Topswara.com -- Pakar Fiqih Kontemporer, K.H. Muhammad Shiddiq Al Jawi menyatakan bahwa empat ulama Mazhab sepakat membolehkan laki-laki Muslim menikahi perempuan ahli kitab.
"Para fuqaha dari berbagai mazhab, diantaranya adalah mazhab yang empat, yaitu mazhab Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad, telah sepakat mengenai bolehnya seorang laki-laki Muslim menikahi perempuan ahli kitab (kitabiyyah), yaitu perempuan beragama Yahudi dan Nasrani," ungkapnya kepada Topswara.com, Senin (10/7/2023).
Kiai Shiddiq, sapaannya, mengambil firman Allah SWT yang terdapat dalam surat Al Maidah ayat 5 yang berbunyi:
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنْ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنْ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
”(Dan dihalalkan menikahi) wanita-wanita merdeka (al-muhshanat) di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita merdeka (al-muhshanat) di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.” (QS. Al-Ma'idah: 5).
Kiai Shiddiq menjelaskan terkait hukum kebolehan menikahi wanita ahli kitab diberlakukan untuk laki-laki Muslim yang sangat kuat beragama. Seperti ulama atau mujtahid atau mujahid, yang menikahi perempuan ahli kitab dari kalangan rakyat negara khilafah. Seperti halnya dahulu, ketika sebagian sahabat Nabi SAW menikahi perempuan Ahli Kitab dari kalangan ahludz dzimmah.
"Misalnya Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu yang menikahi seorang perempuan Nasrani bernama Na`ilah, yang kemudian masuk Islam di bawah bimbingan Utsman. Hudzaifah bin Al-Yaman r.a. pernah menikahi seorang perempuan Yahudi dari penduduk Al-Mada`in. Jabir bin Abdillah r.a. pernah ditanya mengenai laki-laki Muslim yang menikah dengan perempuan Yahudi atau Nashrani? Maka Jabir menjawab, ”Dahulu kami dan Sa’ad bin Abi Waqqash pernah menikahi mereka pada saat penaklukan Kufah.” (Wahbah Al Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 9/145)," jelasnya.
Namun, ia menegaskan bahwa sesuatu yang mubah bukan sesuatu yang dianjurkan (sunah), atau yang diharuskan (wajib). Bahkan, menurutnya, perkara yang hukumnya mubah pada kasus-kasus tertentu, menurutnya justru diharamkan secara syar’i jika menimbulkan bahaya (mudharat/mafsadat), meski hukum pokoknya yang mubah tetap ada dan tidak hilang.
Ia mencontohkan, jika laki-laki Muslimnya lemah dalam beragama, sedang perempuan ahli kitabnya seorang misionaris Kristen atau Katolik yang sangat kuat beragama dan kuat pula pengaruhnya kepada orang lain.
"Maka dalam kondisi seperti ini, haram hukumnya laki-laki Muslim tersebut menikahi perempuan ahli kitab ini, karena diduga kuat laki-laki Muslim itu akan dapat terseret menjadi murtad dan mengikuti agama istrinya, atau diduga kuat perempuan itu akan dapat mempengaruhi agama anak-anaknya sehingga mereka menjadi pengikut Nasrani. Na’udzu billahi min dzalik," jelasnya.
Ia mengambil kaidah fikih yang dirumuskan oleh Imam Taqiyuddin An-Nabhani rahimahullah, sebagai berikut:
كل فرد من أفراد المباح إذا كان ضارا أو مؤديا إلى ضرر حرم ذلك الفرد وظل الأمر مباحا
“Setiap kasus dari kasus-kasus perkara yang mubah, jika terbukti berbahaya atau membawa kepada bahaya, maka kasus itu diharamkan, sedangkan perkara pokoknya tetap mubah.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, 3/456).
"Kesimpulannya, seorang laki-laki Muslim hukum asalnya mubah menikahi perempuan ahli kitab. Namun dalam kasus tertentu, hukumnya menjadi haram jika pernikahan itu dapat menimbulkan bahaya (mudharat/mafsadat), sedang hukum asalnya tetap mubah," tutupnya. [] Fadhilah Fitri
0 Komentar