Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kekerasan Terhadap Anak, Butuh Solusi Tuntas


Topswara.com -- Hingga Selasa (30/05) Polda Sulawesi Tengah telah menahan lima tersangka dari 11 terduga pelaku dan memeriksa sejumlah saksi. Meski demikian hasil penyelidikan belum mengungkap motif para pelaku.

Sementara itu pendamping korban, Salma Masri, mengatakan kondisi kesehatan anak terus memburuk lantaran alat reproduksinya mengalami infeksi akut dan rahimnya terancam diangkat. Salma Masri bercerita psikis korban anak hingga saat ini masih sangat terguncang. Situasi tersebut diperparah dengan kondisi kesehatannya yang kian memburuk.
BBC News Indonesia.

Kompleksitas permasalahan yang menimpa generasi, mulai dari kekerasan seksual hingga pergaulan bebas, misalnya, harus dipandang utuh sebagai satu permasalahan yang menimpa umat manusia. Problem ini bukan permasalahan ekonomi maupun kesehatan semata.

Persoalan mendasar atas kejahatan seksual anak sejatinya lahir dari budaya liberal yang makin mendarah daging dalam benak masyarakat. Pelaku melakukan hal demikian semata ingin melampiaskan syahwat, tidak peduli terhadap anak didik, bahkan anak kandung sekalipun! Mereka merasa bebas melakukan apa saja.

Inilah liberalisme akut yang telah diidap umat. Apalagi kini makin marak penyakit sosial semisal pedofilia yang makin menambah kekhawatiran akan nasib generasi.  

Budaya liberal ini menjadikan anak-anak bebas melakukan apa saja yang mereka suka. Berpacaran, seks bebas, hingga L687, menjadi lumrah di tengah maraknya kejahatan seksual. Pakaian serba minim dan terbuka makin digandrungi anak-anak muda. Mereka berkeliaran malam hari demi nongkrong di tempat-tempat keramaian. Bukankah ini pula yang membuka pintu terjadinya kejahatan seksual?

Lantas, ke mana ayah dan ibunya? Lagi-lagi, atas nama liberalisasi, ayah dan ibu tidak mengerti cara pengasuhan yang benar. Anak tidak menerima edukasi dari dalam rumah tersebab ayah dan ibu sibuk bekerja memenuhi kebutuhan keluarga. 

Kebutuhan fisik seolah-olah menjadi satu-satunya kebutuhan mereka. Padahal, rumah seharusnya menjadi tempat menyemai kasih sayang dan penancapan ilmu bagi anak untuk bisa mengarungi kehidupannya.

Ayah dan ibu juga menyerahkan anak begitu saja pada lembaga pendidikan, sedangkan kebanyakan lembaga pendidikan pada sistem sekarang tidak luput dari serangan pemahaman liberal. 

Lihat saja kerudung dan jilbab yang diperkarakan, padahal telah jelas syariat bagi perempuan untuk menutup auratnya. Walhasil, ala bisa karena biasa, anak-anak lebih menyukai berpakaian bebas ketimbang menutupnya dengan sempurna.

Media pun tidak selamat dari liberalisasi, bahkan cenderung menjadi corong makin mendalamnya budaya ini diidap generasi. Latahnya anak-anak muda dalam mengekspresikan kebebasannya tidak lepas dari peran media. Budaya kafir Barat masuk tanpa filter melalui media sosial yang kini tidak bisa terpisahkan dari para pemuda.

Makin miris tatkala pemerintah malah menjadi pihak terdepan dalam mengaruskan budaya liberal. Dengan alasan membangkitkan ekonomi, kawula muda dieksploitasi hingga benar-benar kehilangan jati diri. Sungguh, pemandangan yang mengiris hati ketika dukungan malah mengalir deras pada kebebasan berperilaku.

Upaya liberalisasi pun terlihat dalam sejumlah kebijakan. UU TP-KS, misalnya, yang katanya menjadi payung pelindung anak-anak dari kejahatan seksual. Pada saat yang sama, UU tersebut justru menjamin kebebasan bertingkah laku yang merupakan pangkal kejahatan seksual, seperti frasa “sexual consent” yang notabene melindungi perilaku kebebasan.

Setelah jelas persoalan mendasarnya, yakni liberalisme, maka solusi atas kejahatan seksual pada anak adalah membuang paham tersebut. Setiap elemen harus bekerja sama bahu-membahu menyingkirkan budaya liberal di tengah umat, khususnya generasi muda. Langkah awal adalah dengan menjelaskan kerusakan pemahaman ini pada masyarakat.

Liberalisme lahir dari sekularisme, yaitu paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Paham ini membuang agama dari benak umat dalam mengatur tingkah lakunya dan membenarkan setiap perbuatan meski terlarang dalam agama. Padahal, agama seyogianya menjadi pegangan yang akan menyelamatkan umat manusia dari kerusakan.

Keluarga harus menjadi tempat terpenting dalam mendidik generasi. Peran ibu pun harus kembali pada syariat, yaitu sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Kemuliaan dapat diraih oleh ibu yang bersungguh-sungguh mengasuh anak-anaknya, bukan oleh ibu yang menelantarkan anak walaupun memboyong harta yang banyak.

Sementara itu, ayah akan giat mencari nafkah dan berusaha menjadi teladan terdepan bagi anak-anaknya. Anak yang kenyang akan kasih sayang orang tuanya dan paham agama tidak akan membiarkan dirinya melakukan perbuatan nista apa pun bentuknya.

Di sisi lain, sistem pendidikan wajib terdepan dalam menjauhkan generasi dari liberalisme, yaitu dimulai dari menancapkan akidah pada peserta didik agar mereka tidak kehilangan jati diri.

Sedari dini, anak-anak harus sadar tujuan hidupnya adalah untuk mencari rida Allah Taala. Ketakwaan inilah yang dapat mengantarkan mereka pada perilaku yang selalu terikat syariat. Mereka akan berpikir sebelum bertindak, mampu membedakan antara perbuatan yang mengundang murka dan yang mendulang pahala.

Kemudian pemerintah, harus menjadi yang terdepan dalam menjaga umatnya khususnya generasi muda dari segala mara bahaya. Sekularisme liberal adalah bahaya yang harus secepatnya dihilangkan dengan cara menerapkan aturan Islam dalam sistem pemerintahan. Setiap kebijakan tidak boleh menyimpang dari ajaran Islam. Begitu pun sifat sistem sanksi yang mampu menebus dan menjerakan.

Terakhir, pemerintah wajib menjaga suasana keimanan masyarakat dengan menerapkan kebijakan dan mengontrol media. Hal ini agar generasi muda fokus menjalankan misinya menjadi hamba mulia yang bermanfaat bagi sesamanya. Mereka akan senantiasa mengisi hari-harinya dengan amal shalih yang akan mengantarkan pada tingginya peradaban manusia. Insyaallah.

Wallahu alam bishawab.


Oleh: Eva Lingga Jalal
Aktivis Muslimah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar