Topswara.com -- “Dunia tak lagi ramah." Ungkapan yang menggambarkan kondisi yang dirasakan masyarakat saat ini. Di mana masyarakat dibuat resah dengan banyaknya kasus pelecehan seksual dengan berbagai modus. Mulai dari tindakan pelecehan seksual secara verbal, pelecehan dengan meraba sampai tindakan rudapaksa yang beritanya tiada henti memenuhi warta di media sosial. Ditambah lagi, teror aksi penyimpangan seksual yang dilakukan dengan pamer alat kemaluan (eksibisionis) semakin menambah rentetan daftar perilaku amoral di Indonesia.
Miris sekaligus memprihatinkan, bahkan rasa aman di lingkungan tak lagi bisa dirasakan. Kecemasan dan kekhawatiran menghantui setiap orang di mana pun berada, baik di tempat publik maupun di dalam rumah sendiri. Dilansir dari jpnn.com,14/6/2023, anak di bawah umur dicabuli selama dua tahun oleh ayah tirinya di Desa Mekarsari, Cilengsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Korban mengalami trauma psikologis yang sangat berat dan membutuhkan pendampingan dari berbagai pihak.
Sementara dalam kasus yang lain seorang kakek pemerkosa anak di Jakarta Timur hingga saat ini masih menghirup udara bebas. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mendesak kepolisian untuk menangkap pelaku (jpnn.com,16/06/2023).
Lambannya penanganan yang dilakukan pihak berwenang menambah kedongkolan masyarakat akan penegakan hukum dan keadilan di negeri ini.
Teror di tempat umum juga tidak kalah menjijikkan. Aksi tak senonoh seorang pria dilakukan di tempat wisata. Berdasarkan informasi yang dihimpun, kejadian terjadi pada Senin, 5/6/2023 lalu, tampak seorang pria setengah telanjang berpose mesum di salah satu spot wisata Coban, Gotak, Wagir, Kabupaten Malang Kawasan lereng Gunung Kawi (News.Okezone.com).
Tindakan amoral eksibisionis, tidak memiliki rasa malu ketika perilaku ini dilakukan. Sebaliknya, justru muncul perasaan semangat saat orang lain melihatnya. Menurut psikolog Kasandra Putrant, faktor penyebabnya adalah perilaku yang terbentuk dari berbagai potensi risiko sejak lahir. Oleh karena itu, pola asuh, pola belajar dan pengalaman sangat berpengaruh terhadap terbentuknya eksibisionis.
Ketika seseorang gagal dalam mengembangkan kemampuan membina hubungan interpersonal, maka sulit memiliki hubungan yang wajar. Berujung pada pengembangan perilaku seksual yang menyimpang. Selain itu faktor pendorong lain adalah kegemaran menonton video porno dapat memicu perilaku amoral ini (republika.co.id, 21/11/2023).
Darurat Gelombang Kerusakan Moral
Banyaknya kasus pelecehan hingga tindak kekerasan seksual bahkan ada yang sampai berujung pada hilangnya nyawa yang terjadi menjadi ancaman tersendiri bagi kenyamanan dan ketenangan hidup masyarakat. Tidak sedikit korban yang histeris, syok dan trauma atas pengalaman buruk yang terjadi dan menimpa mereka.
Sementara di sisi lain, pelaku aksi tak terpuji tersebut, sebagian ada yang sudah ditangkap oleh pihak yang berwenang namum masih juga banyak yang bebas berkeliaran di masyarakat. Keberadaan mereka tentu saja menjadi kekhawatiran tersendiri, apalagi dalam faktanya pelaku yang sama, berulang kali melancarkan aksinya di tempat berbeda. Yang lebih mengejutkan adalah, pengakuan dari salah satu pelaku bahwa alasan ia melakukan hal tersebut adalah karena melihat temannya melakukan hal serupa.
Hal ini membuktikan bahwa faktor eksternal dan tata pergaulan seseorang bisa membawa pengaruh terjadinya kelainan orientasi seksual. Dan ini menjadi wajar ketika negara mengadopsi sekularisme liberalisme sebagai sistem aturan dalam kehidupan masyarakatnya. Di mana kebebasan dan keuntungan materi yang menjadi standar berpikir dan ideologi. Sebab, sistem sekulerisme yang menganut faham pemisahan agama dari kehidupan, menjadikan agama tidak ikut campur dalam mengatur kehidupan masyarakat dan bernegara. Agama hanya diperbolehkan mengatur urusan di ranah pribadi (ibadah) saja.
Ketiadaan peran negara yang mampu menjadi perisai bagi rakyatnya memaksa masyarakat mencari cara sendiri dalam menyelesaikan permasalahan kehidupan mereka. Termasuk masalah pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang berkaitan dengan naluri seksualnya. Juga bagi para korban, keadilan hukum yang diharapkan sirna, karena adanya ketidaktegasan hukum bagi pelaku, pun tidak memberikan efek jera.
Tak kalah gentingnya, gempuran arus informasi dan digitalisasi memaksa setiap manusia menelan semua hal baru yang tersaji di hadapan mereka tanpa adanya filter, baik itu informasi yang baik maupun buruk. Mudahnya masyarakat mengakses informasi ternyata tak selamanya berdampak baik. Tanpa adanya peran negara sebagai pengendali derasnya arus informasi justru menjadi bumerang yang sangat berbahaya.
Keimanan masyarakat dipaksa bertahan dari berondongan konten-konten negatif yang menyesatkan dan menjerumuskan mereka pada kemaksiatan. Peran komunal (masyarakat) dibelenggu dan dibungkam untuk melakukan "amar ma'ruf nahi munkar" dengan dalih menjunjung tinggi kebebasan dan HAM. Fungsi negara mandul untuk menegakkan hukum dan keadilan serta menjaga moral dan mental generasi dari kerusakan. Masihkah kita yakin sistem sekarang mampu membangun peradaban yang cemerlang?
Moral Generasi Selamat dalam Naungan Islam
Islam adalah agama rahmatan lin 'alamin. Allah subhanahu wata'ala turunkan untuk menjadi aturan dan rahmat yang menyelamatkan kehidupan manusia. Di dalam Islam secara lengkap dan sempurna dijelaskan bagaimana mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, mengatur hubungan manusia satu dengan yang lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya. Termasuk di dalamnya mengatur pemenuhan kebutuhan manusia terhadap naluri seksual.
Naluri seksual adalah fitrah dan merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Rangsangannya muncul karena adanya faktor dari luar. Ketika pornografi dan pornoaksi begitu mudahnya diakses oleh masyarakat maka gelombang kerusakan mental menjadi sebuah keniscayaan.
Dan di sinilah peran negara sangat dibutuhkan. Hanya dengan penerapan syariat Islam secara kaffah fungsi negara sebagai pengatur dan perisai umat mampu diwujudkan. Dalam Islam dengan tegas dijelaskan bahwa imam adalah perisai.
Rasulullah SAW bersabda :
"Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya. Jika seorang imam (khalifah) memerintahkan supaya takwa kepada Allah ‘azza wajalla dan berlaku adil, maka dia (khalifah) mendapatkan pahala karenanya, dan jika dia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’I, Abu Dawud, Ahmad).
Hadirnya negara sebagai penjaga akidah umat, mampu menjamin keimanan individu akan senantiasa terjaga. Karena negara akan melakukan serangkaian program pendidikan dengan kurikulum yang mendorong ketaatan kepada Allah. Sehingga terbentuk manusia-manusia dengan karakter dan berkepribadian mulia.
Terbinanya masyarakat senantiasa dalam ketakwaan inilah yang akan mampu menangkal segala bentuk pengaruh buruk kemajuan teknologi, dan perilaku amoral di tengah masyarakat. Fungsi masyarakat sebagai kontrol dengan melakukan amal makruf nahi munkar menjadi benteng yang kuat agar tidak ada orang yang terjerumus dalam dosa dan kemaksiatan.
Berfungsinya tiga pilar penting ini yang akan mampu menyelamatkan generasi dari kerusakan mental akibat paparan pornografi dan pornoaksi, yaitu ketakwaan individu, kontrol masyarakat dan hadirnya negara. Dan semua itu hanyalah bisa terwujud dengan penerapan islam secara kaffah. Wallahu a'lam bisshawwab.[]
Oleh: Wahyuni Indaryati, S.P.
(Aktivis Muslimah)
0 Komentar