Topswara.com -- Dalam sepuluh tahun terakhir, pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta menggencarkan penerapan Pendidikan Berbasis Budaya untuk jenjang PAUD/TK hingga SMA.
Pemda telah menerbitkan Perda No 5 Tahun 2011 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Budaya dan Pergub No 66 Tahun 2013 tentang Kurikulum Pendidikan Berbasis Budaya.
Pendidikan berbasis budaya yang dimaksud adalah pendidikan yang diselenggarakan untuk memenuhi standar nasional pendidikan yang diperkaya dengan keunggulan komparatif dan kompetitif berdasar nilai-nilai luhur budaya agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi diri sehingga menjadi manusia yang unggul, cerdas, visioner, peka terhadap lingkungan dan keberagaman budaya, serta tanggap terhadap perkembangan dunia.
Terlebih mengingat maraknya kasus kejahatan jalanan yang dilakukan oleh remaja (klithih) beberapa waktu ini, membuat prihatin banyak pihak. Berbagai elemen masyarakat, dan pemerintahan berusaha untuk memberikan solusi atas permasalahan sosial ini.
Maka di antara solusi yang ditempuh adalah wacana menerapkan pendidikan khas kejogjaan. Karena ada kecenderungan generasi muda DIY kurang memahami tentang sejarah, budaya, adat istiadat yang hidup dan berkembang di DIY, hal ini membuat mereka kerap terlibat dalam kenakalan remaja, kriminalitas jalanan, sehingga diperlukan langkah untuk membumikan kembali nilai-nilai luhur budaya jogja. Hal tersebut diungkapkan oleh Dr. Raden Stevanus, anggota dewan DPRD Komisi D.
Pendidikan khas kejogjaan ini merupakan inisiasi Dewan Pendidikan DIY bersama Dinas Pendidikan Pemuda & Olah Raga (Disdikpora) DIY. Pendidikan Khas Kejogjaan bertujuan mewujudkan peradaban baru yang unggul untuk menghasilkan manusia Indonesia, khususnya Yogyakarta, yang utama (jalma kang utama), yaitu manusia yang taat kepada Tuhan yang Maha Esa, menjunjung tinggi rasa kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, rasa keadilan, merdeka lahir-batin serta selalu menumbuhkan keselarasan (harmoni) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (Hari Dendi, Dewan Pendidikan DIY, 2019).
Pada tahapan pertama adalah untuk Bahasa Jawa dan seni budaya. Konteks yang dibawa adalah budaya Jogja. Budaya Jogja mewarnai soft skill, sopan santun anak-anak misalnya, sopan santun nuansa Jogja adalah dengan menghormati orang lain dengan ngapurancang.
Selain itu juga karakter jujur, bertanggung jawab, karakter menghargai orang lain yang ingin juga ditanamkan melalui penanaman budaya Jogja.
Hal ini tak dipungkiri karena Yogyakarta memiliki kearifan lokal yang mendukung program tersebut. Kearifan lokal ini bisa dikelompokkan dalam dua hal yaitu nilai-nilai filosofi (Core-Beliefs) dan nilai-nilai budaya (Core-Values).
Konsep Pendidikan Kejogjaan
Penerapan pendidikan khas kejogjaan memiliki modal awal dan utama, yakni realitas kebudayaan yang hadir di Yogyakarta sebagai suatu kebudayaan yang hidup (living culture) dan berkembang dari dulu, kini, nanti.
Kebudayaan itu didukung oleh sinergi tiga aktor utama (3K), yaitu “Kraton/Kaprajan, Kampus, dan Kampung”, layaknya sebuah bangun Triple-Helix model Yogyakarta. Ketiga aktor itu kemudian menjadi pilar penyangga utama pendidikan khas Kejogjaan.
Program ini digadang-gadang menjadi solusi bagi kenakalan remaja di DIY. Tak heran jika berbagai pihak mendukungnya. Seperti dukungan dari anggota dewan DPRD DIY Komisi D, Dr. Raden Stevanus C. Handoko S.Kom., M.M., ia menanggapi atas rencana implementasi grand design Pendidikan khas kejogjaan di DIY.
Ia sangat mendukung dan mengapresiasi langkah yang akan dilakukan pemerintah daerah. “Secara regulasi terkait dengan grand design Pendidikan khas kejogjaan sudah selaras dengan Perda yang dimiliki oleh DIY yaitu Perda tentang tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Budaya”, ujar Dr. Raden Stevanus.
Termasuk dukungan dari Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, beliau sangat mendukung program ini. Terlebih secara umum, konsep-konsep yang tertuang dalam pendidikan khas kejogjaan ini merupakan bagian dari implementasi orasi ilmiah yang disampaikan Gubernur DIY pada tahun 2019 lalu, ketika menerima anugerah kehormatan Doktor Honoris Causa (Dr. Hc.) bidang Manajemen Pendidikan Karater Berbasis Budaya dari UNY.
Menurut Kepala Dikpora DIY, Didik Wardaya penerapan pendidikan khas kejogjaan ini akan diuji coba pada Juni dan Juli 2023 mendatang dan diharapkan sudah bisa terimplementasi pada Januari 2024 di seluruh jenjang pendidikan di DIY, mulai dari PAUD hingga perguruan tinggi.
Terintegrasi dengan mata pelajaran terkait, sebagai tahap awal, pendidikan khas kejogjaan ini akan diintegrasikan dengan mata pelajaran bahasa Jawa dan seni budaya.
Didik mengatakan, terkait penerapan pendidikan khas kejogjaan ini, beberapa sekolah akan dipilih untuk menjadi pilot project. Terutama bagi sekolah yang lebih dahulu telah menerapkan pendidikan berbasis budaya.
Saat ini, menurut Didik, ada sekitar 25 SMA/SMK/Sederajat yang telah menerapkan pendidikan berbasis budaya, sehingga penerapan pendidikan khas kejogjaan hanya perlu ditambahkan.
Mampukah Menjadi Solusi Tuntas Kejahatan Jalanan pada Remaja?
Jika mencermati kasus kejahatan jalanan pada remaja yang terjadi berulang dan tak hanya di satu wilayah, tentu cara pandang terkait akar masalah tak hanya dilihat pada satu aspek yaitu budaya. Kalau pun budaya yang ada dianggap mampu membuat manusia lebih beradab, namun itu hanya salah satu faktor saja.
Jika ada yang mengatakan budaya ketimuran jauh lebih baik dari budaya Barat yang cenderung bebas, namun mampukah budaya ketimuran menjaga seseorang untuk terus berperilaku baik? Tidak selalu.
Mengapa? Karena tidak sedikit orang yang memegang adat ketimuran tetap bisa terpengaruh perilaku yang tidak pantas, karena penyimpangan terhadap budaya tidak ada konsekuensi akhirat, dosa misalnya.
Namun lebih kepada sanksi sosial. Hal ini menunjukkan posisi budaya tidaklah bisa dipakai sebagai penjaga perilaku seseorang, tapi iman dan takwalah yang mampu menjaga perilaku seseorang.
Begitu pula ketika memandang kejahatan jalanan pada remaja, apakah hanya karena mereka meninggalkan budaya Jawanya? Tentu tidak. Hal ini harus dilihat secara komprehensif atau menyeluruh.
Ditinggalkannya budaya Jawa hanya salah satu faktor saja, faktor mendasar adalah tercerabutnya pemikiran bahwa mereka sebagai makhluk yang nanti akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan pencipta-Nya. Sehingga tidak ada lagi rasa malu dan takut saat melakukan kejahatan.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena kita berada di tengah corak kehidupan sekuler liberal, di mana ia menjauhkan agama dari kehidupan manusia.
Walhasil, manusia bertingkah laku berdasarkan nafsunya semata. Maka solusi yang diambil dengan membumikan budaya Jawa (budaya Jogja misalnya), hakikatnya adalah solusi yang bersifat parsial. Yang belum mampu menyelesaikan hingga ke akar masalahnya.
Kejahatan Jalanan dan Kehidupan Sekuler Liberal
Konsekuensi dari kehidupan sekuler adalah liberalisme, yaitu pemahaman yang membebaskan tingkah laku manusia. Manusia dianggap mampu menyelesaikan seluruh urusannya tanpa bantuan Sang Pencipta.
Padahal, akal manusia lemah dan terbatas yang jika dibiarkan tanpa bimbingan wahyu akan mengantarkan pada kerusakan. Inilah pangkal malapetaka umat manusia saat ini.
Sistem ini pun tidak ada dengan sendirinya. Kepemimpinan peradaban Baratlah yang telah sengaja mengembuskannya ke seluruh penjuru dunia, terlebih ke negeri-negeri Muslim agar umatnya meninggalkan agamanya.
Inilah yang kini sukses menginjeksi pemikiran umat manusia, termasuk generasi muda untuk hidup semaunya dan tidak acuh pada agamanya. Tidak heran jika akhirnya kita melihat kejahatan jalanan merebak di mana-mana. Karena hal tersebut dipicu oleh beberapa faktor:
Pertama, faktor keluarga yang absen dari pengasuhan. Akibat agama dijauhkan dari kehidupan, ayah dan Ibu membangun keluarga tidak berlandaskan iman dan takwa.
Banyak dari ayah ibu yang tidak memahami bahwa anak adalah amanah yang harus dijaga. Mereka dengan mudahnya menyerahkan pengasuhan pada pihak lain dengan alasan sibuk bekerja. Berakibat anak kurang kasih sayang dan perhatian.
Anak-anak pun menjadi bebal dan keras hatinya karena merasa tidak diakui keberadaannya. Bukankah ini semua dapat menyuburkan kenakalan remaja? Terlebih anak laki-laki yang kerap menjelma menjadi manusia beringas yang tega menganiaya sesama.
Kedua, faktor sekolah dalam sistem pendidikan sekuler. Sistem pendidikan sekuler yang mendewakan kebebasan ini makin menyingkirkan peran agama dalam kehidupan.
Hal ini berakibat mereka tidak bisa membedakan mana perilaku yang benar dan yang salah, karena gagasan liberal membebaskan mereka untuk berbuat sesuka mereka dan mengejar apa pun yang mereka mau. Ajaran “kebebasan yang bertanggung jawab” hanya menjadi slogan yang menyesatkan.
Ketiga, faktor negara. Negara gagal memberikan rasa aman karena sanksi yang diberikan tidaklah menjerakan. Selain gagal menghadirkan rasa aman, negara sekuler juga gagal menjaga generasi dari buruknya berbagai tayangan di media.
Negara seolah bertekuk lutut di bawah kaki korporasi media yang acapkali menayangkan visual sampah dan mempropagandakan kebebasan berperilaku. Jadilah generasi mudah sekali terpapar pornografi dan tayangan kekerasan. Ini pulalah yang turut menyuburkan tindakan kriminal.
Sistem Pendidikan Islam Menyelamatkan Generasi
Sistem pendidikan Islam merupakan sistem yang terstruktur dan komprehensif yang membawa peserta didik menjadi manusia yang setidaknya memiliki tiga kompetensi sekaligus.
Pertama, berkepribadian Islam yang tampak pada cara berpikir dan perilakunya yang berdasarkan ajaran Islam. Kedua, menguasai tsaqafah Islam, di antaranya kemampuan dalam membaca Al-Qur’an dan memahami fikih. Ketiga, menguasai ilmu kehidupan, seperti sains dan teknologi.
Maka sebagai muslim sudah selayaknya menjadikan sistem pendidikan Islam sebagai solusi tuntas atas persoalan generasi hari ini, termasuk kejahatan jalanan pada remaja. Karena sistem pendidikan Islam adalah satu-satunya ruang yang dipenuhi keselamatan dari berbagai perbuatan maksiat atau dosa besar, di samping berlimpahnya kelembutan dan kasih sayang.
Ini karena adanya sejumlah karakter istimewa yang menyatu dengannya.
Pertama, karakter sistem pendidikan Islam sebagai satu kesatuan dengan seluruh sistem Islam, yakni sebagai petunjuk agar manusia selamat dari perbuatan dosa, di samping bersifat pembawa rahmat.
Penerapan sistem pendidikan Islam menjadikan satuan pendidikan steril dari nilai materi dan penuh dengan nilai spiritual, moral, dan kemanusiaan. Ini adalah kunci rahasia terwujudnya lingkungan pendidikan yang aman, nyaman, terhormat, dan bermartabat bagi keberlangsungan proses belajar-mengajar.
Kedua, sifat tujuan utama keberadaan masyarakat Islam yang menerapkan secara praktis sistem pendidikan Islam akan menjadikan lingkungan pendidikan terliputi berbagai tujuan mulia, yakni terjaganya kelestarian ras manusia, akal, dan kemuliaan jiwa manusia.
Islam tidak menoleransi pelanggaran syariat sekecil apa pun dengan penegakan sanksi sesuai syariat. Sanksi ini bersifat berefek jera bagi pelakunya dan pencegah orang lain melakukan tindakan kriminal yang sama.
Ketiga, aspek ruhiyah—kesadaran hubungan dengan Allah Taala—senantiasa hadir di segenap aktivitas dalam satuan pendidikan. Atmosfer ketakwaan pun begitu dominan melingkupi lingkungan pendidikan.
Keempat, penerapan secara praktis aturan syariat terkait interaksi laki-laki dan perempuan di satuan pendidikan. Misalnya, pemisahan murid laki-laki dan perempuan, serta ketentuan lain yang secara praktis mencegah terjadinya suasana kerendahan perilaku dan penyimpangan hukum syariat. ” … (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah: 50).
Inilah karakter istimewa sistem pendidikan Islam yang akan mampu menyelamatkan generasi dari rusaknya pemikiran sekuler. Sistem pendidikan Islam hanya bisa diterapkan pada negara yang menerapkan Islam secara kaffah.
Oleh: Sari Diah Hastuti
(Aktivis Muslimah DIY)
0 Komentar