Topswara.com -- Dunia makin modern. Teknologi makin canggih. Sarana makin mudah. Manusia makin eksis. Tapi mengapa bahagia kian menjauh?
Inilah paradoks kehidupan. Telah terjadi hukum berkebalikan. Tingkat kepuasan makin rendah. Tingkat kebahagiaan makin berkurang. Stres meningkat. Depresi menjadi-jadi. Mental illness menjangkiti.
Data menyebut, depresi melejit tinggi 30 tahun terakhir ini. *Bukan karena krisis materi. Sebab setiap orang punya gadget. Setiap rumah bertivi layar datar. Setiap detik bisa belanja barang yang disuka. Setiap garasi terparkir kendaraan. Tapi, krisis eksistensi.
Ketika jutaan orang membagikan pengalaman baiknya di media sosial setiap detik, jutaan orang lainnya tiba-tiba merasa menjadi orang paling buruk di dunia. Gusar, tertekan, kecewa dan membenci diri sendiri. Alam bawah sadar berbisik, mengapa aku tak sebaik mereka? Kita semua depresi massal.
Akui saja. Gelombang tayangan berisi "bagaimana menjadi bahagia" itu nyatanya malah tidak membuat bahagia. Sebab, semakin kuat hasrat untuk menjadi "orang paling bahagia", membuat diri merasa sama sekali tidak bahagia.
Era digital saat ini telah memerangkap manusia pada budaya eksistensi. Mati-matian mewujudkan harapan-harapan positif yang terkadang mustahil diwujudkan. Merasa harus lebih bahagia. Menjadi lebih hebat. Menjadi lebih kaya. Menjadi lebih populer. Menjadi lebih sempurna. Dst.
Budaya konsumerisme dan media sosial yang giat sebagai "ajang pamer," telah melahirkan generasi manusia yang percaya bahwa pengalaman positif itu jika outfit of the day-mu keluaran terbaru. Kulinermu ala kafe. Tungganganmu cukup mewah. Interiormu minimalis dan piknikmu jauh.
Tanpa semua itu, manusia merasa diri negatif. "Aku mah apaan atuh." Lalu terpuruk di sudut. Merutuki nasib. Merasa orang paling malang sedunia. Lalu sibuk mengejar fatamorgana "aku pun bisa hebat," sebagaimana seruan-seruan para motivator kehidupan.
Terjadilah penerimaan negatif terhadap diri sendiri. Menolak pengalaman negatif. Padahal, menerima pengalaman negatif, sesungguhnya adalah pengalaman positif. Bahkan, pengalaman negatif itu, boleh jadi adalah satu titik balik untuk mencapai keberhasilan yang positif.
Contoh, semakin kita mati-matian berusaha ingin kaya, semakin kita merasa sangat miskin dan tidak bersyukur. Semakin mati-matian ingin tampil menawan, semakin diri merasa tidak menawan. Lalu perlu mencari barang-barang pendukung penampilan yang harus ditebus mahal.
Padahal, kunci bahagia justru terletak pada pengakuan jujur dan tulus pada kemampuan diri sendiri, terutama tentang hal-hal paling buruk yang pernah dialami. Misal, ketika saya stres dan saya mengakui dan sadar bahwa saya stres, itu lebih melegakan. Daripada saya stres dan menolak mengakuinya lalu berpura-pura sedang baik-baik saja.
Terkadang, satu pengalaman negatif dalam hidup kita, adalah justru pengalaman terbaik sepanjang usia. Misal, orang yang terjerat riba dan stres dikejar cicilan, membuatnya hijrah meninggalkan riba. Seorang ibu yang kehilangan anaknya, menjadi ibu yang lebih penyayang pada anak-anaknya.
Jadi, menerima penderitaan sesungguhnya lebih membahagiakan. Sebab, upaya untuk menghindari penderitaan, sesungguhnya adalah bentuk penderitaan. Bahkan jauh lebih menderita dari penderitaan itu sendiri.
Contoh, ketika kita miskin lalu pura-pura kaya, itu jauh lebih menderita dibanding kita menikmati dan mensyukuri kemiskinan itu sendiri. Tentunya sambil berikhtiar keluar dari kemiskinan, tetapi juga tidak mati-matian mengejar kekayaan hingga merasa tak punya apa-apa.
Jadi, kalau hari ini kita merasa paling menderita sedunia, terimalah. Sia-sia upaya menolak penderitaan, karena ia hadir bersama kehidupan. Dan bahagia hanya bersanding di ujung penderitaan.(*)
Oleh: Kholda Najiyah
Founder Salehah Institute
Sumber inspirasi: "Seni Bersikap Bodo Amat", buku best seller internasional karya Mark Manson. Blogger dengan dua juta viewer setiap bulannya.
0 Komentar