Topswara.com -- Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang sedang disusun DPR dan pemerintah, diprotes banyak pihak; terutama dari pihak tenaga kesehatan. Terjadi pro dan kontra. Termasuk definisi perlindungan yang dijanjikan RUU ini.
Lima organisasi profesi kesehatan telah menggelar aksi mogok kerja nasional atau cuti pelayanan untuk menolak pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law, Senin 8 Mei 2023 (www.cnbcindonesia.com, Senin 8 Mei 2023) (1).
Mereka akan tetap demo jika DPR tetap melanjutkan pembahasan RUU Omnibus Law Kesehatan. Beberapa organisasi profesi medis dan kesehatan itu mengkhawatirkan arah RUU Kesehatan ke arah liberalisasi, apalagi dilakukan dengan sistem paket yang disebut Omnibus Law.
Ini karena RUU Kesehatan ini akan menciptakan liberalisasi kesehatan, yang akan menggeser masalah kesehatan dari kewajiban melayani rakyat (Health Care) menjadi industri (Health Industry).
Karena memang saat ini tengah terjadi pergeseran yang sangat mendasar, dari masalah kesehatan yakni ditempatkan sebagai kewajiban negara untuk melayani rakyatnya, menjadi sebuah industri. Inilah dampak dari liberalisasi yang dominan pada RUU Kesehatan ini.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat, ada sekitar 11.000 Tenaga Kesehatan ikut berpartisipasi dalam unjuk rasa ini (www.kompas.tv). Lima organisasi profesi medis ini juga menyampaikan bahwa cukup banyak tenaga medis dan tenaga kesehatan dengan ikatan kerja yang tidak jelas, hingga tidak ada jaminan dalam menjalankan pekerjaan profesinya (www.wartaperawat.com).
Namun ternyata RUU Kesehatan tidak memberikan jaminan hukum mengenai kepastian kerja dan kesejahteraan tenaga medis dan tenaga kesehatan, bahkan juga tidak ada jaminan perlindungan hukum bagi para tenaga kesehatan (www.cnnindonesia.com).
Juru Bicara Aksi Damai IDI, Dokter Beni Satria menjelaskan kepada awak media bahwa ketika Undang-Undang Kesehatan resmi nantinya, maka dalam Undang-Undang itu akan ada penghilangan anggaran 10 persen untuk tenaga kesehatan (www.tribunnews.com).
Sementara menurutnya, kesembuhan pasien tanggung jawab bersama; bukan tanggung jawab dokter saja. Sarana dan prasarana juga harus ada, pemeriksaan alkes dari laboratorium harus sesuai standart. Dan dokter tidak mungkin mengobati, mendiagnosa suatu penyakit tanpa didukung alat-alat penunjang yang baik, seperti rontgen, USG, kemudian laboratorium (www.viva.co.id).
Juru bicara Kementerian Kesehatan Dr Muhammad Syahril mengatakan, justru DPR yang memulai inisiatif untuk memperbaiki UU yang ada, sehingga pasal-pasal terkait perlindungan hukum menjadi lebih baik (www.nasional.kompas.com). Pemerintah mendukung upaya ini melalui pembahasan RUU Kesehatan.
Beliau menyatakan ada tiga usulan pasal baru yang melindungi dokter dan nakes dalam Daftar Inventaris Masalah RUU Kesehatan.
Pertama, perlindungan dokter dari tindakan perundungan.
Kedua, perlindungan untuk dokter peserta didik atau dokter residen pada Pasal 208E ayat 1 huruf a DIM Pemerintah. Syahril menyampaikan usulan tersebut akan menjamin dokter residen atas bantuan hukum atas sengketa medis selama proses pendidikan.
Ketiga, perlindungan nakes dalam keadaan darurat pada Pasal 408 ayat 1 DIM Pemerintah. Usulan tersebut dapat membuat nakes mendapatkan perlindungan hukum dan jaminan kesehatan selama bertugas dalam penanggulangan kejadian luar biasa.
Perbedaan cara pandang itu lumrah, saat kepentingan menjadi asas dalam menentukan kebijakan. Adanya bentuk protes tenaga kesehatan terhadap kebijakan pemerintah terkait perlindungan tenaga kesehatan, menunjukkan belum terwujudnya perlindungan tersebut secara nyata.
Penguasa dalam sistem sekularisme kapitalisme saat ini, telah gagal melindungi kesehatan dan keselamatan jiwa para tenaga medis, serta masyarakat secara umum. Karena cara pandang kapitalisme telah menjadikan bidang kesehatan sebagai ajang bisnis untuk mengeruk keuntungan.
Karenanya keselamatan jiwa rakyat dan tenaga medis yang menjadi ujung tombak dalam penanganan penyakit yang diderita masyarakat, tidak menjadi prioritas utama. Pelayanan pada rakyat semata untuk kepentingan korporasi.
Perbedaan mendasar antara melayani dan industri adalah, ketika kesehatan ditempatkan sebagai sebuah industri, maka faktor laba menjadi dominan.
Ada hitung-hitungan untung rugi, ada bicara tentang investasi, profit, dan sebagainya. Jika masalah kesehatan diletakkan sebagai bagian dari kewajiban negara untuk melayani rakyat, maka seharusnya yang dibicarakan adalah bagaimana persoalan kesehatan itu betul-betul diperhatikan dan dijaga konsistensinya oleh negara. Negara tidak akan ragu untuk mengeluarkan biaya bagi terjaganya kesehatan masyarakat.
Bahaya layanan kesehatan yang berkembang menjadi industri adalah, fokus dari penyelenggara layanan kesehatan adalah keuntungan, bukan lagi pelayanan. Maka orang sakit akan dieksploitasi. Padahal orang sakit itu tidak berdaya, tetapi tidak punya pilihan. Pasien tidak punya pilihan, obat yang diberikan dokter sepenuhnya bergantung pada dokter, termasuk harga dari obat itu. Sehingga layanan kesehatan, penulisan resep, sikap dokter kepada pasien, semua itu dalam kerangka untuk mencari keuntungan. Keinginan pasien untuk cepat sembuh dieksploitasi. Dituntut untuk menerima jasa perawatan dan obat yang bertarif tinggi jika ingin sembuh. Ini sama halnya bermain-main dengan nyawa manusia. Maka pasien sakit dua kali. Pertama, sakitnya itu sendiri. Kedua, sakit ketika membayar biaya pengobatan alias stres memikirkan beratnya biaya berobat. Penderitaan pasien dobel. Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula.
Sekuler kapitalisme yang masih menjadi paradigma negeri ini, telah melahirkan liberalisasi kesehatan. Dampaknya pasien menjadi objek eksploitasi dokter. Dokter menjadi kepanjangan tangan dari perusahaan farmasi dan rumah sakit. Rumah sakit menjadi kepanjangan tangan dari pemilik modal. Pemilik modal bekerja sama dengan provider atau penyedia alat-alat kesehatan. Pemilik rumah sakit bekerja sama dengan perusahaan farmasi dan asuransi. Akhirnya Rumah sakit menjadi rumah eksploitasi pasien dan dokter sebagai garda paling depan untuk mengeksploitasi pasien. Sungguh ironis dan miris!
Jumlah orang sakit itu kurang lebih 10—15%. Lebih banyak masyarakat yang sehat daripada yang sakit. Kalau negara bisa menjaga masyarakat agar tidak sakit, maka orang sakit bisa diturunkan. Tapi ketika kesehatan dieksploitasi begitu rupa, maka orang sakit bisa menimbulkan suasana sakit; karena biayanya yang sangat mahal.
Berbeda dengan Islam yang memandang bahwa kesehatan adalah kebutuhan masyarakat yang paling dasar. Inilah sistem shahih yang berasal dari wahyu Allah SWT.
Sistem politik Islam akan mampu menjamin kesehatan masyarakat, karena jaminannya dari Allah Yang Maha Tahu apa yang terbaik bagi manusia. Sistem kesehatan dalam Islam pernah diterapkan selama kurun waktu selama 13 abad yaitu khilafah islamiah.
Menjaga kesehatan masyarakat menjadi fokus utama khilafah. Kepentingan rakyat dan tenaga medis menjadi prioritas. Bukan hanya pada aspek kuratif tapi juga preventif.
Khilafah memegang peran utama dan kendali penuh pada seluruh penanganan masalah kesehatan, bukan sebatas regulator/wasit saja. Negara harus berdaya, tidak boleh kalah dengan perusahaan swasta.
Rasulullah SAW bersabda :
“Sungguh lenyapnya dunia ini lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang muslim.” (HR An-Nasai, At-Tirmidzi dan Al-Baihaqi).
Perlindungan dan pemeliharaan syariat Islam atas nyawa manusia, diwujudkan dalam berbagai hukum. Diantaranya pengharaman atas segala hal yang membahayakan dan mengancam jiwa manusia.
Kebijakan khilafah akan memastikan tersedianya fasilitas kesehatan, sarana prasarananya secara memadai. Semua dipenuhi Khilafah dengan prinsip pelayanan pada rakyat, bukan untuk bisnis.
Sehingga rakyat dapat menikmati layanan kesehatan secara gratis, tanpa membedakan antara si kaya dan si miskin. Karena Islam mengharamkan komersialisasi di bidang kesehatan.
Khilafah akan menjaga agar SDM kesehatan memiliki profesionalitas tinggi dan berkepribadian Islam. Hal ini yang akan mendorong mereka memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
Mereka memahami bahwa pekerjaan yang dijalankan adalah wujud ketakwaan, yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak, sekaligus wujud ketaatan pada khalifah (pemimpin Khilafah), yang berbuah pahala.
Dana layanan kesehatan Khilafah akan diambil dari kas Baitul Mal yang bersumber dari harta kepemilikan umum. Jumlahnya tak terbatas. Contohnya, di Indonesia ada 380 ribu ladang batu bara yang saat ini dikuasai oleh tujuh perusahaan besar, potensinya Rp 65 ribu triliun.
Jika itu bisa dimanfaatkan, maka praktis kebutuhan biaya kesehatan yang seandainya satu tahun itu Rp1.000 triliun saja, masih saat sangat mencukupi. Dari sini saja, sebenarnya negara masih sangat mampu untuk memberikan jaminan kesehatan secara cuma-cuma. Ini masih berbicara SDA batu bara saja.
Belum mencakup kekayaan SDA lainnya seperti minyak bumi, emas, perak, nikel, hutan, laut, dan lain-lain. Dengan dana inilah, negara mampu memberikan fasilitas terbaik dalam jumlah memadai untuk melindungi tenaga kesehatan. Sehingga mereka mampu bekerja dengan baik tanpa kekurangan apa pun.
Khilafah akan membangun Rumah Sakit dengan kualitas terbaik, mengatur jam kerja yang tidak menzalimi, menyediakan obat-obat yang mutakhir, serta memberikan hak mereka berupa gaji dan insentif yang sesuai dan tidak menzalimi.
Dalam pandangan Islam, ada tiga hal yang harus ditangani untuk melakukan pelayanan kesehatan.
Pertama, ujarnya, negara harus menghadirkan suasana preventif bagi terjaganya kesehatan mulai dari makanan, lingkungan, air, dan lain-lain.
Jika masyarakat terjaga lingkungan, makanan, dan segala macam, sebenarnya orang yang jatuh sakit itu bisa dikurangi sampai batas yang sangat minim. Jika bisa dikurangi sampai di bawah 10 persen itu lebih baik. Akhirnya kebutuhan untuk biaya orang sakit pun bisa diminimalkan.
Kedua, orang yang sakit. Orang yang sakit di sini, bicara tentang bagaimana rumah sakitnya, bagaimana dokternya, bagaimana obat-obatnya.
Jika negara turun tangan, maka negara bisa menyediakan layanan rumah sakit terbaik, dokter terbaik, obat terbaik di bawah kendali negara, dan yang terpenting tidak mengambil keuntungan dari orang sakit.
Ketiga, lanjutnya, sumber dana. Sumber daya ekonomi milik rakyat betul-betul dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat. Dalam konteks negeri kita, ada banyak sekali Sumber Daya Alam (SDA) yang jikalau dikelola oleh negara, bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Demikianlah detil dan sempurnanya peradaban Islam dalam memberikan jaminan kesehatan pada manusia. Perlindungan tenaga kesehatan dan masyarakat, hanya dapat dilakukan oleh khilafah yang menerapkan syariat Islam kaffah.
Wallahu’alam Bishshawab
Oleh: Irawati Tri Kurnia
Aktivis Muslimah
Catatan Kaki :
(1) https://www.cnbcindonesia.com/news/20230508122035-7-435391/penampakan-nakes-demo-tolak-ruu-kesehatan
0 Komentar