Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Antara Antraks dan Tradisi yang Keliru


Topswara.com -- Bulan Juni 2023, masyarakat dikejutkan dengan berita matinya hewan-hewan ternak akibat antraks, dan yang lebih mengejutkan lagi adanya berita bahwa ditemukan korban manusia yang meninggal akibat antraks ini. 

Kementerian Pertanian mencatat 12 ekor hewan ternak mati, sementara terdapat 87 warga positif antraks berdasarkan hasil tes serologi yang dilakukan Kementerian Kesehatan dan 3 orang dinyatakan meninggal dunia di Dusun Jati, Desa Candirejo Gunung Kidul. Setelah ditelusuri ternyata penyebab warga positif antraks akibat menyembelih daging sapi yang sudah mati terinfeksi antraks. 

Warga di Gunungkidul ini memiliki kebiasaan disebut brandu (mbrandu). Menurut Kepala Dusun Jati, tradisi mbrandu di Padukuhan Jati, Kalurahan Candirejo, Kapanewon Semanu, Kabupaten Gunungkidul memang sudah mengakar sejak nenek moyang mereka dan memiliki tujuan yang baik yaitu meringankan kerugian pemilik ternak yang ternaknya mati, apakah karena sakit atau sebab lainnya. 

Jadi warga iuran memberikan uang kepada warga lain yang ternaknya sakit atau mati. Kemudian, daging ternak yang mati itu dibagi-bagikan. Justru inilah yang berbahaya, karena antraks adalah penyakit yang bersifat zoonosis, ditularkan dari hewan ke manusia. 

Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis yang biasa menyerang hewan herbivora. Spora anthrax tahan terhadap kondisi lingkungan yang panas, desinfektan dan bahan kimia, sehingga dapat bertahan di lingkungan hingga puluhan tahun. 

Menurut Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, ternak yang mati diduga anthrax tidak boleh dilakukan bedah bangkai agar spora tidak menyebar, tetapi harus ditangani dengan tepat biasanya dibakar/dikubur. 

Peran Negara Meriayah Umat 

Keprihatinan tidaklah cukup untuk mensikapi jatuhnya korban manusia akibat antraks, perlu evaluasi dan solusi yang tepat untuk mengatasi hal ini karena boleh jadi atas nama tradisi yang dipertahankan, maka kejadian ini berpotensi terulang. 

Masyarakat perlu diberikan edukasi atau pemahaman agama yang benar. Niat yang baik untuk membantu saudara yang sedang kesusahan akibat ternaknya mati, lantas mengkonsumsi hewan ternak tersebut yang telah mati, tidaklah dibenarkan oleh syariat Islam. 

Islam telah memiliki aturan yang sempurna termasuk dalam hal makanan. Hukum haramnya memakan bangkai telah ditegaskan dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 173 dan surat Al-Ma'idah ayat 3. 

"Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Al-Baqarah: 173).

Sedangkan dalam surat Al-Maidah ayat 3, Allah SWT juga menerangkan beberapa makanan yang diharamkan.

"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala." (QS Al-Ma'idah: 3).

Sebagai Muslim yang taat seharusnya dalam melakukan perbuatan apapun harus memiliki pemahaman yang jelas tentang status keharaman atau kehalalannya. Peran dan fungsi pemerintah baik di tingkat pusat ataupun daerah untuk memberikan edukasi kepada masyarakat. 

Edukasi yang diberikan bukan hanya sebatas aspek keamanan dan kesehatan saja akan tetapi dari aspek spiritual keagamaan. Masyarakat harus paham dan sadar ketika melanggar aturan Allah SWT dengan memakan bangkai maka kemudorotan akan terjadi. Sehingga akan tumbuh kesadaran masyarakat untuk senantiasa taat dan terikat dengan hukum syariat Islam. 

Walaupun beberapa pihak menyangkal tidak ada hubungan antara tradisi brandu dengan kemiskinan, tetapi fakta membuktikan bahwa kemiskinan masih menjadi Pekerjaan Rumah (PR) di negeri ini. Gunung Kidul merupakan wilayah dengan salah satu tingkat kemiskinan tertinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta. 

Pada tradisi brandu ini, daging hewan ternak yang mati akan dijual dengan harga yang murah. Tentu saja hal ini menarik masyarakat disaat harga daging yang sangat mahal yang sulit untuk mereka beli. Sehingga tidak aneh kalo tradisi ini terulang, karena masyarakat butuh asupan protein untuk kebutuhan pangannya. 

Sudah menjadi kewajiban negara untuk mengurus urusan rakyatnya (riayatul suunil ummah) termasuknya di dalamnya menyediakan pangan dengan jumlah yang cukup dan kualitas yang baik sesuai dengan Undang-Undang Ketahanan Pangan. 

Negara dalam hal ini pemerintah wajib untuk membantu masyarakat yang sedang tertimpa musibah karena hewan ternaknya mati sehingga tidak perlu masyarakat melakukan tradisi brandu ini jika memang saudaranya sudah dibantu oleh pemerintah. 

Wallahu alam bi shawab.


Oleh: Mamay Maslahat, S.Si.,M.Si.
Akademisi
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar