Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Baby Blues Syndrom, Anomali Pasca persalinan


Topswara.com -- Melahirkan buah hati adalah kebahagiaan yang ditunggu-tunggu para ibu rumah tangga. Apalagi jika itu anak pertama. Ironisnya, tidak sedikit kaum ibu malah sedih dan bahkan depresi pascapersalinan. Ada apa dengan para bunda? Bukankah momen ini seharusnya membahagiakan? Anomali memang. Inilah yang disebut Baby Blues Syndrome (BBS).

Indonesia menempati urutan ketiga di Asia dengan angka BBS tertinggi, yaitu  50 sampai 70 persen (Republika). Angka tersebut tidak berbeda dengan kondisi global, di mana WHO mencatat prevalensi BBS mencapai 30-70 persen. 

Jika BBS tidak segera diatasi, depresi berlanjut ke Post Partum Syndrom (PPS) yang sifatnya lebih parah. Kalau BBS terjadi kisaran hari atau minggu, PPS bisa tahunan. Pasalnya, setelah melahirkan, tugas seorang ibu tidak berhenti sampai di situ. Selama fase pengasuhan dan pendidikan anak-anak yang menguras energi dan emosi, para istri kerap tertekan dan berujung depresi.

Hal ini sejalan dengan tingginya gejala gangguan mental yang melanda dunia, saat ini. WHO mencatat, pada 2019, ada 300 juta orang di dunia yang depresi. Sebanyak15,6 juta di antaranya adalah orang Indonesia, baik remaja maupun dewasa. Termasuk para istri atau ibu tentunya (its.ac.id).

Angka ini menjadi perhatian negara. Itu sebabnya saat ini sedang digeber Rancangan Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) yang diharapkan mampu meminimalkan angka kematian ibu dan anak, termasuk mendeteksi dan mengurangi kejadian semisal Baby Blues Syndrom. 

Pemicu Depresi

Selain murni faktor hormonal, ada beberapa penyebab para istri mengalami BBS. Pertama, pengalaman menyusui. Misal tidak maksimal memberi ASI, sehingga membuat ibu merasa kecewa dan akhirnya memicu terjadinya BBS (Oktriani, 2017).

Penyebab kedua, jarak kelahiran dengan jarak kehamilan kurang dari dua tahun. Hal ini juga meningkatkan  risiko lebih besar mengalami BBS  (Octarianingsih, 2020). Lalu ketiga, adanya mitos-mitos yang kuat terkait ibu melahirkan dan bayinya. Misal larangan keluar rumah selama 40 hari bagi ibu nifas (Lisna, 2015). 

Tekanan stres para istri, juga disebabkan  persoalan rumah tangga. Seperti relasi dengan suami yang tidak dekat, sehingga komunikasi terhambat. Juga, kurangnya kerjasama dengan suami dalam mendukung tuga-tugas istri. Akhirnya, beban istri terlampau berat. Istri bahkan merasa berjuang sendiri mengurus buah hatinya.

Belum lagi kondisi keuangan rumah tangga pasca persalinan. Seperti kita tahu, biaya persalinan tidaklah murah. Apalagi jika membiayai secara mandiri dan tidak mendapat subsidi negara. Jika tidak bisa lahir normal lalu harus dicaesar, jelas menguras keuangan. Belum lagi bayangan akan biasa pengasuhan dan pendidikan anak-anak. Hal ini menambah depresi.

Tidak dipungkiri, sumber masalah utama mayoritas masyarakat yang stres adalah uang. Kekacauan kondisi keuangan menjadi momok tertinggi yang memicu tekanan jiwa atau stres. Problem rumah tangga lainnya seperti kurangnya tingkat kepuasan dalam hubungan, hingga terjadi perselingkuhan. Tidak sesuainya antara harapan dengan kenyataan, ini secara pasti menambah kontribusi pada depresi kaum ibu.

Islam Memandang Nifas

Sejatinya, Islam mengatur seluruh aspek kehidupan. Termasuk kondisi pasca persalinan yang disebut nifas (puerperium). Menurut literatur ilmiah, nifas adalah masa yang dimulai dari plasenta lahir sampai alat-alat kandungan kembali seperti sebelum hamil, dan memerlukan waktu kira-kira 6 minggu (Rini and Kumala, 2017). Artinya, seluruh organ yang dulu dipakai melahirkan, baru bisa normal seperti sebelum hamil setidaknya dalam 6 pekan.

Adapun pendapat para Imam Mazhab, nifas selama maksimal 40 hari. Nifas  merupakan masa pemulihan dari setiap perubahan yang terjadi selama kehamilan. Allah SWT memberikan keringanan berupa terbebas dari kewajiban-kewajiban seperti salat, puasa, thawaf dan jima’ (Azzam and Hawwas, 2009).

Perlu diketahui, pada fase nifas ini, tubuh wanita pasca persalinan akan sangat lelah fisik, karena tenaga terforsir saat melahirkan. Seluruh badan terasa sakit karena belum pulihnya organ tubuh pascapersalinan. 

Saat itu, terjadi hal-hal sebagai berikut: pertama, perubahan sistem reproduksi, yaitu alat-alat reproduksi yang meregang luar biasa akibat tekanan bayi. Kedua, perubahan sistem pencernaan, sehingga fase nifas biasanya mengalami sembelit.

Ketiga, terjadi pula perubahan sistem perkemihan, yang mengakibatkan sulit buang air kecil. Keempat, perubahan sistem muskuloskeletal, yang menyebabkan pembuluh darah di antara anyaman otot-otot uterus akan terjepit, sehingga akan menghentikan perdarahan. 

Kelima, perubahan sistem kardiovaskuler, berhubungan dengan volume darah di tubuh. Keenam, perubahan tanda-tanda vital seperti suhu tubuh meningkat sehingga menyebabkan demam, tekanan darah lebih rendah, denyut nadi meningkat dan pernafasan bisa menjadi lebih cepat, yang berpotensi ada tanda-tanda syok.

Butuh Support System

Berdasar kondisi lemah para ibu pascamelahirkan itulah, di fase nifas seharusnya mereka diperlakukan dengan mulia. Dukungan orang-orang terdekatnya sangat dibutuhkan untuk meringankan beban. Seperti suami, orang tua atau mertua jika masih kuat, dan kerabat terdekat serta sahabat-sahabat. 

Jaga jangan sampai ibu depresi. Sebab, mereka rentan stres karena kaget, betapa beratnya melahirkan dan mengurus bayi. Lelah secara psikis, karena adaptasi dengan status baru sebagai ibu yang tidak lagi sama dengan saat masih menjadi istri atau bahkan lajang.

Para ibu berada di fase repot, di mana ia harus mengurus bayi yang perlu perhatian hampir 24 jam. Kerap para ibu overthinking berupa kecemasan berlebihan berkaitan dengan kondisi bayi yang dilahirkan dan tata cara perawatannya.

Namun, melihat banyaknya kasus BBS, jelas ini bukan persoalan individual semata. Ini adalah produk sistemik, di mana kaum ibu saat ini hidup di bawah aturan ideologi sekular kapitalistik yang tidak berpihak pada ibu. 

Produk sistemik sistem sekularisme yang memenjarakan para suami dalam roda-roda perekonomian tanpa jeda, menyebabkan dukungan suami terhadap istrinya pasca melahirkan, sulit ditegakkan. Tampak dari masa cuti yang sangat pendek, yaitu hanya dua hari. 

Padahal, selama masa nifas, kurang lebih 40 hari itu masa kritis istri. Saat itu, istri butuh bantuan, seperti berbagi tugas mengurus bayi, menyiapkan asupan yang mendukung lancarnya ASI, mengantarkan bayi dan ibunya memeriksakan diri ke layanan kesehatan dan vaksinasi. Semua itu tak bisa dilakukan istri seorang diri.

Oleh karena itu, jika negara serius ingin menyejahteraan ibu dan anak, mencegah mereka dari risiko BBS dan bahkan kematian, maka harus fasilitasi para suami agar bisa mendampingi istrinya secara maksimal. Antara lain dengan memperpanjang cuti melahirkan, yang di RUU Kesehatan Ibu dan Anak sudah diusulkan menjadi 40 hari. Semoga saja demikian. 

Banyak manfaat jika seorang suami mendampingi istrinya melahirkan. Menyaksikan saat momen bayi dilahirkan, akan mempermudah pria menjalin bonding dengan bayinya. Penelitian membuktikan, mendengarkan tangisan bayinya menghubungkan jalur di otak ayah yang terkait dengan persepsi sosial, memperkuat kemampuannya untuk menjalin dan mempertahankan hubungan. 

Kehadiran suami mendampingi istri pasca persalinan, juga menurunkan angka kematian anak sebanyak 5 persen. Penelitian lain, anak usia 6 bulan yang menghabiskan waktu bermain secara reguler dengan ayahnya memiliki kosa kata yang lebih baik pada usia tiga tahun daripada yang hanya bermain dengan ibu (Kompas).

Namun, pendampingan suami dan kebijakan cuti ini hanya bagian kecil dari upaya mengatasi BBS. Tentu tidak cukup sampai di situ. Butuh support system lain, seperti ditegakkannya sistem hidup yang melahirkan individu yang bertakwa, sehingga tidak rentan stres. Siap menghadapi pengalaman menjadi ibu dengan bahagia. Keimanan membuat seseorang selalu sadar, syukur dan rida atas ketetapan Allah, sehingga tidak mudah terserang stres.

Negara yang melaksanakan hukum Allah, akan mampu mewujudkan ketahanan rumah tangga melalui regulasi tata kerja, fasilitas pendidikan dan fasilitas kesehatan. Negara juga menguatkan warganya agar mau melakukan literasi kesehatan, termasuk mental health. Bahkan sarana menyembuhkan pasien sakit mental juga tersedia, mudah diakses dan cuma-cuma.

Sementara itu, untuk melahirkan calon-calon ibu yang tidak mudah stres, negara harus memasukkan kurikulum pendidikan rumah tangga secara komprehensif di jenjang tertentu. 

Kaum ibu hendaknya paham tentang  alat-alat reproduksi, konsep ta'aruf, khitbah, walimah, fikih pernikahan, kehamilan, kelahiran bayi, relasi suami istri, cakap menjadi istri, cakap menjadi ibu dan ayah/parenting, dan lain sebagainya. Inilah cara jitu untuk menghindari BBS dan melahirkan calon ibu dan ayah yang tidak hanya bervisi dunia, tetapi juga akhirat.


Oleh: Kholda Najiyah
Founder @Salehah Institute
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar