Topswara.com -- Rasa cemas, kesepian, iri dengan teman-teman yang sudah menikah, dan desakan naluri kasih sayang, kerap menjadi alasan mengapa hidup sendiri merasa kurang bahagia. Membayangkan, coba bisa segera menikah, pasti lebih bahagia.
Tentu tidak salah harapan seperti itu. Sebab, pernikahan dititahkan Allah SWT. Menikah pun bukan dimaksudkan untuk membuat pelakunya menderita. Namun, banyak yang beranggapan bahwa pernikahan adalah akhir dari sebuah perjalanan hidup seseorang, di mana menikah akan membuat sirna semua persoalan hidupnya.
Sebagian besar para lajang begitu menggebu-gebu ingin segera menikah. Membayangkan pernikahan adalah solusi yang akan mengakhiri segala beban diri. Menikah diyakini akan membuat hidupnya bahagia yang sempurna.
Faktanya, menikah bukanlah akhir fase hidup kita sebagai seorang individu, tetapi justru awal dimulainya kehidupan baru yang tidak terduga. Bertubi-tubi persoalan rumah tangga akan mendera.
Jika hidup sebagai lajang persoalannya paling tidak hanya satu, yakni yang berkaitan dengan dirinya sendiri, maka ketika hidup berpasangan, tentu saja persoalannya menjadi double. Diri dan dia.
Bahkan bukan dua, tetapi tantangan dalam pernikahan sangat kompleks. Mertua, ipar, keluarga besar, tetangga, dan anak-anak, adalah sumber masalah baru. Masalah finansial, pekerjaan, komunikasi, manajemen emosi, pendidikan, kesehatan dan keharmonisan adalah juga tantangan baru.
Karena itu, salah besar jika menjadikan pernikahan sebagai sandaran akan solusi permasalahan kehidupan saat melajang.
Jujur, ini pikiran yang ada di benak kebanyakan perempuan ketika membayangkan pernikahan:
Pertama, dengan menikah akan terjamin nafkahnya dan bebas finansial.
Kedua, memiliki suami artinya memiliki sahabat dekat untuk berbagi suka dan duka.
Ketiga, hidup berpasangan akan penuh cinta karena romantisme setiap saat.
Keempat, hidup berdua dengan orang yang dicintai tidak akan lagi merasa kesepian.
Kelima, menikah berarti akan lebih bertakwa karena telah menggenapkan setengah agama.
Keenam, menikah akan menjadikan diri lebih salehah karena dididik dan dimotivasi suami.
Ketujuh, menikah dan punya anak akan sangat menyenangkan.
Kedelapan, menikah berarti akan bahagia seterusnya.
Betul begitu?
Nyatanya, pernikahan tidaklah seindah dongeng Cinderela (meminjam istilah Kang Iwan Januar). Ketika harapan tidak sesuai kenyataan, di situlah muncul persoalan. Ada rasa kecewa, hingga rasa menderita yang mendera.
Namun, bukan berarti pernikahan tidak bisa mewujudkan kebahagiaan seperti yang diharapkan. Sebagaimana diajarkan agama, menikah adalah untuk ibadah. Luruskan niat demi lillah.
Jangan jadikan pernikahan sebagai dermaga untuk melabuhkan segala persoalan hidup selama melajang. Jangan. Menikah adalah perahu baru untuk menempuh perjalanan lebih panjang dalam mengarungi kehidupan.
Oleh karena itu, jadikan pernikahan sebagai ladang perjuangan bersama pasangan untuk mencapai kebahagiaan bersama. Berangkat dari satu dermaga berupa akad mitsaqan ghalizan, supaya sampai ke dermaga baru berupa ridha Allah SWT.
Perahu pernikahan ini akan berlayar melalui satu jalur pelayaran yang tidak akan pernah mulus. Di tengah jalan ada gelombang. Di sanalah penghuni perahu dituntut untuk berjuang bersama agar tidak menyerah pada hantaman gelombang.
Keduanya harus kompak mengendalikan perahu agar tetap pada jalurnya. Jangan sampai ada salah satu pihak yang keluar jalur, melubangi perahu, atau malah sengaja mendatangi gelombang tinggi.
Demikianlah gambaran pernikahan yang seharusnya ada, sehingga kesiapan mental untuk menghadapi medan perjuangan baru dalam pernikahan sangat penting.
Oleh: Kholda Najiyah
Founder Komunitas Istri Strong
0 Komentar