Topswara.com -- Imbas banyak warga enggan memiliki anak, Jepang kini dilanda krisis populasi. Angka kelahiran bayi pun menurun, bahkan tercatat mencapai rekor terendah mencapai di bawah 800.000 sejak pencatatan pertama kali dilakukan pada 1899.
Di samping itu, jumlah kematian meningkat sebesar 9 persen menjadi 1,57 juta dan menjadi jumlah tertinggi sepanjang masa. Jepang melaporkan 47.000 kematian akibat Covid-19 tahun lalu, dibarengi penurunan pernikahan dan kelahiran imbas pembatasan sosial.
Melihat situasi saat ini, Perdana Menteri Fumio Kishida menyebut ada kemungkinan populasi anak muda di Jepang akan punah pada 2030. Bank Dunia juga melaporkan, Jepang menjadi salah satu negara dengan tingkat kelahiran paling rendah di dunia. Di samping itu, sejumlah negara Asia Timur seperti Korea Selatan dan Hong Kong juga memiliki tingkat kesuburan yang sangat rendah (detik.com, 20/6/2023).
Dilansir dari tribunnews.com, 9/4/2023 ada beberapa alasan mengapa warga Jepang enggan memiliki anak, di antaranya sedikit wanita muda yang bersedia menikah. Mereka merasa enggan untuk memiliki anak karena khawatir tidak bisa memberikan masa depan yang cerah untuk anak mereka. Tingginya biaya hidup, tuntutan kerja yang tinggi, perubahan sosial, kurangnya dukungan sosial, kekhawatiran akan masa depan, tekanan keuangan, dan peran gender tradisional yang memaksa banyak orang untuk berhenti bekerja begitu mereka hamil dan memikul beban pekerjaan rumah tangga serta tugas mengasuh anak. Itu semua yang menyebabkan resesi seks di Jepang.
Dan ternyata hal tersebut bukanlah fenomena yang hanya terjadi di negara dengan tingkat kelahiran yang populasinya menurun, tetapi di banyak tempat juga sudah merebak, seperti gaya hidup childfree, kecenderungan untuk berkarir melebihi keinginan untuk berkeluarga dan memiliki anak karena mereka menganggap anak adalah beban. Bahkan kalau bicara tentang gaya hidup wanita-wanita lajang di Barat justru didorong untuk memiliki bayi tabung.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Sesungguhnya peradaban hari ini adalah peradaban yang dibangun atas landasan dan tujuan materialisme sekularisme. Semua yang dilakukan pada peradaban hari ini diarahkan pada tujuan kenikmatan jasadi (ragawi). Akibatnya bisa kita saksikan banyak manusia yang melanggar fitrah (bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh Sang Pencipta). Maka yang muncul hanya malapetaka, yaitu berakhirnya populasi manusia karena tidak ada lagi manusia-manusia yang produktif yang menyebabkan penurunan angka kelahiran yang luar biasa.
Peradaban tersebut juga memicu hal-hal lain yang mengerikan bisa terjadi. Bayangkan jika banyak wanita lajang lebih senang menggunakan metode bayi tabung misalnya, berarti tidak ada lagi kebutuhan untuk memiliki pernikahan yang sah sesuai dengan tuntutan syariat, tidak ada lagi keperluan yang mendesak bagi kaum perempuan untuk memiliki anak demi melanjutkan keturunan dan cita-cita mereka yang didapatkan dari sebuah pernikahan ditetapkan oleh syariat agamanya. Bahkan dapat merusak nasab keturunan anak.
Namun, kerusakan-kerusakan akibat peradaban sekuler materialistik hari ini tidak akan pernah terjadi di dalam sebuah peradaban Islam. Karena peradaban Islam adalah sebuah tata kehidupan yang dibangun atas landasan ketakwaan. Esensi takwa adalah pengakuan bahwa manusia lemah, tidak bisa menata kehidupannya tanpa dibimbing oleh Allah SWT. dan karenanya di dalam sebuah masyarakat yang bertakwa, maka seluruh aspek kehidupan baik itu kehidupan pribadi, bermasyarakat hingga penataan sebuah negara, kebijakan atau solusi yang diambil oleh negara dalam menghadapi problem-problem kehidupan akan dikembalikan kepada landasan takwa, yakni kembali kepada aturan-aturan yang dibuat oleh Allah SWT.
Ketika peradaban Islam yang dibangun atas landasan ketakwaan terwujud, maka yang akan dihasilkan adalah kemuliaan individu manusia, keagungan sebuah masyarakat meski banyak kemajuan-kemajuan fisik, tetapi kemajuan fisik itu tidak kosong dari aspek ruhiyah, dari aspek keinginan untuk mewujudkan sebuah dunia yang penuh dengan kerahmatan, bukan dunia yang kering dari penghambaan terhadap Sang Pencipta.
Di dalam peradaban Islam, naluri manusia dikendalikan dan ditundukkan dengan aturan-aturan Allah SWT. Manusia boleh saja menyadari bahwa dirinya pandai, cerdik memiliki banyak inovasi-inovasi terbaru, banyak berkarya karena pemikirannya yang terus diasah dan berkembang, tetapi ketika itu semua ditundukkan kepada aturan-aturan Allah SWT, maka ketinggian pikiran ataupun kecerdasan manusia semata-mata akan diarahkan untuk mengabdikan dirinya dan karyanya untuk mendapatkan rida Allah Ta'ala.
Manusia di dalam peradaban Islam bukanlah malaikat yang tidak pernah memiliki kesalahan, akan tetapi mereka adalah manusia yang memiliki keinginan untuk mengembangkan harta, melestarikan keturunan dan mengembangbiakkan keturunannya dimana semua itu tidak dilakukan dalam peradaban Islam semata karena untuk kenikmatan ragawi. Akan tetapi dilakukan karena mengerti Allah SWT. memang memerintahkan manusia untuk mengembangkan keturunan demi melahirkan generasi yang membuat bobot lafadz lailahaillallah semakin berat.
Oleh karena itu, di dalam peradaban Islam manusia dapat kita lihat, manusia boleh mengatur kelahiran, tetapi tidak ada kontrol (pembatasan) terhadap kelahiran. Manusia tidak akan pernah menghitung-hitung jumlah manusia yang bertambah itu harus dikendalikan atau harus dihentikan karena akan ada kekurangan sumber daya, akan ada alat pemuas kebutuhan yang terbatas dan seterusnya tidak akan terjadi dalam peradaban Islam. Mengapa? Karena mereka yakin Allah SWT. menjanjikan semua makhluk yang lahir di muka bumi ini, maka Allah SWT
akan menjamin rezekinya.
Hal tersebut di atas adalah sedikit perbedaan antara peradaban Barat (sekuler materialistik) dengan peradaban Islam. Tentu saja masih ada banyak sekali perbedaan-perbedaan, tapi kita bisa membaca satu perbedaan ini sebagai satu dorongan yang besar bagi kita untuk berjuang agar dapat kembali memiliki peradaban manusia yang memanusiakan manusia, bukan peradaban manusia yang mengerikan sebagaimana yang dihasilkan oleh peradaban Barat.[]
Oleh: Nabila Zidane
(Analis Mutiara Umat Institute)
0 Komentar