Topswara.com -- Pengangguran merebak luas, kemiskinan merajalela.
Pedagang kaki lima tergusur teraniaya, bocah-bocah kecil merintih.
Melangsungkan mimpi di jalanan, buruh kerap dihadapi penderitaan.
Inilah negeri kita, alamnya kelam tiada berbintang.
Dari derita dan derita menderita...(derita terus).
Sampai kapankah derita ini (au-ah), Yang kaya darah dan air mata, yang senantiasa mewarnai bumi pertiwi.
Potongan lagu di atas berjudul “Negri Ngeri” yang di bawakan oleh grup musik Marjinal adalah sebuah gambaran kehidupan negeri kita saat ini yang memang dilanda kemiskinan yang tiada berujung.
Sejak dahulu kala hingga hari ini, kemiskinan masih saja melanda negara tercinta, padahal negeri kita adalah negara yang terkenal kaya akan sumber daya alamnya. Namun faktanya begitu banyak rakyatnya yang masih berada dalam garis kemiskinan.
Oleh karena itu, rencana ke depan pemimpin ketika mengakhiri jabatannya adalah menjadikan kasus kemiskinan itu 0 persen, dilansir oleh tirto.id (09/06/2023) bahwa Pemimpin Indonesia, Presiden Joko Widodo, telah merencanakan penghapusan kemiskinan ekstrem di Indonesia pada tahun 2024 mendatang di akhir jabatannya.
Rencana penanggulangan kemiskinan ini memang telah menjadi salah satu program presiden di periode kedua dalam jabatannya. Bahkan menargetkan kemiskinan ekstrem di tuntaskan hingga 0 persen.
“Berkaitan dengan kemiskinan ekstrem ini sebetulnya susah kita rencanakan di periode yang kedua ini agar nanti di 2024 itu sudah pada posisi 0 kemiskinan ekstrem kita. Kita akan kerja keras dan mati-matian” ungkap presiden Joko Widodo setelah menghadiri Rekarnas (Rapat Kerja Nasional) III PDIP di Jakarta Selatan (06/06/2023)
Berita di atas membenarkan adanya rencana presiden untuk menuntaskan kasus kemiskinan ekstrem menjadi 0 persen. Disisi lain, justru profesor Arief Anshory Yusuf selaku peneliti dari Center Universitas Padjadjaran si Bandung.
Mengatakan bahwa penuntasan kemiskinan dalam jangka satu tahun menjadi 0 persen adalah sebuah keniscayaan. Sebab jika inginkan angka nol dalam setahun itu sulit kecuali hanya mendekati sahaja. Namun menurut Arief bahkan mendekati angka nol saja itu masih termasuk satu hal yang belum pasti. (Voa.com. 10/06/2023).
Adapun seseorang yang digolongkan sebagai rakyat miskin ekstrem yaitu, jika pengeluarannya dalam per hari hanya mencapai Rp 10.739 atau per bulannya mencapai Rp322.170 .
Beginilah kiranya kita hidup dalam sistem yang tidak menganut hukum dari Allah. Maka hukum yang digunakan adalah hukum yang tidak bisa memberantas kemiskinan. Sebab telah tampak di depan mata bagaimana setiap 5 tahun berganti presiden namun faktanya kemiskinan masih saja merajalela.
Lihat saja faktanya di sekeliling kita betapa banyak anak-anak yang harus menjadi manusia silver demi mendapatkan uang recehan, serta berapa banyak rakyat yang terpaksa harus tidur di bahwa kolong jembatan karena tidak punya tempat tinggal.
Jika melihat kondisi perekonomian negara hari ini, yang utangnya banyak serta sumber daya alamnya banyak di kelola oleh asing, rasanya rencana presiden untuk menuntaskan maslah kemiskinan ekstrem menjadi 0 persen dalam satu tahun itu hanya akan menjadi ilusi.
Sebab jika memang mampu untuk menuntaskan maslah kemiskinan kenapa harus di akhir jabatan? Kenapa tidak di lakukan di awal jabatannya sebagai pemimpin. Mengingat bahwa janji setiap calon-calon presiden adalah memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya, yang artinya bahwa negara jelas harus menuntaskan kemiskinan demi kesejahteraan rakyatnya.
Sangat berbeda dengan penerapan sistem Islam yang mana selalu memperhatikan kondisi rakyatnya mulai dari hal terkecil. Sehingga penerapan sistem Islam sangat dibutuhkan dalam ranah menyelesaikan segala problematika yang melanda negeri ini termasuk kemiskinan. Kenapa demikian, sebab hanya Islam yang mampu melihat akar masalah dari setiap problem yang ada.
Dalam Islam negara memiliki tanggung jawab untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya tanpa harus berjanji dan tanpa harus menunggu di akhir jabatan baru memberi kesejahteraan. Dalam negara Islam pemimpin selalu mengutamakan kepentingan rakyatnya terlebih dahulu baru kepentingannya.
Sebagaimana Kisa pemimpin Umar bin Khattab ketika paceklik tiba, ketika dia tahu keadaan rakyatnya di luar banyak yang mengalami kelaparan Ia bersedih dan bersumpah untuk tidak lagi memakan daging dan minyak Samin hingga rakyatnya bisa hidup dengan baik.
Bahkan saat musim itu melanda perut Khalifah Umar berbunyi tetapi itu tidak membuat dia mengurungkan sumpahnya. Beliau tetap mengharapkan daging dan minyak Samin masuk ke perutnya hingga rakyatnya telah hidup dalam keadaan baik.
Oleh karena itu semasa paceklik Umar bin Khattab hanya makan dengan minyak biasa saja. Walaupun dia ditawari makan enak, beliau justru mengatakan bahwa bagaimana dirinya bisa jadi pemimpin jika Ia tidak merasakan apa yang dia rasakan rakyatnya.
Paceklik masa itu terjadi 9 bulan lamanya, maka selama itu juga ia merasakan apa yang dia rasakan rakyatnya sembari meminta pertolongan kepada gubernurnya yang berada di negara seberang, hingga akhirnya ia memutuskan menggelar salat Istisqa', agar Allah segerah menurunkan pertolongan padanya dan rakyatnya.
Oleh karena itu turunlah pertolongan Allah berupa hujan. Setalah Allah melimpahkan kembali pertolongannya Umar bin Khattab tetap selalu memperhatikan kebutuhan rakyatnya hingga ia wafat.
Begitulah kiranya seorang pemimpin bersikap kala rakyatnya tidak dalam keadaan baik-baik saja. Maka pemimpin harus merasakan apa yang di rasakan rakyatnya agar bisa menemukan cara cemerlang dalam menyelesaikan masalah. Bukan hanya sekedar berencana yang ujungnya hanya akan menjadi Ilusi semata.
Wallahu a’lam bissawab.
Oleh: Rismawati Aisyacheng
Pegiat Literasi
0 Komentar