Topswara.com -- Papua, wilayah paling timur Indonesia. Sumberdayanya yang melimpah ruah, tidak membawanya pada kehidupan yang layak. Namun, justru keadaannya berbalik dengan kekayaan yang dimiliki. Kemiskinan dan keterbelakangan menjadi pemandangan sehari-hari.
Papua dalam Harapan Baru, Hanyalah Mimpi Semu
Taraf kemiskinan Papua diklaim turun selama 10 tahun terakhir. Hal ini diungkapkan oleh Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Theofransus Litaay (CNNIndonesia.com, 11/6/2023).
Theofransus untuk mengungkapkan bahwa pembangunan Papua yang dilakukan Presiden Joko Widodo "banyak membawa perubahan dan keberhasilan" di Papua.
Secara angka, memang betul terjadi penurunan angka kemiskinan di Papua. Data menunjukkan adanya penurunan, dari 28,17 persen pada Maret 2010 menjadi 26,56 persen pada tahun 2022 (CNNIndonesia.com, 11/6/2023).
Namun sayang, sesungguhnya data-data ini hanya menyisakan masalah besar yang kini terus bergejolak di Papua. Mulai dari pengerukan Freeport, masalah Kelompok Kriminal Bersenjata dan masalah-masalah lain yang belum juga menemukan solusi tuntas yang menyudahi semuanya.
Sayangnya angka-angka ini hanya sebatas pelipur lara. Apalagi data yang tersaji adalah data dalam kurun waktu 10 tahun. Seharusnya dalam jangka 10 tahun, dengan sumberdaya yang melimpah, kemajuan dan kemiskinan di Papua dapat tersolusikan dalam jangka waktu singkat. Namun ternyata, faktanya tidak demikian.
Kekayaan Papua begitu luar biasa. Akan tetapi, tidak mampu menjadikan masyarakat Papua berdikari dan tangguh secara ekonomi. Sistem kapitalisme yang liberal telah menciptakan buruknya pengelolaan sumberdaya Papua.
Sistem ini juga yang menciptakan terbentuknya "geng oligarkhi" yang merugikan rakyat. Salah satunya, blok Wabu yang kaya akan emas, menjadi incaran para oligarki. Diketahui bahwa Blok Wabu memiliki potensi dan luasan lebih besar daripada Freeport yang kini menjadi rebutan.
Segala trik dilakukan demi keuntungan materi yang menggiurkan. Tidak peduli lagi, kebijakan ini mensejahterakan atau justru menyengsarakan rakyat. Negara hanya sebatas regulator yang tak mampu berkutik di bawah ketiak oligarki.
Akhirnya, kesejahteraan rakyat yang jadi tumbal. Inilah gambaran buruknya pengelolaan ala kapitalisme liberalistik. Hanya melahirkan kerugian dan kezaliman bagi seluruh rakyat.
Papua dalam harapan baru, hanyalah impian semu yang mustahil terwujud dalam tata kelola kapitalisme yang batil. Selayaknya, sistem rusak ini segera dicampakkan kemudiannya menggantinya dengan sistem yang lebih adil dan menjamin kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Islam, Adil Mengelola Sumberdaya
Sistem Islam, satu-satunya sistem yang menjanjikan harapan pasti bangkitnya kesejahteraan rakyat. Karena sistem Islam memiliki konsep adil dalam pengaturan sumberdaya alam suatu negeri.
Paradigma Islam menetapkan bahwa semua sumberdaya alam yang dimiliki suatu negeri harus dikelola sepenuhnya bagi sebesar-besarnya kepentingan rakyat.
Rakyat dapat memperoleh hasilnya dengan cuma-cuma atau membayar sewajarnya atas pengelolaan yang dilakukan pihak negara. Segala hasil pengelolaan pun diperuntukkan demi memenuhi kebutuhan rakyat.
Sesuai dengan hadits Rasulullah SAW.,
"Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air dan api" (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Menyoal pengelolaan sumberdaya alam di Papua, konsep kepemilikan harta secara pribadi ataupun golongan, bertentangan dengan konsep Islam. Keberadaan oligarki sudah tentu sebagai hal yang tak menyajikan keadilan bagi rakyat.
Islam-lah satu-satunya konsep yang mampu menuntaskan segala masalah, termasuk kemiskinan di setiap wilayah kaum muslimin. Sistem yang menjadikan Al Qur'an dan As Sunnah sebagai sumber pengaturan.
Sistem Islam dalam wadah institusi yang khas dan amanah mengurusi rakyat. Yaitu institusi Khilafah manhaj An Nubuwwah. Dengannya, sejahtera tidak hanya sekedar mimpi. Seluruh lapisan maayarakat pun mampu tercukupi dan terjamin dalam memenuhi setiap kebutuhan.
Wallahu a'lam bisshawwab.
Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor
0 Komentar