Topswara.com -- Lingkungan pendidikan kembali menjadi sorotan publik. Hal ini dikarenakan kasus bullying atau biasa disebut perundungan kembali terjadi di lingkungan Sekolah Dasar. Sungguh Ironis lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi tempat untuk mengenyam pendidikan justru menjelma menjadi tempat menakutkan.
Kali ini bullying terjadi di salah satu Sekolah Dasar yang terdapat di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi Jawa Barat, bocah laki-laki MHD (9) kelas dua SD tewas akibat dikeroyok kakak kelasnya. (Kompas.com, 20/05/2023)
Tampaknya kasus di atas seperti gunung es di antara sekian banyak kasus. Tercatat sejak tahun 2018 Indonesia menempati posisi kelima tertinggi dari 78 negara sebagai negara yang paling banyak kasus bullying di lingkungan sekolah.
Sementara itu data riset yang pernah dirilis oleh Programme for Internastional Student Assesment (PISA) pada tahun 2018 menunjukkan bahwa sebanyak 41,1 persen siswa di Indonesia mengaku pernah mengalami bullying. (Kompas.com, 25/11/2022).
Dari data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2022 terdapat lebih dari 226 kasus kekerasan fisik dan psikis dimanah jumlahnya terus meningkat hingga saat ini.
Perilaku bullying sendiri merupakan perbuatan yang menyakiti seseorang atau sekelompok orang baik bentuk kekerasan fisik, verbal ataupun psikologis.
Seperti diketahui, bullying dapat meninggalkan efek traumatis pada korban.
Dari beberapa kasus yang terungkap korban bullying tidak hanya mengalami kekerasan verbal tetapi juga mengalami kekerasan fisik hingga harus mendapatkan penanganan medis yang cukup serius bahkan sampai menelan korban jiwa. Tentunya hal ini menjadi warning bagi semua pihak. Baik pihak sekolah, keluarga maupun negara.
Penyebab timbulnya perilaku kekerasan atau bullying pada masa anak-anak ditengarai beberapa faktor, antara lain, kurikulum pendidikan sekuler, pola asuh yang salah, lingkungan masyarakat individualis serta tontonan.
Fakta berbicara bahwa kurikulum pendidikan sekuler saat ini hanya berorientasi pada pencapaian nilai akademik semata tanpa memperhatikan pendidikan moral ataupun akhlak sehingga perilaku anak-anak bergeser jauh dari norma-norma agama.
Pola asuh orang tua, tanpa disadari korban maupun pelaku bullying merupakan output dari pola asuh yang salah. Jika pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anak seperti memaksa anak, tidak peduli dengan segala urusan anak, mengharuskan anak melakukan sesuatu di luar kemampuan, dan terlalu memanjakan anak, maka hal tersebut akan membentuk karakter anak menjadi berkuasa, menentang, pemurung, sulit mengendalikan emosi, sehingga berpotensi membentuk anak-anak berjiwa kriminal (penjahat) atau mengarah kepada perilaku bullying.
Berkaitan dengan tontonan, negara seharusnya hadir mengendalikan media untuk mencegah tayangan-tayangan negatif yang berpotensi membentuk perilaku buruk terhadap generasi.
Lepasnya kontrol negara terhadap siaran televisi ataupun media lainnya akibat di privasi oleh swasta akibatnya swasta menyediakan tontonan yang cenderung mengandung konten yang berdampak buruk terhadap perilaku anak-anak.
Selain itu lingkungan masyarakat individualistis yang melahirkan sikap empati dan tidak peduli terhadap sesama justru menghilangkan peran masyarakat sebagai kontrol sosial.
Berbeda dengan Islam, keluarga merupakan tempat pertama pembentukan generasi melalui kedua orang tuanya. Sehingga keluarga memiliki peran yang sangat penting dan strategis yaitu sebagai tempat penanaman akidah dan syariat sehingga generasi muslim tumbuh sesuai dengan tatanan yang diturunkan oleh Allah SWT yakni generasi taqwa.
Anak-anak adalah aset penerus bangsa, aset berharga dan pilar bangkitnya peradaban Islam. Penting bagi orang tua memahami dengan tepat dan benar cara mendidik anak agar kelak menjadi hamba yang senantiasa taat kepada Allah dan Rasulnya. Tentunya tugas ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa dukungan sistem yang baik.
Pendidikan dalam Islam berorientasi memberikan hak pendidikan pada generasi, meriayah dan memperhatikan aspek mendasar pembentukan kepribadian generasi.
Negara akan menyediakan fasilitas dan infrastruktur pendidikan memadai, memberlakukan kurikulum berbasis akidah Islam, dan mencetak guru yang berkualitas serta berkepribadian Islam.
Islam memiliki mekanisme komprehensif dalam membangun kepribadian rakyatnya pada semua lapisan usia sehingga terwujud individu beriman, berakhlak mulia dan terampil yakni:
Pertama, negara menerapkan kurikulum berbasis akidah Islam. Dimanah pendidikan dalam Islam bertujuan untuk membentuk kepribadian Islam yakni pola pikir dan pola sikap sesuai tuntunan Islam.
Kedua, menerapkan sistem sosial sesuai syariat Islam.
Ketiga, membiasakan suasana amar makruf nahi mungkar dalam kehidupan bermasyarakat sehingga terdorong berbuat baik dan terhindar dari kemaksiatan.
Keempat, menerapkan sistem sangsi, Islam menjadikan keimanan sebagai landasan dalam setiap perbuatan, sehingga menjadi benteng dari perilaku jahat ataupun sadis.
Wallahu alam bisshawab
Oleh: Nahwati, S.IP
Pegiat Literasi
0 Komentar