panggilan “akhi”, atau “teman” atau “kawan” untuk menunjukkan kesan kalau dia itu orang dekat yang selevel dengan si ustaz.
Atau yang lebih parah lagi ada yang memanggil nama saja, untuk menunjukkan bahwa ulama yang dipanggilnya hanyalah orang kampung dan teman sepermainannya.
Tentu tidak ada yang salah dengan panggilan akrab, terlebih jika itu untuk mencairkan suasana atau menjadikan interaksi tidak terlalu kaku. Tetapi jika dengan itu anda berniat atau berpotensi merendahkan ilmu dan ahlinya, maka jelas hal tersebut adalah sikap yang tidak beradab.
Wallahu a'lam.
Oleh: K.H. Ahmad Syahrin Thoriq
Pengasuh Pondok Pesantren Subulana Kota Bontang Kalimantan Timur
0 Komentar