Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Dampak Pengesahan UU Kesehatan, Anggaran Kesehatan Terpangkas?


Topswara.com -- Rapat Paripurna DPR mengesahkan RUU Kesehatan menjadi Undang-Undang menuai kritik masyarakat sipil, selain itu dua fraksi Partai Keadilan Sejahtera dan Demokrat menyatakan menolak. 

Isi Rencana Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut menimbulkan polemik, terutama bagi kalangan tenaga kesehatan (nakes). Pengesahan terkait RUU Kesehatan tersebut dilakukan melalui Rapat Paripurna ke-29 DPR masa sidang 2022-2023, dikutip dari kompas.com, selasa (11/7/2023).

Pengesahan RUU kesehatan yang menjadi polemik adalah mandatory spending yang dihapus, perizinan dokter asing berpraktik di rumah sakit Indonesia, perlindungan tenaga kesehatan dan medis, hingga Surat Tanda Registrasi (STR) yang berlaku seumur hidup

Miris, pengesahan RUU kesehatan yang membawa dampak penghapusan mandatory spending berupa anggaran minimal 5 persem dari APBN untuk pembiayaan kesehatan rakyat. Jika mandatory spending dihapus dampaknya anggaran kesehatan rakyat terpangkas, beban pembiayaan kesehatan yang ditanggung masyarakat akan semakin besar. 

Padahal di dalam UUD 1945 pasal 34 menyatakan, bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, hal ini menunjukkan jaminan kesehatan yang murah serta layanan kesehatan yang terjamin menjadi impian belaka. 

Keterlibatan negara dalam pembiayaan kesehatan rakyatnya adalah sebagai bentuk penjagaan negara terhadap kesehatan rakyat. Jikalau mandatory spending dipangkas maka rakyat akan membiayai kesehatannya secara mandiri jika mampu ataupun menggunakan asuransi swasta maupun BPJS. 

Hal ini sebenarnya membuka peluang liberalisasi kesehatan dan terbuka lebar kesempatan swasta menguasai kesehatan masyarakat. Konsep ini bisa mengancam nyawa dan kesehatan rakyat, sedangkan negara hanya sebagai regulator bagi kepentingan swasta, kesehatan bisa dikomersialkan asal menguntungkan.

Kesehatan merupakan kebutuhan premier atau dasar sebagaimana kebutuhan pangan yang harus dipenuhi bagi setiap warga negara. Dalam Islam, negara wajib melayani kebutuhan rakyatnya secara menyeluruh, termasuk jaminan dalam bidang kesehatan tanpa diskriminasi. 

Semua masyarakat mendapatkan layanan kesehatan yang murah, bahkan gratis, infrastruktur pelayanan kesehatan yang berkualitas, sarana prasarana rumah sakit yang terbaik, laboratorium, badan riset yang berteknologi mutakhir, adanya obat-obatan yang manjur tanpa efek samping, dokter, tenaga medis dan ahli farmasi yang terbaik dan berkompeten.

Sejarah mencatat, pada masa Rasulullah saw menjadi khalifah, beliau mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sedang sakit dengan gratis, tanpa biaya sepeserpun. Hal ini menunjukkan bahwa jaminan pelayanan kesehatan wajib dipenuhi negara kepada rakyatnya dengan gratis tanpa membebani dan meminta imbalan.  

Negara memiliki baitul mal sebagai sistem perekonomian yang kuat dengan sumber pemasukan keuangan yang beragam, untuk memenuhi terjaminnya kesehatan rakyat dengan cuma-cuma.

Negara tidak akan membebani rakyatnya dalam pemenuhan kesehatan, apalagi dikomersialkan bekerjasama dengan korporasi. Negara tidak akan memberikan tanggung jawab dalam memenuhi hak rakyat dalam penjagaan kesehatannya kepada pihak swasta ataupun kepada rakyatnya sendiri. 

Hal ini tidak akan terjadi, karena khalifah yang akan mengatur, mengurus dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Dan kalifah dalam mengurusi kebutuhan dasar rakyatnya akan dimintai pertanggungjawaban langsung oleh Allah SWT kelak di akhirat. 

Demikianlah jaminan kesehatan akan terpenuhi jika Islam diterapkan secara kaffah, mengikuti semua syariat-syariat Allah SWT. Sebagaimana kepemimpinan pada masa Rasulullah dan sahabat wajib kita ikuti dan tegakkan. Bersama dengan kelompok dakwah ideologis, kita usahakan Islam kembali menjadi peradaban yang menguasai dunia.


Oleh: Yesi Wahyu I.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar