Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Tirani Minoritas, Mengapa Umat Islam yang Dicap Intoleran?


Topswara.com -- Kabar tentang sulitnya izin dalam pembangunan mendirikan rumah ibadah memang sudah terjadi beberapa tahun belakangan. 

Persoalan ini mencuat kembali ke permukaan sehingga Kementrian Agama akan mempermudah pemberian izin aturan mendirikan rumah ibadah karena banyaknya penolakan tentang sulitnya mendirikan rumah ibadah. 

Bahkan terkait persoalan tersebut partai Perindo akan mendukung pemerintah dalam menyederhanakan izin mendirikan pembangunan rumah ibadah. 

Hal itu dilakukan guna mengurangi kasus sulitnya mendirikan rumah ibadah oleh penganut setiap agama. Ketua DPP partai Perindo dalam bidang keagamaan Abdul Kholik Ahmad menyebutkan: "penyederhanaan izin pembangunan rumah ibadah merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan itu adalah bentuk dari moderasi beragama" imbuhnya 

Menteri Agama Yaqut Kholil khoumas menyusun aturan terkait izin pendirian rumah ibadah. Dalam aturan tersebut untuk membangun rumah ibadah cukup dengan satu rekomendasi dari kementerian agama. 

Sementara dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Mentri dalam negeri dan menteri agama no 09 tahun 2006 yang berlaku saat ini berlaku, selain izin dari kemenag, dalam izin pembangunan rumah ibadah juga harus mengantongi rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

Menanggapi hal itu, MUI sendiri tidak sependapat dengan usulan menteri Agama Yaqut Kholil khoumas yang ingin menyederhanakan izin pembangunan rumah ibadah. Yaqut mengatakan bahwa dalam pembangunan rumah ibadah tidak perlu mengantongi izin dari kemenag tanpa perlu rekomendasi FKUB. 

Ketua MUI meminta peraturan bersama menteri Agama dan Mentri dalam negeri no 09 tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadah tidak perlu diganti dengan aturan baru. Tidak perlu ada aturan lain atau bahkan aturan yang akan mengganti PBM, peraturan Bersama Mentri (Rabu 7 Juni 2023).

Ketua MUI mengklaim aturan pembangunan rumah ibadah telah berlaku saat ini cukup efektif menjaga kerukunan antar umat beragama. Iya juga menilai FKUB yang sudah terbentuk di daerah seluruh Indonesia berhasil menjalankan fungsinya menjalankan aturan pendirian rumah ibadah tersebut. 

 Ketua MUI menyinggung persoalan tersebut di berbagai daerah terkait pembangunan rumah ibadah lantaran pihak pengusul belum memenuhi prosedur yang berlaku.

Senada dengan ketua MUI, wakil ketua MUI Anwar Abbas khawatir rencana tersebut justru memicu kegaduhan tindak kekerasan di tengah masyarakat. Anwar mengatakan selama ini majlis Agama-agama di Indonesia sudah membuat rambu-rambu supaya masyarakat bisa hidup dengan tenang. 

Bahkan ia khawatir jika Yaqut tetap bersikeras merevisi aturan pembangunan rumah ibadah akan terjadi malapetaka karena menafikan kesempatan yang sudah ada. 

Sepintas, sepertinya solusi, namun tidak bisa dipungkiri, aturan baru ini berpotensi menimbulkan konflik masyarakat setempat, bahkan dianggap menimbulkan kisruh. Sebut saja pendirian Gereja Yasmin yang berpolemik belasan tahun atau yang terbaru adalah pendirian gereja di Cilegon.

Ironisnya, dampak konflik pendirian rumah ibadat ini, sebagian pihak kerap menuduh umat Islam sebagai umat yang intoleran. Faktanya, justru umat Islam sendirilah yang sering menjadi korban perusakan rumah ibadah yang berada di wilayah minoritas. 

Polemik penolakan pendirian rumah ibadah semakin bergulir menimpa umat beragama dibanyak tempat Indonesia. Sepanjang 2020 (data dari Setara Institut terjadi 180 pelanggaran KKB (kebebasan Berkeyakinan dan Beragama) dengan 422 tindakan. 

Data lainnya mencatat ada 500-700 pengaduan terkait KBB (data Komnas HAM tahun 2020, 10-15 tahun). Peristiwa kasus terjadi karena persyaratan administrasi yang tidak memadai, IMB sering menjadi alasan untuk membentengi sikap intoleran. 

Itulah yang melatarbelakangi sebagian pihak untuk terus berusaha menggugat aturan pendirian rumah ibadat yang dianggap memicu konflik. Seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Anggota DPRD Kota Surabaya Josiah Michael, dan anggota Gereja Kristen Kemah Daud Bandarlampung.

Pada Maret 2023 lalu, mereka menggugat Peraturan Bersama Menteri (PBM) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9/2006 dan No. 8/2006 terkait Pendirian Rumah Ibadat.

PSI meminta penghapusan aturan terkait syarat memperoleh IMB rumah ibadat yang mewajibkan adanya rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagaimana termaktub dalam PBM. 

Menurut mereka, FKUB kerap menghambat pembangunan rumah ibadat, bahkan sering mengeluarkan rekomendasi penutupan rumah ibadat. Namun, gugatan tersebut telah ditolak oleh Mahkamah Agung (MA) pada 8 Juni 2023

Juru bicara Kemenag Anna Hasbie mengatakan, beberapa hal yang berubah dari PBM adalah pendirian rumah ibadat hanya cukup dengan satu rekomendasi dari kepala kantor Kemenag di daerah setempat. 

Alhasil, tidak perlu lagi ada rekomendasi dari FKUB. Ini karena mereka menganggap masih ada umat beragama yang kesulitan mendirikan rumah ibadat tersebab tidak mendapatkan rekomendasi dari FKUB.

Perubahan lainnya adalah syarat administrasi pendirian berupa 60 dukungan masyarakat dan 90 kartu identitas pengguna rumah ibadat. Menurutnya, hal ini akan lebih memudahkan sebab pemohon pendirian rumah ibadat kebanyakan kaum minoritas yang kesulitan jika harus memenuhi syarat itu.

Karena, PBM yang seharusnya menjadi solusi dalam pendirian rumah ibadah di Indonesia berubah menjadi akar masalah karena disalahgunakan. Untuk mencabut atau membatasi kebebasan beribadah masyarakat aturan 90-60 dalam PBM juga dinilai menyudutkan kaum minoritas. 

Ia juga berpendapat bahwa aturan yang termaktub dalam PBM sudah tidak sesuai dengan situasi sekarang. Pada intinya, semangat Perpres ini dimaksudkan untuk mempermudah pendirian rumah ibadat karena jika terlalu sulit bisa melanggar hak asasi manusia untuk beribadah.

Keputusan Kemenag ini menuai banyak kritikan. Bukannya menyelesaikan, justru Perpres tersebut dianggap makin memperuncing konflik kerukunan umat beragama. Menurut Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid, seharusnya Kemenag mempertimbangkan fakta sosial keagamaan yang merujuk pada data resmi yang dikeluarkan Kemenag sendiri. 

Jika alasan Kemenag mengubah aturan pendirian rumah ibadat karena terjadi diskriminasi mayoritas atas minoritas, semua itu tidak ada buktinya, alias opini yang dipropagandakan saja. Ini karena jumlah gereja di Indonesia justru meningkat pesat selama tiga tahun terakhir.

Berdasarkan data Kemenag, pada 2021, jumlah gereja sebesar 72.233 atau meningkat 23,46 persen dari 2019. Sementara itu, jumlah masjid pada 2021 meningkat hanya 1,97 persen dari 2019, yakni sebanyak 285.631. 

Jumlah umat Islam sangat besar, yaitu 86,93 persen dari penduduk Indonesia, tetapi jumlah masjid yang didirikan hanya 74 persen dari total rumah ibadat. Bandingkan dengan gereja, populasi umat Kristen hanya 10,55 persen, tetapi jumlah gereja jauh lebih besar, mencapai 22,28 persen dari jumlah total rumah ibadat. Artinya, jumlah gereja sudah melebihi kebutuhan jemaat. Di mana letak diskriminasinya?

Namun apa yang terjadi, umat Islam justru merasakan adanya diskriminasi dengan berbagai kebijakan, bahkan stigma negatif sering kali disematkan kepada kaum muslimin. Kita lihat bagaimana akhirnya kebijakan deradikalisasi dengan lantangnya menuding umat Islam sebagai kaum “radikal dan intoleran”. 

Diskriminasi dalam keadilan hukum. Masih tergambar di pelupuk mata bagaimana para ulama yang lantang menyuarakan kebenaran, malah dikriminalisasi dan dipersekusi. Sebagian ajaran Islam—seperti jihad dan khilafah—juga distigma sebagai perusak bangsa. Maka munculah kurikulum yang melarang pemberian pelajaran ini. 

Bukan hanya itu, masjid sebagai tempat umat Islam beribadah dan menimba ilmu, tidak luput dari stigma tersebut. Misalnya, larangan membicarakan politik di masjid, padahal politik adalah bagian dari ajaran Islam. 

Lalu sertifikasi para dai dan wacana penyeragaman teks khotbah Jumat yang pada akhirnya mengebiri ajaran Islam sebatas kepentingan penguasa. Bukankah ini sebaliknya? lalu siapa yang diskriminasi, umat Islam kah atau mereka?

Oleh karenanya, akar masalah semua konflik ini sejatinya lahir dari kegagalan negara dalam menyatukan rakyatnya yang berbeda agama dan keyakinan. 

Negara gagal menciptakan kerukunan antarumat beragama, bahkan kerukunan antarumat manusia. Negara demokrasi yang berasaskan sekularisme tidak akan pernah mampu menciptakan kerukunan antarumat beragama. 

Sudah wataknya jika sistem yang dibuat manusia pasti menimbulkan konflik, kekacauan karena manusia sebagai makhluk Allah bersifat terbatas akal dan kemampuannya. 

Oleh sebab itu, membuang sistem sekuler demokrasi, lalu menggantinya dengan sistem Islam, adalah solusi tuntas mengatasi konflik kerukunan umat beragama. Khilafah mempunyai mekanisme jitu dalam menjaga persatuan umat walaupun berbeda agama dan keyakinan. 

Prinsip Islam tentang toleransi dan ketegasan khilafah menjadikan kesatuan umat tanpa adanya konflik. Mengapa demikian, pertama, Islam adalah agama hak yang Allah taala turunkan untuk mengatur umat manusia. Penerapan seluruh aturannya tentu akan menciptakan kerukunan antarumat beragama. 

Syariat Islam diturunkan oleh Allah Swt. bukan untuk mengatur umat Islam saja, melainkan juga untuk seluruh umat manusia. Setiap warga, baik muslim ataupun nonmuslim, akan diperlakukan sama sebagai penduduk negara. 

Sehingga negara wajib memelihara mereka seluruhnya secara sama tanpa adanya diskriminasi. Dalam muamalah dan uqubat akan diterapkan pada muslim maupun non muslim. Pelaksanaan dan pembatalan muamalah yang diberlakukan pada non muslim sama persis dengan yang diberlakukan pada kaum muslim, tanpa adanya perbedaan dan diskriminasi diantara satu dengan yang lainnya. 

Hal itu karena semua orang memiliki kewarganegaraan meski beda agama, etnis dan madzhab, seluruhnya diseru oleh hukum syariat Islam dalam urusan muamalah dan uqubat. 

Mereka pun dibebani untuk mengikuti hukum dan beramal dengannya. Hanya saja, pembebanan terhadap mereka ditetapkan dari aspek perundang-umdangan bukan dari aspek spiritual keagamaan. 

Karena itu, mereka tidak boleh dipaksa meyakininya dan tidak boleh dipaksa untuk masuk Islam. Sebagaimana firman Allah dalam QS Al Baqarah ayat 256 "tidak ada paksaan untuk (memasuki)agama (Islam)".

Kedua, Islam memiliki aturan mengenai pembangunan rumah ibadat nonmuslim, yaitu hanya boleh dibangun di pemukiman mereka. Di pemukiman warga muslim, tidak boleh dibangun rumah ibadat, kecuali masjid. 

Hal ini merupakan penjagaan negara terhadap akidah umat sebab tempat peribadatan adalah sarana untuk syiar agama. Terkait hal ini, negara akan melarang semua aspek yang terkategori syiar agama nonmuslim di wilayah muslim.

Sudah jelas bahwa Peradaban Islam adalah satu-satunya yang mampu menciptakan keharmonisan antarumat beragama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. 

Bahkan, Karen Armstrong dalam bukunya, Jerusalem: One City, Three Faiths, mengakui betapa hebatnya Umar bin Khaththab ra. dalam menciptakan kerukunan umat beragama di Palestina. Maka satu satunya solusi adalah kembali dalam penerapan syariat Islam dalam naungan khilafah.

Wallahu alam Bi shawab.


Oleh: Elin Nurlina
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar