Topswara.com -- Menjelang Hari Raya Idul Adha 2023, sejumlah bahan pokok mengalami kenaikan harga di pasaran. Hal itu diamini Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan atau Kemendag Isy Karim.
Berdasarkan laporan perkembangan harga rata-rata nasional barang kebutuhan pokok pada awal Juni 2023 ini, disebutkan ada empat komoditas yang terpantau naik yakni, telur, cabai merah, daging ayam ras dan bawang putih (tempo.co, 12/6/2023).
Menyikapi adanya kenaikan harga barang sebagian dari kita mungkin akan bersikap seperti ini, "Harga-harga barang lagi naik, yang sabar ya. Percaya deh rezeki itu datangnya dari Allah." Atau ada yang bilang begini, "Ya sudahlah namanya juga rakyat kecil, tidak bisa apa-apa selain pasrah sama keadaan."
Kalau membahas masalah konsep rezeki, memang wajib dan harus yakin seyakin-yakinnya kepada Allah SWT. Karena Allah itu Ar Rozaq Dia Maha Pemberi rezeki. Hewan melata saja dijamin-Nya, apalagi kita dari golongan manusia.
Masalahnya jangan terlalu apolitis begitu. Karena mau disadari atau tidak, mau percaya atau tidak, jika sudah membicarakan kenaikan harga barang di pasaran, itu ada kaitannya dengan kebijakan dan kalau sudah membicarakan kebijakan, maka endingnya pasti kita membicarakan tentang sistem perpolitikan yang ada seperti sekarang.
Mengapa harga barang itu seringnya labil sekali kayak anak ABG. Apalagi kalau menjelang hari-hari besar perayaan agama, akhir tahun atau awal tahun. Naiknya cepat sekali kayak roller coaster, tapi kalau mau turun susahnya minta ampun?
Semua itu karena tata kelola perekonomian sekarang diatur dengan sistem kapitalis. Sistem ekonomi ini memberi karpet merah kepada para kapital untuk memonopoli harga pasar dan membatasi peran negara.
Alhasil disektor pangan contohnya, mulai dari produksi sampai distribusi yang jadi pengusaha sesungguhnya itu para kapital, yaitu para mafia pangan dan kartel, bukan negara. Salah satu buktinya banyak terjadi kasus impor. Padahal stok didalam negeri masih mencukupi, tapi dikira tidak cukup.
Seperti dilansir dari tempo.co, 6/4/2023 terjadi kasus impor beras 2 ton padahal produksi dalam negeri sedang panen raya. Karena dari impor tersebut para mafia pangan dan kartel bisa mendapat keuntungan besar. Dibuat saja harga pasar naik, barang-barang ditimbun, dilebih-lebihkan estimasi kebutuhan komoditi pangan. Jadi, seolah-olah ada gab besar antara permintaan pasar dan produksi. Sehingga impor menjadi keharusan.
Ditambah sanksi yang dijatuhkan tidak memberikan efek jera dan sifatnya pun tebang pilih. Hukum hanya menjerat pelaku kecil, tapi para kartel dan mafia kelas kakap sulit sekali ditindak, bakal tambah abadi eksistensi mereka.
Ditambah lagi dalam sistem kapitalisme liberal ini keberadaan BUMN atau BUMD justru menjadi representasi dari lembaga negara, bukan menjadi pelayan rakyat. Bahkan kehadirannya justru seperti korporasi yang bertujuan mencari untung dan mengejar profit, makanya kebutuhan pabrik, seperti BBM, listrik, LPG juga ikutan naik.
Berbeda sekali jika urusan rakyat diatur oleh sistem Islam yang disebut khilafah. Islam telah menetapkan fungsi pemerintah sebagai pelayan dan pelindung rakyat. Makanya khilafah akan memastikan kesejahteraan rakyat bisa terpenuhi termasuk menjamin kestabilan harga. Sehingga bisa terjangkau oleh rakyat.
Kebijakan khilafah untuk menjaga stabilitas harga di antaranya,
Pertama, menjaga ketersediaan stok pangan supaya suplai dan demand menjadi stabil. Kebijakan tersebut diwujudkan dengan menjamin produksi pertanian hingga distribusinya di dalam negeri berjalan maksimal. Seandainya masih tidak cukup barulah khilafah akan melakukan impor, tapi sifatnya temporer.
Kedua, menjaga rantai tata niaga dengan mencegah dan menghilangkan distorsi pasar. Caranya dengan melarang penimbunan, riba, melarang praktik tengkulak, kartel dan seterusnya. Dilengkapi dengan proses penegakan hukum yang tegas dan berefek jera sesuai aturan Islam.
Dalam khilafah juga ada Qadhi Hisbah yang akan bertugas mengawasi tata niaga di pasar dan menjaga agar bahan makanan yang beredar adalah makanan yang halal dan tayyib. Jadi, para mafia pangan dan kartel tidak akan bisa berkembang dan merusak pasar.
Ketiga, khilafah tidak akan mengambil kebijakan penetapan harga. Sebab hal tersebut dilarang sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
"Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu dari harga-harga kaum Muslimin untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada hari kiamat kelak."
(HR. Ahmad, Al-Hakim dan Al-Baihaqi
Keempat, khilafah akan mengedukasi masyarakat agar bertakwa dan paham syariat bermuamalah. Suasana ini akan dibentuk mulai dari keluarga dan sistem pendidikan yang diselengharakan negara.
Lalu keberadaan badan pangan, seperti Bulog atau BUMD yang notabene milik negara, maka mereka harus menjalankan fungsi pelayanan, bukan unit bisnis. Jika badan pangan melaksanakan fungsi stabilisator harga dengan operasi pasar, harus steril dari mencari untung. Untuk biaya operasionalnya khilafah bisa memakai dana dari baitul mal (pos kepemilikan negara).
Mekanisme tersebut pernah diterapkan, salah satu diantaranya pada masa Abbasiyah seperti Khalifah Al-Makmun. _ Qadhi Hisbah pada saat itu berfungsi sebagai pengatur pasar, memelihara pasar dari masuknya bahan makanan yang merusak masyarakat, melarang penipuan dalam bidang perdagangan, timbangan dan takaran serta menertibkan aktivitas ikhtiar. Secara berkala para Qadhi Hisbah melakukan inspeksi pada timbangan yang digunakan pedagang dengan membawa timbangan yang sudah sah.
Jadi, masalah kenaikan harga yang melihatnya memang harus memakai kacamata berpolitikan dan sebenarnya kita bisa mengubah keadaan ini dengan cara berjuang mengembalikan sistem khilafah. Caranya dengan kita terus mengkaji Islam kaffah dan berdakwah bersama kelompok Islam ideologis yang istiqamah memperjuangkan agar umat Islam bisa melanjutkan kehidupan Islam dibawah naungan khilafah.
Oleh: Nabila Zidane
(Analis Mutiara Umat Institute)
0 Komentar