Topswara.com -- Kenaikan harga telur ayam kembali terjadi, hal ini pun disayangkan oleh Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Pedagang Pasar Indonesia yang mengatakan bahwa harga telur di pasaran terus mengalami kenaikan bahkan tidak ada upaya untuk menurunkan harga telur tersebut.
Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) menjabarkan harga telur di wilayah Jabodetabek mencapai Rp 31.000 hingga Rp 34.000/kg, lalu harga di luar Pulau Jawa atau wilayah Timur Indonesia tembus Rp 38.000/kg, bahkan mencapai Rp 40.000/kg.
Menurut penelitian IKAPPI penyebab kenaikan harga telur ini karena faktor produksi yang disebabkan oleh harga pakan yang tinggi, dan faktor lainnya yaitu akibat proses distribusi yang tidak sesuai dengan biasanya sebab pada biasanya distribusi dilakukan ke pasar. (kumparan.com, 18/05/2023).
Dengan kenaikan harga telur yang terus terjadi, kini Badan Pangan Nasional (Bapanas) mengambil langkah untuk mengatasi permasalahan ini. Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi menjelaskan bahwa salah satu upaya yang diambil adalah dengan memfokuskan keluarga yang beresiko stunting untuk penyaluran bantuan telur dan daging ayam.
Program ini secara efektif diharapkan dapat menurunkan angka stunting dengan menyerap telur dan daging ayam dari hasil peternak mandiri dan tentu dengan harga yang baik pula.
Menurutnya, ini menjadi semacam closed loop yang terintegrasi dari hulu, tengah, hingga hilir. Di hulu melibatkan peternak mandiri sebagai pemasok produk, di tengah menyiapkan ID FOOD sebagai stand by buyer dengan harga yang baik untuk jaga stabilitas harga di peternak, lalu di hilir di distribusikan kepada masyarakat yang berisiko stunting sesuai data by name dan by address dari BKKBN. (liputan6.com, 17/05/2023).
Tetapi menurut Reynaldi Sarijowan selaku Sekretaris Jenderal DPP IKAPPI, banyaknya pihak yang melakukan pendistribusian di luar pasar atau permintaan di luar pasar membuat supply dan demand dipasar terganggu hingga akhirnya menyebabkan harga terus menerus naik. DPP IKAPPI pun mendata bahwa permintaan yang cukup tinggi ada di sejumlah instansi, lembaga, elemen ataupun individu.
Permintaan tersebut tentu dapat mengganggu persediaan di pasar. Namun, mereka tidak merinci permintaan pengiriman telur diluar pasar itu dari lembaga atau instansi mana.
Kenaikan harga telur yang terus terjadi membuat masyarakat tidak tau harus mengkonsumsi protein dari mana lagi, karena telur merupakan protein yang mudah dikonsumsi dan murah selama ini.
Tetapi kini harga telur terus dimonopolikan, adapun solusi namun tidak akurat bahkan tidak solutif hingga membuat masyarakat semakin melarat.
Beginilah jika sistem sekularisme kapitalisme diterapkan, mereka seolah-olah seperti pahlawan yang pantas untuk diagungkan karena telah membuat solusi disetiap permasalahan negeri ini.
Nyatanya solusi yang diberikan tidak mampu mengatasi permasalahan bahkan malah menimbulkan masalah baru lagi. Seperti solusi yang dibuat oleh Bapanas, mereka membuat strategi untuk menstabilkan harga telur dengan cara menyalurkan bantuan telur dan daging ayam untuk Keluarga Risiko Stunting (KRS).
Dibalik solusi ini malah menghasilkan supply dan demand dipasar terganggu hingga menyebabkan harga telur terus menerus naik. Solusi yang dibuatpun akhirnya bukan sebagai problem solving, melainkan membuat masyarakat semakin melarat hingga kekurangan protein hewani yang akan menambah jumlah stunting di negeri ini.
Inilah bentuk dari ketidakseriusan penguasa untuk menjalankan amanah dan tanggung jawab terhadap masyarakatnya. Penguasa yang seharusnya mampu mensejahterakan rakyat dalam segala aspek tidak terwujud dalam sistem ini.
Apalagi dalam hal mengatasi kestabilan harga telur, seharusnya pemerintah telah membuat strategi yang matang dengan tidak memikirkan keuntungan semata. Karena kenaikan harga telur ini tidak lepas dari pengawasan industri peternak dari hulu hingga hilir oleh korporasi yang sebagian besar dikelola negara asing.
Dari kinerja merekalah timbul penyebab utama kenaikan harga telur yang terus terjadi, sebab mereka yang menguasai sektor produksi pakan ternak hingga membuat usaha-usaha lokal anjlok.
Masyarakat kini butuh adanya solusi yang solutif untuk menstabilkan harga telur agar masyarakat dapat mengkonsumsi kebutuhan pangan dengan gampang dan murah.
Sebab pangan adalah kebutuhan primer individu yang sangat penting keberadaannya. Pangan juga termasuk pemenuhan hajatul udhowiyah (kebutuhan jasmani) manusia yang akan mengakibatkan kematian jika tidak dipenuhi.
Oleh karena itu, dengan mengganti paradigma pengelolaan pangan dalam sistem kapitalisme menjadi paradigma Islam merupakan hal yang penting untuk diwujudkan.
Sistem Islam memiliki aturan haqiqi yang terlahir dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sistem Islam mampu menjadi problem solving disetiap problematika umatnya, sebab Islam sesuai fitrah manusia. Sistem Islam akan memberikan kebutuhan primer seperti pangan yang menjadi hak warganya.
Begitu pula dengan jaminan lainnya seperti nyawa, harta, keamanan, dan berbagai hak publik lainnya. Sebab Rasulullah SAW., pernah bersabda dalam hadist riwayat Muslim dan Ahmad bahwa, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.”
Selain itu Islam memiliki aturan sistem perekonomiannya sendiri yang sesuai dengan syariat Islam, dan bahkan nantinya negara dalam Islam akan berperan penuh dalam mengendalikan harga telur dan menjamin distribusinya sesuai kebutuhan masyarakat.
Data akurat mengenai kemiskinan serta kebutuhan pangan dan gizi setiap keluarga juga dimiliki negara, sehingga penanggulangan stunting dan kelaparan bisa cepat diatasi dan tepat sasaran.
Pertanian jagung yang merupakan bahan baku pakan ayam juga akan serius dikelola negara. Kemudian fasilitas gratis, lengkap, dan modern bagi para peternak ayam akan disediakan negara. Begitu pula negara akan mengawasi perdagangan pakan dan obat-obatan ternak agar murah bahkan gratis didapatkan.
Celah monopoli pada korporasi juga akan ditutup agar tidak terjadi kelangkaan telur di pasaran. Dengan demikian, hanya negara yang mengemban sistem Islam secara kaffah akan mampu mewujudkan penyelesaian dalam masalah kenaikan harga telur secara menyeluruh.
Oleh: Dwinda Lustikayani, S.Sos
Aktivis Muslimah
0 Komentar