Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Bukti Pendidikan Dikapitalisasi


Topswara.com -- Sungguh miris dengan apa yang terjadi di dunia pendidikan hari ini. Betapa tidak, banyak perguruaan tinggi yang tidak sesuai dengan standar pendidikan tinggi, hingga berbagai pelanggaran ditemukan di puluhan perguruan tinggi swasta. 

Inilah yang mendorong pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menjatuhkan sanksi ringan, sedang, hingga berat. Salah satunya pencabutan izin operasional perguruan tinggi.

Sebagaimana dikabarkan kompas.id (25/5/2023) bahwa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) mencabut izin operasional 23 perguruan tinggi. 

Lukman selaku Direktur Kelembagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Ditjen Diktiristek) Kemendikbud Ristek, mengatakan, pencabutan izin operasional tersebut dilakukan berdasarkan pengaduan masyarakat dan pemeriksaan tim evaluasi kinerja. 

Ia pun menyampaikan bahwa sanksi berupa pencabutan izin operasional dijatuhkan pada perguruan tinggi yang sudah tidak memenuhi ketentuan standar pendidikan tinggi. 

Tidak hanya itu, kampus-kampus tersebut juga terbukti melaksanakan praktik terlarang, seperti pembelajaran fiktif, jual beli ijazah, dan penyimpangan beasiswa KIP (Kartu Indonesia Pintar) Kuliah. Namun demikian Lukman pun memastikan, bahwa semua kampus yang dicabut izinnya adalah perguruan tinggi swasta (PTS).

Praktik pelanggaran yang terjadi di perguruan tinggi swasta seperti jual beli ijazah, jelas menciderai tujuan pendidikan itu sendiri. Satu sisi pendidikan bertujuan mewujudkan generasi bertakwa dan berakhlak mulia. 

Namun dengan banyaknya perguruan tinggi swasta yang melakukan praktik-praktik curang justru melahirkan generasi yang tidak berakhlak baik. Lantas kenapa hal ini terjadi?

Ijazah merupakan surat dokumen resmi yang menyatakan bahwa mahasiswa telah lulus pendidikan dari sebuah perguruan tinggi. Ijazah juga sebagai bukti pengakuan prestasi belajar atau penyelesaian suatu program studi terakreditasi yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Pada umumnya ijazah sarjana baru bisa didapatkan setelah menempuh pendidikan sepuluh semester atau kurang lebih empat sampai lima tahun. 

Dengan maraknya jula beli ijazah, maka dokumen penting ini mudah didapatkan dalam waktu singkat. Tentu saja hal ini diminati banyak orang karena dapat memiliki ijazah tanpa harus bersusah payah. 

Terlebih ijazah saat ini dijadikan sebagai syarat penting yang harus ada untuk menjadi tenaga pendidik atau bekerja di perusahaan, dan lain sebagainya. 

Ijazah juga memiliki daya tawar untuk menempati posisi atau jabatan tertentu, baik di instansi pemerintah maupun perusahaan swasta. Hingga wajar saja kebutuhan akan ijazah terus meningkat di saat jumlah angkatan kerja juga tinggi di setiap tahunnya. Kesempatan inilah yang dimanfaatkan perguruan tinggi swasta nakal yang ingin meraup cuan besar dalam waktu singkat.

Di sisi lain biaya pendidikan untuk menempuh perguruan tinggi juga demikian mahal. Baik perguruan tinggi negeri terlebih perguruan tinggi swasta. Meskipun pendidikan adalah hak setiap warga negara namun karena begitu mahalnya perguruan tinggi tidak semua rakyat mampu menempuh pendidikan sampai lulus sarjana. 

Ini semua buah dari penerapan sistem kapitalisme sekuler di negeri Indonesia. Pendidikan dalam kapitalisme hanya fokus pada pencapaian nilai materi dunia yang jauh dari nilai akhirat. Sebab dasar dari pendidikan kapitalisme memang memisahakan nilai-nilai agama dari kehidupan. 

Maka wajar melahirkan individu-individu yang bermental instan dan berwatak tidak jujur. Jual beli ijazah menjadi fakta yang tidak terbantahkan. Permintaan terhadap kepemilikan ijazah yang tinggi dari para angkatan kerja sekaligus tuntutan dunia usaha menjadi peluang bisnis yang menggiurkan bagi perguruan tinggi swasta.
 
Bukti kapitalisasi pendidikan juga tampak dari abainya pemerintah dalam menyediakan perguruan tinggi negeri. Penguasa hanya berperan sebagai jembatan penghubung antara pihak swasta sebagai pemilik modal dengan rakyat dalam penyelenggaraan pendidikan. 

Pihak swasta didorong untuk ikut berperan aktif mewujudkan sarana pendidikan mulai pendidikan tingkat menengah, atas, vokasi tak terkecuali tingkat perguruan tinggi. Akibatnya menjamurlah sekolah-sekolah swasta juga perguruan tinggi swasta. 

Padahal saat swasta menjadi pengendali dalam sektor apa pun termasuk pendidikan, maka orientasinya hanya pada keuntungan materi semata. Maka pantas saja jika biaya pendidikan begitu mahal.

Pendidikan dalam sistem kapitalisme sekuler jelas berbeda dengan pendidikan dalam sistem Islam. Negara dalam sistem Islam memiliki tanggung jawab penuh dalam penyelenggaraan pendidikan. Mulai dari pendidikan tingkat dasar sampai perguruan tinggi. 

Dalam Islam pendidikan adalah salah satu kebutuhan pokok rakyat yang wajib dijamin pemenuhannya oleh negara. Hal ini berdasarkan pada sabda Rasulullah SAW.: "Seorang imam (khalifah) adalah raa'in (pengurus) ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang dipimpinya."(HR. Bukhari) 

Saat pendidikan menjadi tanggung jawab penuh negara, maka pendidikan tinggi dalam pengaturan Islam pun akan terbebas dari praktik curang, seperti jual beli ijazah dan kuliah fiktif. Sebab pendidikan diselenggarakan secara gratis alias tidak perlu membayar untuk bisa kuliah.

Adapun pembiayaan untuk pelayanan pendidikan gratis, maka dianggarkan dari pendapatan Baitulmaal. Terdapat dua pos pendapatan yang dapat digunakan yaitu: pertama dari pendapatan kepemilikan negara seperti fa'i, kharaj, ghanimah, khumuûs (seperlima harta rampasan perang), jizyah dan dharîbah (pajak). Kedua pos kepemilikan umum seperti tambang minyak, gas, hutan, laut, dan hima (kepemilikan umum yang penggunaannya telah dikhususkan). 

Selain itu, untuk mewujudkan pendidikan gratis ini, negara pun akan dibantu individu rakyat yang kaya hingga turut mendukung pembiayaan pendidikan dengan memberikan wakaf. 

Walhasil, dalam sejarah Islam pun telah mencatat kebijakan para khalifah yang menyediakan pendidikan gratis bagi rakyatnya. Sejak abad IV H para khalifah membangun berbagai perguruan tinggi dan disediakan berbagai sarana dan prasarana seperti perpustakaan. 

Setiap perguruan tinggi itu dilengkapi dengan auditorium, asrama mahasiswa, juga perumahan dosen dan ulama. Selain itu, perguruan tinggi tersebut juga dilengkapi taman rekreasi, kamar mandi, dapur, dan ruang makan (Khalid, 1994).

Di samping itu, tujuan utama sistem pendidikan tinggi dalam Islam adalah membentuk kepribadian Islam. Dengan demikian mahasiswa dibentuk untuk menjadi pemimpin yang menjaga dan memperjuangkan kepentingan umat dalam koridor penerapan hukum Islam secara kaffah dan mendakwahkan Islam ke seluruh penjuru dunia, serta menghadapi ancaman persatuan umat.

Dengan demikian, perguruan tinggi akan menghasilkan profil sarjana yang memiliki kemampuan sebagai mujtahid, pemimpin, intelektual, hakim, dan ahli hukum (fukaha). Mereka akan memimpin umat untuk mengimplementasikan, memelihara, dan membawa Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.

Perguruan tinggi juga menghasilkan para lulusan yang mampu melayani kepentingan umat dan membuat gambaran rencana strategis jangka pendek dan jangka panjang. 

Pendidikan dalam Islam akan mencetak output pendidikan tinggi yang cerdas, bertakwa, dan turut memberikan sumbangsih bagi peradaban Islam, baik dengan menjadi ulama, politisi, sains, maupun yang lainnya. Dengan penerapan aturan Islam secara kaffah pendidikan dapat diraih dengan murah tanpa adanya kapitalisasi.
 
Wallahu alam bi ash-shawwab.


Oleh: Siti Aisyah
Penulis dan Member Komunitas Rindu Surga
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar