Topswara.com -- "Kisah usang tikus-tikus kantor,yang suka berenang di sungai yang kotor".
Mungkin itu sebagian lirik yang dulu pernah di bawakan oleh Iwan Fals, tentang seorang pejabat yang suka korupsi atau mencuri uang rakyatnya, ternyata kisah ini belum usang, sampai detik ini para pejabat korup masih banyak bahkan semakin menjadi jadi.
Seakan tidak ada ujungnya membahas korupsi di negeri+62, sudah seperti gosip artis yang tidak pernah berhenti. Tren korupsi sekarang menjalar ke lahan desa, sejak UU Desa diterapkan pada 2015. Mengapa kasus korupsi makin menggurita hingga perangkat desa?
Seperti kasus yang baru ini terjadi bernama Akiani seorang Kepala Desa Lontar, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten menjadi tersangka korupsi dana desa dengan total kerugian negara mencapai Rp988 juta.
Akiani yang menjabat periode 2015-2021 menghamburkan dana desa untuk kebutuhan pribadinya. Seperti pesta di tempat hiburan malam hingga poligami dengan 4 perempuan.
Sejatinya, uang yang digunakan Akiani untuk berfoya-foya tersebut diperuntukkan untuk kegiatan pembangunan infrastruktur di Desa Lontar: rabat beton, gapura wisata, dan tembok penahan tanah atau TPT.
Korupsi dana desa yang dilakukan Akiani menambah daftar panjang kasus rasuah oleh kepala desa. Mengutip laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), pada 2022 ada 155 kasus rasuah yang terjadi di sektor ini dengan 252 tersangka sepanjang tahun lalu.
Menanggapi maraknya kasus korupsi dana desa ini, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Indonesia, Abdul Halim Iskandar menyebut, ada masalah integritas pada pelakunya. Dia enggan menyamaratakan seluruh kepala desa atas kasus yang terjadi di Desa Lontar tersebut. "Kalau ada kades yang korupsi, itu bukan masalah aturan penggunaannya, tapi masalah integritas kades. Apalagi merujuk pada kasus di atas. Untuk kawin lagi. Itu mah sudah pada level ngawur," kata Halim saat dihubungi reporter Tirto pada Rabu (tirto.id 21/6/2023).
Dana desa yang sedianya diperuntukkan untuk memajukan dan membangun desa, malah diselewengkan. Pengelolaan dananya bermasalah, alokasi dana terus meningkat, tetapi minim pemanfaatannya. Sementara disisi lain, ada wacana revisi UU desa yang menetapkan masa jabatan kepala desa menjadi 9tahun.
Tentu masa jabatan yang panjang akan beresiko terhadap meningkatnya korupsi.Karut-marut dana desa akan terus berpolemik selama sistem demokrasi kapitalisme tetap berlaku.
Sistem ini memang membuka banyak celah korupsi. Bayangkan saja, aturan dan UU bisa direvisi sesuai kepentingan, minim pengawasan, dan belum ada penindakan hukum yang tegas pada pelaku korupsi.
Alhasil, korupsi makin menjadi dari tingkat pusat hingga desa. Sistem demokrasi sendirilah yang membuka angka korupsi makin menganga. Mengapa demikian?
Pertama, pelaksanaan pemilihan kepala desa tidak jauh beda dengan pilkada yang rentan dengan politik uang. Sudah jamak kita ketahui, terpilihnya seseorang dalam pemilihan model demokrasi kebanyakan tidak akan melihat kapasitas dan kapabilitas individunya, melainkan seberapa besar dukungan masyarakat dan citra yang dimunculkan sepanjang kompetisi dan kampanye.
Dari sinilah terbuka celah praktik politik uang, yakni “membeli” suara masyarakat dengan pemberian sembako ataupun amplop uang.
Kedua, iming-iming gaji bagi kades terpilih akan memunculkan persaingan sengit antarkomponen tokoh desa. Meski nominal gajinya tidak terlalu besar, tetap saja keinginan mendapat gaji layak sudah menjadi fitrah bagi setiap manusia di tengah impitan ekonomi yang serba sulit saat ini.
Alhasil, mereka yang berhasrat menjadi calon kades selanjutnya akan membangun citra yang baik di mata masyarakat desa. Sebagaimana pendahulunya di tingkat pusat, politik pencitraan di tingkat desa akan menjadi habits bawaan pemilu demokrasi.
Ketiga, latar belakang pendidikan yang berbeda akan memunculkan masalah baru. Kades yang tidak memiliki basis pengetahuan dasar perihal pengelolaan dana desa yang jumlahnya miliaran akan kesulitan mengatur dana sebanyak itu.
Di sinilah potensi dana desa tidak tepat sasaran akan terjadi. Itulah sebabnya kasus korupsi tidak pernah bisa selesai tuntas, karena model pemilihan Kades yang mengacu pada sistem demokrasi, tentu membutuhkan dana kampanye yang tidak sedikit. Cara paling mudah dan tercepat untuk mengembalikan dana kampanye ialah dengan melakukan korupsi.
Dalam pandangan Islam terkait kasus korupsi, Islam memiliki tata cara memberantas korupsi dengan tuntas, di antaranya pertama, membangun integritas kepemimpinan di semua level pemerintahan, yaitu ketakwaan pada setiap individu.
Dalam sistem Islam, loyalitas kepemimpinan harus bersandar pada ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan asas kepentingan kelompok, golongan, apalagi kerabat/ keluarga.
Para pemimpin ditingkat pusat hingga desa menjalankan tugas dan amanah yang diberikan hanya untuk memenuhi kepentingan dan kemaslahatan rakyat yang dipimpinnya.
Nabi SAW. bersabda, “Setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang ia pimpin.” (HR Al-Bukhâri, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dari hadis Abdullah bin Amr).
Dengan demikian untuk membabat habis korupsi, haruslah dengan mencabut akar masalahnya, yaitu mengganti sistem demokrasi kapitalisme dengan Islam sebagai solusi satu-satunya dalam menyelesaikan problematik kehidupan yang kian pelik.
Wallahu alam bisshawab.
Oleh: Sri Nurhasanah
Aktivis Muslimah
0 Komentar