Topswara.com -- Bioetanol, BBM baru milik Pertamina Persero yang bakal diluncurkan bulan ini terus menjadi pembicaraan hangat semua kalangan. Seperti diketahui beberapa waktu lalu, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengungkapkan bulan Juni 2023 ini akan launching produk baru bernama bioetanol.
Penjualan BBM itu merupakan langkah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menurunkan karbon emisi. Diketahui produk BBM jenis Bioetanol tersebut berbahan Pertamax dicampur dengan etanol yang berasal dari produk samping tebu (Jambiekspres.co.id).
Guna mendorong percepatan pemenuhan bioethanol berbasis tebu, Presiden RI Joko Widodo telah meluncurkan program bioetanol tebu untuk ketahanan energi pada November 2022 lalu, saat kunjungan kerja di pabrik bioetanol PT Energi Agro Nusantara (Enero), Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Dalam kesempatan tersebut, Jokowi mengharapkan program bioetanol agar terus diakselerasi, mulai dari bioetanol 5% (E5) pada BBM kemudian meningkat E10, E20 dan seterusnya.
Program Bioetanol Tebu untuk Ketahanan Energi diproyeksikan dapat menjadi solusi peningkatan jumlah produksi bioetanol nasional dari 40 ribu kiloliter di tahun 2022 menjadi 1,2 juta kiloliter di tahun 2030 dan menjadi potensi campuran BBM jenis minyak bensin. Hal ini didasarkan pada studi yang dilakukan di Brazil, energi yang dihasilkan dari satu ton tebu setara dengan 1,2 barel crude oil. “Kalau tebu ini berhasil, kemudian B30 sawit itu bisa ditingkatkan lagi, ini akan memperkuat ketahanan energi negara kita, Indonesia,” ucap Jokowi.
Namun, PT Pertamina (Persero) menyatakan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis baru, yakni bioetanol kemungkinan lebih mahal dari pertamax. Bioetanol merupakan BBM jenis baru campuran pertamax beroktan 92 dengan nabati etanol. VP Corporate Communication Fadjar Djoko Santoso mengatakan BBM pertamax akan dicampur 5 persen dari nabati etanol. Pertamina menyebut bahan bakar baru ini dengan nama E5.
Menurutnya, harga E5 diperkirakan di atas harga pertamax saat ini. Fadjar mengatakan alasannya adalah Research Octane Number (RON) bioetanol lebih tinggi. Jika kita cermati, kebijakan bioetanol ini bisa dikatakan masih belum layak untuk dijadikan sumber energi utama maupun pendukung energi utama di negeri ini dalam rangka mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi.
Sebab masih banyak sekali kompleksitas persoalan, selain karena dijalankan dengan konsep kapitalisme neoliberal.
Kebijakan ini pun perlu dipertanyakan. Apakah memang penyediaan energi dengan bahan bioetanol ini menjadi jaminan bagi pemenuhan energi masyarakat secara murah ataupun mudah dijangkau? Terlebih harga jual bioetanol ini diperkirakan akan lebih tinggi sebagaimana energi baru terbarukan lainnya.
Begitu banyak persoalan di tengah pelaksanaannya, bahkan latar belakang atau konsep yang melandasi pengelolaan energi ini pun masih memiliki persoalan. Seperti persoalan bahan baku, jika kita mencermati pemerintah menggunakan produk samping tebu sebagai sumber bioetanol saat ini, justru ini sangat ironis karena hingga hari ini Indonesia masih menjadi negara importir gula terbesar di dunia untuk konsumsi dalam negeri dalam kebutuhan industri.
Dilansir dari majalahhortus.com, diketahui total kebutuhan gula nasional yang mencapai sekitar 6 juta ton, sementara produksi nasional hanya 2,2 juta ton per tahun. Akibatnya, ada defisit gula sebesar 3,8 juta ton yang harus dipenuhi dari impor.
Karena produksi tebu di dalam negeri masih sangat rendah sehingga akhirnya lebih dari 90% kebutuhan gula didapatkan dari impor. Lantas bisa kita bayangkan, ketika program bioetanol digencarkan oleh pemerintah, di sisi lain pemenuhan pangan khususnya gula masih sangat kurang, maka dari mana akan didapatkan pemenuhan untuk bioetanol?
Tentu ini akan menjadi problem besar. Belum lagi dari sisi teknologi yang dibutuhkan, akan berdampak pada anggaran berjumlah besar yang harus disediakan, mulai dari produksinya hingga stasiun pendistribusian bioetanol, dan kebutuhan dana lainnya.
Dengan pengelolaan dan pengadaan energi di negeri ini yang masih menggunakan prinsip kapitalisme neoliberal, yaitu oleh swasta, juga korporasi plat merah atau BUMN. Sehingga pengelolaan dalam konsep ini hanya berorientasi kepada mencari keuntungan, sedangkan layanan kepada masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan energi menjadi persoalan yang tidak diperhatikan oleh korporasi tersebut.
Oleh karenanya, agenda transisi energi ini sendiri tidak terlepas dari hegemoni kapitalisme. Sebab jika diperhatikan, solusi energi bersih melalui program energi baru terbarukan bagi Indonesia sebenarnya jauh panggang dari api.
Semestinya, untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri pemerintah tidak bergantung kepada konsep-konsep yang dilancarkan para kapitalis global. Sudah saatnya kita kembali pada cara Islam untuk mengatasi persoalan energi dalam negeri.
Mulai dari memanfaatkan sepenuhnya sumber daya energi yang telah diciptakan Allah, termasuk migas. Islam mewajibkan negara untuk membuat kebijakan yang memudahkan hidup rakyatnya. Demikian pula kebijakan negara akan menjalani perencanaan matang yang melibatkan para ahli, sehingga benar-benar membawa manfaat untuk rakyat dan aman untuk lingkungan.
Sekalipun Islam juga membolehkan pengembangan energi alternatif seperti bioenergi, tetapi tentu tidak boleh menimbulkan dharar (mudarat) yang lebih besar bagi rakyat, apalagi kesulitan pangan yang menyebabkan semakin tinggi nya angka impor yang dilakukan negara atau bahkan menimbulkan kerusakan lingkungan.
Selanjutnya, sumber daya energi dikelola dengan sistem ekonomi Islam. Islam memandang energi adalah harta milik umum sehingga pengelolaannya harus dilakukan oleh negara dan hasilnya dikembalikan sepenuhnya kepada rakyat. Adapun prinsip yang digunakan dalam pengelolaan energi ini adalah semata-mata bentuk pelayanan kepada rakyat, bukan dalam rangka berbisnis. Karena negara adalah sebagai Ra’in (pelayan bagi umat).
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
"Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).
Makan untuk bisa menyelenggarakan itu semua, tentu harus diawali dengan berjalannya peran politik negara yang sahih sesuai dengan pandangan Islam.
Negara sepenuhnya berperan sebagai pelayan, pengurus, juga pelindung bagi rakyat. Negara sama sekali tidak boleh hanya menjadi regulator maupun menjadikan ladang bisnis terhadap rakyatnya. Negara juga harus memiliki kemandirian sikap dan tidak boleh “membebek” kepada agenda-agenda global kapitalisme dalam mengurus urusan umat. Wallahu a'lam bish-shawwab.[]
Oleh: Mesi Tri Jayanti, S.H.
(Aktivis Muslimah)
0 Komentar