Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Mampukah Negara Sekuler Memberantas Kejahatan Seksual?


Topswara.com -- Jenis kekerasan seksual terhadap anak dengan berbagai motif pencabulan makin marak diberitakan. Pelaku dari orang terdekat sampai orang tidak dikenal. Puluhan anak jadi korban di sekolah, rumah ibadah, hingga di halaman rumahnya sendiri.

Bahkan yang memilukan, seorang remaja berinisial RO, 16 tahun, di perkosa oleh 11 pria mulai dari kepala desa, guru, hingga anggota kepolisian, kasus ini terjadi di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah (iNews.id, 30/05/2023).

Mirisnya, para pelaku yang seharusnya mengayomi masyarakat justru menjadi pelaku perbuatan biadab. Akibat pemerkosaan tersebut RO mengalami infeksi akut pada organ reproduksi dan bahkan rahimnya terancam di angkat. 

Dengan begitu banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyatakan Indonesia darurat kekerasan seksual terhadap anak. Berdasarkan data Kemen PPPA, pada 2022, kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia mencapai 9.588 kasus, meningkat drastis dari tahun sebelumnya (4.162 kasus).

Sekularisme Pupuk Kejahatan Seksual

Maraknya kekerasan terhadap anak di sebabkan oleh banyak hal, diantaranya sanksi yang tidak memberi efek jerah, mudahnya mengakses tontonan-tontonan yang merangsang di media termasuk sistem pendidikan sekuler.

Berdasarkan UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak, setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Setiap orang yang melanggar ketentuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar (Kompas, 6-1-2022).

Ancaman hukuman bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak tidak sampai hukuman mati, melainkan hanya dipenjara, bahkan realisasinya bisa sangat ringan. Banyak kasus menguap begitu saja jika publik tidak mengawal ketat. 

Hanya dengan modus pemberian sejumlah uang terhadap keluarga untuk berdamai, kasus bisa “hilang” tanpa penyelesaian secara hukum. Hal ini menjadikan tidak adanya efek jera bagi pelaku dan selanjutnya ia maupun orang lain enteng saja melakukan kejahatan serupa karena tidak takut terhadap ancaman hukumannya.

Selanjutnya, masih terdapat perbedaan persepsi di antara para aparat terkait definisi kasus. Perbedaan definisi kasus di antara para aparat ini bisa menjadi kesalahan fatal karena terkait penentuan hukuman bagi pelaku. Lantas, kalau definisinya saja berbeda, bagaimana keadilan hukum bisa terwujud?

Kemudian, buruknya pengaturan media massa. Pornografi-pornoaksi banyak bergentayangan di internet. Siapa pun mudah saja mengakses konten porno melalui ponselnya.

Lebih jauh lagi, buruknya sistem pendidikan. Kurikulum pendidikan kita begitu jauh dari agama (sekuler) sehingga output-nya adalah orang-orang yang mengabaikan agama. 

Mereka tidak peduli halal-haram, juga tidak takut neraka, apalagi mau merindukan surga. Mereka merasa bebas berbuat apa saja tanpa peduli terhadap syariat. Akibatnya, terwujudlah masyarakat liberal sehingga memunculkan beraneka macam tindak kejahatan.

Anak-anak pun tidak luput dari keburukan sistem ini. Mereka menjadi korban dari kerusakan sistem sekuler liberal yang diterapkan. Selama negeri ini menerapkan sistem sekularisme, selama itu pula akan terus ada yang menjadi korban kejahatan seksual, termasuk remaja dan anak-anak.

Sistem Islam Solusi Jitu

Saat ini umat membutuhkan sistem yang memiliki mekanisme jitu dalam memberantas kasus kekerasan anak. Sistem itu adalah sistem Islam kaffah.

Sistem Islam berasaskan akidah Islam sehingga keimanan dan ketakwaan menjadi dasar penyelesaian setiap masalah.

Sistem pendidikan Islam akan mewujudkan pribadi bertakwa sehingga tidak akan mudah bermaksiat. Sistem pergaulan Islam memisahkan antara kehidupan laki-laki dan perempuan, kecuali ada keperluan yang dibenarkan syarak. 

Tidak akan terjadi interaksi khusus antara laki-laki dan perempuan nonmahram selain dalam ikatan pernikahan. Praktik prostitusi akan dihilangkan sehingga tidak ada istilah “prostitusi legal”. Semua praktik prostitusi adalah haram.

Sistem media massa dalam Islam mencegah adanya konten pornografi-pornoaksi sehingga tidak ada rangsangan yang bisa mendorong terjadinya kekerasan seksual. Sistem ekonomi dalam Islam pun menempatkan perempuan sebagai pihak yang dinafkahi sehingga mereka tidak perlu pontang-panting mencari pekerjaan demi menghidupi dirinya sendiri hingga menempatkannya pada bahaya.

Pelaksanaan semua sistem tersebut akan mencegah terjadinya kekerasan seksual, termasuk terhadap anak. Jika terjadi kasus, negara akan memberikan sanksi tegas. Jika pelecehan seksual yang terjadi sampai terkategori zina, hukumannya adalah 100 kali dera bagi pelaku yang belum menikah dan hukuman rajam bagi pelaku yang sudah menikah.

Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari-Muslim, pada suatu waktu, ada seorang laki-laki yang mendatangi Rasulullah saw.. Laki-laki itu berseru, “Wahai Rasulullah, saya telah berzina.” Rasulullah SAW. berpaling tidak mau melihat laki-laki itu hingga laki-laki itu mengulang ucapannya sebanyak empat kali. Nabi pun memanggilnya dan berkata, “Apakah kamu gila?” Laki-laki itu mengatakan tidak. “Apakah kamu sudah menikah?” Ia mengatakan iya. Kemudian Nabi saw. bersabda kepada para sahabat, “Bawalah orang ini dan rajamlah ia.”

Dalam QS An-Nur: 2, Allah Taala berfirman, “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.” Inilah hukuman bagi pelaku zina yang belum menikah.

Adapun perkosaan atau rudapaksa (ightisabh) bukanlah hanya soal zina, melainkan sampai melakukan pemaksaan atau ikrah yang perlu dijatuhi sanksi tersendiri. Imam Ibnu Abdil Barr dalam kitab Al-Istidzkar menyatakan, “Sesungguhnya, hakim atau kadi dapat menjatuhkan hukuman kepada pemerkosa dan menetapkan takzir kepadanya dengan suatu hukuman atau sanksi yang dapat membuat jera untuknya dan orang-orang yang semisalnya.”

Hukuman takzir ini dilakukan sebelum penerapan sanksi rajam. Adapun ragam takzir dijelaskan dalam kitab Nizhamul Uqubat, yaitu bahwa ada 15 macam takzir, di antaranya adalah dera dan pengasingan.

Demikianlah, hanya dengan penerapan Islam kaffah dalam wadah khilafah, kekerasan seksual terhadap anak bisa tercegah dan tersolusi hingga ke akarnya. Wallahualam.


Oleh: Rines Reso
Pemerhati Masalah Sosial
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar