Topswara.com -- Belum lama ini, Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah masa jabatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang semula empat tahun menjadi lima tahun. Putusan MK ini pun sontak mendapat kritikan dari beberapa pihak.
Mulai dari aktivis anti korupsi, mantan penyidik KPK, hingga anggota DPR. Dari Peneliti Pusat Studi Anti-Korupsi (Saksi) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah, menilai putusan MK tersebut tidak masuk akal.
Ia juga berpendapat bahwasanya argumentasi lima hakim konstitusi yang mengabulkan permohonan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, lemah dan menyimpang dari dua pasal dalam Undang-Undang KPK yang mengatur syarat batas usia calon pimpinan KPK dan periodisasi pimpinan KPK. (CNN Indonesia, 26/5/2023)
Kontroversi keputusan MK tentang perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK cukup menyedot perhatian. Apalagi di tengah isu gratifikasi seks yang menyeret Ketua KPK Firli Bahuri. Hal ini menunjukkan adanya indikasi upaya penyelamatan melalui perpanjangan masa jabatan.
Belum lagi perpanjangan masa jabatan menjadi lima tahun, yang disinyalir agar pemerintah diawasi oleh dua periode KPK sebagai bentuk check and balance. Selain itu alasan perpanjangan masa jabatan karena dinilai diskriminatif, dimana lembaga tinggi lainnya masa kerjanya adalah lima tahun. Tentu semakin menguatkan indikasi dan dugaan ada apa dibalik semua itu?
Inilah gambaran fakta yang ada dalam sistem demokrasi. Sistem ini menjadikan jabatan pimpinan hanya sebatas kekuasaan. Lebih dari itu jabatan atau kekuasaan seringkali tersandera oleh kepentingan tertentu, bahkan tidak sedikit yang digunakan untuk melindungi tindak kejahatan.
Alhasil, kekuasaan dalam sistem demokrasi kerap dijadikan sarana pemenuhan syahwat kekuasaan dan mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya, bukan untuk melayani kepentingan rakyat. Sebagaimana janji manis kampanye ketika pemilu.
Para calon begitu antusias berlomba memenangkan hati rakyat dengan berbagai iming-iming yang menggiurkan demi meraup suara. Karena jabatan dinyatakan legal ketika para calon penguasa mendapatkan suara mayoritas.
Berbeda dengan sistem pemerintahan Islam. Dalam sistem ini jabatan adalah amanah yang akan diminta pertanggungjawaban kelak di akhirat. Bukan untuk mengumpulkan materi apalagi sebatas kekuasaan. Cara memandang politik juga berbeda.
Islam memaknai politik adalah mengurusi urusan umat dengan ketentuan-ketentuan syariat. Maka jabatan murni digunakan untuk melayani kepentingan rakyat dengan memenuhi hak-haknya.
Dengan kata lain, kekuasaan dalam Islam tak bisa lepas dari akidah dan syariat. Lebih dari itu, kekuasaan juga dipandang sebagai metode untuk menerapkan syariat Allah, bukan sebagai hal yang diperebutkan, bahkan dikatakan sebagai kehinaan.
Sebab ketika seseorang telah diangkat sebagai pemimpin kaum Muslim, sementara ia tidak mampu menjalankan amanah tersebut, atau berbuat kecurangan maka ia harus mempertanggungjawabkan di akhirat kelak. Maka amanah kekuasan tidaklah main-main, tetapi amanah yang cukup berat.
Pemimpin dalam Islam tidak akan mudah tergiur oleh iming-iming duniawi untuk memanfaatkan jabatan terlebih untuk menipu rakyatnya demi kepentingan pribadi. Oleh karenanya, kekuasaan dalam Islam akan dipegang oleh orang yang kompeten, ahli di bidangnya, dan sosok negarawan.
Adapun secara mekanismenya, negara Islam akan melakukan beberapa hal agar pegawainya tidak melakukan kecurangan dan keculasan. Di antaranya, negara akan memberikan jaminan tercukupinya kebutuhan pokok mereka secara tidak langsung dan kebutuhan dasar publik secara langsung seperti kesehatan, pendidikan juga keamanan.
Selain itu, negara juga akan melakukan monitoring jumlah kekayaan pejabat, agar dapat menindak dengan cepat dan tegas jika ada harta pejabat yang dinilai tidak wajar.
Dalam negara Islam juga ada mekanisme muhasabah atau mengoreksi penguasa atau pejabat negara yang dilakukan oleh setiap Muslim. Hal itu adalah sebagai perwujudan dari perintah amar makruf nahi mungkar agar individu, masyarakat dan negara memiliki kesadaran politik yang shahih (benar) sehingga dapat menjalankan syariat-Nya dengan baik.
Demikianlah Islam dalam memandang amanah kekuasaan. Bukan sebagai sarana untuk mencari kepuasan duniawi, akan tetapi sarana untuk meraih pahala dan perwujudan ketaatannya kepada Allah Swt. sebagai Sang Pencipta dan Pengatur. Juga dengan penerapan syariat Islam yang sempurna sebagai rahmat bagi semesta alam, yang dengannya akan tercipta kehidupan yang aman dan sejahtera.
Wallahu a'lam bi ash-ahawab.
Oleh: Sri Murwati
Komunitas Rindu Surga dan Pegiat Dakwah
0 Komentar