Topswara.com -- Kasus korupsi tidak pernah habis dibahas. Mulai dari tatanan pusat hingga ke bagian terkecil pemerintahan, semua tersorot masalah korupsi. Bahkan korupsi menjadi penyakit kronis di tataran kepengurusan desa. Sejak disahkannya UU Desa pada tahun 2015.
Korupsi Mengakar di Tatanan Desa
Salah satu fakta mengungkap ada Kepala Desa dan perangkatnya yang tersangkut kasus korupsi hingga mencapai Rp 988 juta (tirto.id, 30/6/2023). Dan jelas-jelas perbuatan tersebut merugikan negara. Sebut saja Kepala Desa asal Lontar Kecamatan Tirtayasa Kabupaten Serang.
Dia menghabiskan dana desa dan menghambur-hamburkannya untuk kepentingan pribadi. Bahkan berpoligami, menikahi 4 wanita dengan menggunakan dana desa. Padahal dana yang dikucurkan dari pusat tersebut, awalnya akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur desa Lontar.
Kasus korupsi ini menambah panjang deret data korupsi yang terhimpun sejak tahun 2022. Berdasarkan data ICW (Indonesia Corruption Watch), pada tahun 2022 terdapat 155 kasus suap yang terjadi di sektor desa (tirto.id, 30/6/2023). Dan tercatat sebanyak 252 tersangka sepanjang tahun 2022.
Pakar politik Universitas Airlangga, Ucu Martanto menyebutkan bahwa adanya pengaruh hegemoni politik desa sebagai pengaruh dari revisi UU no.6 tahun 2014 tentang pengaturan Desa. Menyangkut perubahan periode masa jabatan kepala desa (republika.co.id, 1/7/2023).
Periode masa jabatan yang awalnya 6 tahun menjadi 9 tahun, dan setelah habis masa jabatan, ada aturan tentang kebolehan dipilihnya kembali kepala desa yang terdahulu. Dan hal tersebut berpotensi menimbulkan politik dinasti.
Anak, cucu, ataupun kerabatnya dapat memegang kekuasaan desa demi mempertahankan kewenangannya di lingkup desa. Demikian lanjutnya. Tentu saja, hal tersebut akan memberikan celah basah bagi petahana untuk terus mengumpulkan sumberdaya desa dan melakukan penyelewengan serta kecurangan di dalamnya.
Demokrasi Kapitalisme, Biang Kerusakan Moral
Menyoal dana bantuan untuk pembangunan infratstruktur desa, sebetulnya dapat mendongkrak pembangunan desa. Namun, banyak juga terjadi kasus penyelewengan dana desa, alias korupsi.
Tidak hanya menuntut perpanjangan masa jabatan, para perangkat desa ini pun meminta anggaran lebih dari pemerintah, yakni sebesar 10 persen dari APBN. Anggaran ini diprediksi mencapai Rp 300 Trilliun dari dana APBN 2023 (katadata.co.id, 8/4/2023). Anggaran tersebut 3 kali lebih besar dibandingkan anggaran desa tahun 2022.
Inilah fakta demokrasi kapitalisme. Selama sistem rusak ini terus diterapkan, maka wajar saja korupsi menjadi masalah yang terus tumbuh subur dan semakin rumit.
Tengok saja, UU yang dengan sesuka hati diubah-ubah sesuai kepentingan penguasa. Belum lagi, minimnya pengawasan yang dilakukan negara. Sementara, hukum yang dikenakan kepada para koruptor hanya hukuman sekedarnya saja, yang tidak melahirkan efek jera. Alhasil, kasus korupsi pun terus mengakar, bahkan hingga tatanan pengurusan masyarakat terkecil, yaitu masyarakat desa.
Isu korupsi desa pun makin santer menjelang pesta kontestasi politik 2024. Diprediksikan, jika partai-partai politik setuju dengan pendapat para aparat desa mengenai anggaran dan dana desa, otomatis akan mendongkrak pendulangan suara, yaitu suara masyarakat desa yang "diboyong" para perangkatnya. Nyatalah, kecurangan makin sistemik.
Buruknya fakta demokrasi kapitalisme. Sistem yang menyandarkan setiap keputusan hanya pada standar keinginan para penguasa dan pemilik modal. Selama ini tetap diterapkan, korupsi akan semakin mendarah daging.
Tentu saja, kepentingan masyarakat makin tersisihkan. Rakyat hanya dianggap beban saat pemimpin yang ada hanya mengutamakan kepentingan materialistik bagi pribadi dan segelintir kelompoknya.
Sistem demokrasi kapitalistik pun semakin menghancurkan sendi-sendi kepemimpinan. Pemimpin yang lahir dari sistem rusak ini hanyalah pemimpin serakah. Yang tidak peduli standar benar salah. Apalagi standar halal haramnya perbuatan. Semua didasarkan pada hawa nafsu belaka. Kehidupan pun semakin suram dan tidak mampu diharapkan. Memprihatinkan.
Tak ada pilihan lain, sistem destruktif ini harus segera ditinggalkan. Kemudian menggantinya dengan sistem yang amanah mengurusi rakyat.
Islam Amanah Menjaga Umat
Sistem Islam. Satu-satunya sistem yang menjaga kehormatan pemimpin dan menjaga kepentingan masyarakat. Islam menetapkan bahwa keimanan dam ketakwaan yang terintegrasi dalam memimpin umat adalah kriteria utama bagi pemimpin. Karena setiap kepemimpinannya akan dipertanggungjawabkan kelak.
Rasulullah SAW. bersabda
"Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, di mana kelak di hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin." (HR. Muslim).
Setiap kepemimpinan harus dilaksanakan dengan amanah. Dan itu menjadi gerbang kebaikan dalam kepengurusan umat. Sistem Islam melahirkan jiwa kepemimpinan yang berakhlak dan bertanggung jawab. Rasa takut kepada Allah SWT. menjadi dasar pengelolaan sumberdaya yang dimiliki rakyat. Alhasil, kepemimpinan pun selalu tertuju pada kepentingan umat.
Semua ini hanya dapat diwujudkan dalam sistem Islam dalam institusi khilafah yang dipimpin seorang khalifah.
Sanksi yang diterapkan sistem Islam pun tegas dalam penerapannya. Para koruptor yang merugikan kepentingan umat, disanksi berat sesuai syariat Islam. Semuanya tergantung jenis kejahatannya dan sesuai dengan wewenang khalifah. Mulai dari penjara, pengasingan dan hukuman pancung (mati). Penetapan ini akan melahirkan efek jera dan mampu mencegah terulangnya kasus yang sama.
Tidak hanya itu, khalifah pun menetapkan pengawasan terhadap seluruh dana yang dikucurkan di tengah kepengurusan umat. Dalam Khilafah, hal tersebut dilakukan Badan Pengawas Keuangan yang memiliki wewenang mengawasi aliran dana yang diperuntukkan untuk memenuhi kepentingan umum.
Konsep Islam kaffah akan menciptakan optimalnya usaha negara dalam mengurusi urusan umat. Meminimalisir kecurangan. Dan setiap kasus korupsi dengan mudah ditindak dan dikendalikan. Urusan umat pun terpelihara sempurna.
Wallahu a'lam bisshawwab.
Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor
0 Komentar